Oleh: Waidatun Hasanah - Mahasiswa HI UMM
Hubungan antara aktor-aktor
dalam negeri ini dengan para pengambil keputusan disebut “policy influence
system” atau biasa disebut dengan sistem pengaruh kebijakan. Policy
influence system negara manapun merupakan serangkaian hubungan timbal balik
yang sangat kompleks, antara pengambil kebijakan dengan policy influencers-nya.
Policy influencers sering dianggap vital, karena merupakan sumber
dukungan bagi para pembuat kebijakan dalam mengeksekusi kebijakan
Dalam bukunya yang
berjudul Introduction to International
Politic / Pengantar Politik Internasional, Coplin menganalisis struktur
sistem pengaruh kebijakan menjadi
empat kategori yang mirip dengan keempat tipe yang dikemukan oleh Gabriel
Almond yaitu elite politik yang meliputi para pejabat terpilih seratai partai,
elit administratif, elite kepentingan serta elite komunikasi, sedangkan menurut
Coplin:
1. Birokrat
(bereaucratic influencer). Istilah
ini digunakan untuk menunjuk kepada berbagai individu dan serta oganisasi
didalam lembaga eksekutif pemerintahan yang membantu para pengambil keputusan
dalam menyususn, serta melaksanakan kebijakan.
2. Partisan[1] (partisan influencer). Influencers ini
bretujuan menerjemahkan tuntutan-tuntutan masyarakat menjadi tuntutan-tuntuntan
politis, yaitu tuntutan-tuntutan kepada para pengambil keputusan yang
menyangkut kebijakan-kebijakan pemerintah.
3. Kelompok kepentingan (interest influencer),
Terdiri dari sekelompok orang yang bergabung bersama melaalui serangkaian kepentingan
yang sama. Kelompok ini sangat dibutuhkan untuk menyerahkan sumber-sumber untuk
mendapatkan dukungan dari pengambil keputusan. Dalam hal ini sumber yang
dimaksud adalah dukungan finansial.
4. Media massa (mass influencer), terbentuknya iklim opini atau opini publik, yang
di gunakan oleh pembuat kebijakan melalui media massa.[2]
Dalam penelitian ini ,
peneliti lebih menekankan pada golongan yang ketiga, yaitu kepentingan yang
mempengaruhi. Hal karena terdiri atas
sekelompok orang yang tergabung bersama dengan membawa kepentingan yang sama,
yang belum cukup luas untuk bisa menjadi dasar bagi aktivitas kelompoknya,
namun sangat dibutuhkan untuk menyerahkan sumber-sumber untuk mendapatkan
dukungan dari policy influencer atau
pengambil keputusan yang lain. Kebanyakan kepentingan ini bersifat ekonomis
karena orang-orang sering dimotivasi unutk melakukan tindakan kolektif melalui
persamaan kepentingan. Kepentingan-kepentingan yang bersifat nonekonomis juga
bisa digunakan sebagai dasar bagi tindakan mereka, terutama apabila ada
ikatan-ikatan etnis atau geografis di antara mereka.[3]
[1]
Karena kita membedakan influencers dari pengambil keutusan, maka
kedalam kategori influencer partisipan tadi tidak termasuk para pejabat
terpilih seperti yang dikemukakan Almond, kecuali apabula pada saat yang sam
mereka memainkan peran didalam partainya. William D. Coplin, Introduction to
International Politics: A Theorical Overview, Pengantar Politik
Internasional: Suatu Telaah Teoritis (Terjemahan: M. Marbun), CV. Sinar Baru,
Bandung,edisi kedua 2003, hal 82
[2]
Ibid, hal 81
[3]
Ibid, hal 85
Bukunya dapet dimana mas?
BalasHapus