“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Isu-Isu Non Trade Sebagai Bentuk Proteksionisme Baru



        Sengketa perdagangan antara AS dan Kanada merupakan masalah yang serius dan perlu segera ditangani agar tidak merusak sistem perdagangan internasional. Ketegangan yang terjadi antara AS dan Kanada di bidang perdagangan menunjukkan bagaimana ketegangan antara motif liberal dengan merkantilis terjadi. Di satu sisi negara-negara menginginkan pasar bebas (free trade) dan keterbukaan pasar (open market) namun di sisi lain negara tidak bisa menjalankannya karena mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Upaya AS untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dan olahannya dari Kanada menunjukkan bagaimana upaya negara maju yang menggunakan kebijakan-kebijakan proteksionisme sebagai instrumen untuk “mengamankan” stabilitas pasar domestik dengan melindungi produk dalam negerinya dan melakukan pembatasan impor.
            Penggunaan isu-isu non trade-seperti kesehatan, agama, perlindungan buruh, dan lingkungan-menunjukkan bagaimana proteksionisme masih dan kemungkinan akan terus menjadi underlying issues dalam perdagangan antarnegara. Proteksionisme tidak akan benar-benar hilang karena hal ini sudah menjadi naluri negara untuk melindungi dirinya. Hambatan perdagangan non tarif bisa menjadi bentuk proteksionisme yang terselubung yang berusaha dilakukan oleh negara-negara untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
            Dalam kasus Country of Origin Labelling (COOL), kita bisa melihat bentuk kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada. AS menggunakan alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dan olahannya dari Kanada yang dianggap terjangkit dan terkontaminasi BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi gila (mad cow disease) serta virus H1N1 atau swine flu. Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa proteksionisme akan selalu terjadi dalam bentuk-bentuk baru dan akan terus menjadi persoalan, terutama bagi negara-negara yang semakin menggantungkan pendapatannya pada perdagangan internasional.[1] Negara-negara akan selalu tergoda untuk menerapkan regulasi terhadap perdagangan dengan berbagai alasan. Berbagai alasan yang kini tengah digunakan oleh negara-negara adalah alasan kesehatan, perlindungan buruh, agama, maupun lingkungan. Dari kasus sengketa AS dan Kanada ini kita bisa melihat bagaimana upaya AS dalam mengelola perdagangannya secara tegas untuk melindungi kepentingannya dengan menerapkan standar yang ketat di bidang kesehatan.

            Dalam sejarahnya, proteksionisme perdagangan pernah merajalela selama Malaise tahun 1930’an. Saat itu, antara tahun 1929 dan 1933, perdagangan di seluruh dunia berkurang hingga 54% akibat berbagai hambatan perdagangan yang diterapkan oleh AS dan beberapa negara lainnya. Hal yang serupa terjadi pada tahun 1970’an dan 1980’an. Saat itu proteksionisme perdagangan menjadi semakin sengit. Terdapat tiga faktor yang bisa menjelaskan mengapa hal ini terjadi.[2] Pertama, proteksionisme berkembang karena AS tidak bersedia menanggung beban kepemimpinan hegemonik. Karena untuk membuat sistem perdagangan internasional tetap terbuka, perlu ada pihak yang bersedia menanggung beban untuk menjamin pemberlakuan aturan main GATT (sekarang WTO). Jika tidak ada pihak yang menjaminnya, maka sistem pun tidak berjalan. Kedua, hegemoni politik dan ekonomi AS telah merosot karena peningkatan pengaruh politik dan ekonomi negara-negara dalam Uni Eropa, Jepang, dan negara-negara industri baru.[3] Negara-negara Eropa Barat menerapkan kebijakan perdagangan proteksionis untuk mendukung perekonomian mereka yang sedang tumbuh. Mereka enggan menerima pasar bebas sebagai acuan dalam praktek perdagangan. Ketiga, meningkatnya harapan di kelompok-kelompok yang diuntungkan maupun dirugikan oleh perdagangan Misalnya pandangan kelompok merkantilis yang menyatakan bahwa perdagangan harus menjadi isu kebijakan yang dikelola pemerintah secara tegas dan (jika perlu) secara agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempertahankannya dalam lingkungan ekonomi internasional.
            Pengaturan sistem perdagangan internasional memang bukan hal yang mudah. Penggunaan isu-isu seperti kesehatan, agama, perlindungan buruh, dan lingkungan menjadikan perdagangan internasional lebih terkait dengan isu-isu yang dulunya nampak tidak ada hubungan dengan perdagangan. Isu-isu baru tersebut merepresentasikan bagaimana isu-isu yang dahulu dianggap tidak ada kaitannya dengan perdagangan internasional akhirnya menjadi bagian yang wajar dari perdagangan masa kini. Dahulu, mungkin pemerintah maupun para pelaku bisnis tidak begitu mempertimbangkan bahwa faktor kesehatan akan begitu berpengaruh terhadap kegiatan produksi dan perdagangan. Kini, tuntutan akan standar kesehatan pada produk-produk yang diperdagangkan menjadi cenderung semakin besar. Agar suatu produk dari negara A dapat masuk ke negara B, produk negara A tersebut harus memenuhi standar yang diterapkan oleh negara B. Permasalahannya adalah: bisa saja standar kesehatan yang digunakan oleh negara A dan negara B berbeda. Dibutuhkan standar umum kesehatan yang bisa ditaati oleh semua negara agar permasalahan seperti ini tidak muncul kembali. Namun sekali lagi: pengaturan sistem perdagangan internasional bukan hal yang mudah. Sama halnya ketika membentuk standar umum kesehatan secara bersama-sama. Hal ini menjadi sulit karena melibatkan kepentingan banyak negara.


[1][1] Mohtar Mas’oed, Perdagangan dalam Perspektif Ekonomi-Politik Internasional, Diktat Kuliah Ekonomi Politik Internasional, 1998, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, FISIPOL, UGM, hal. 20
[2] Mohtar Mas’oed, ibid, hal. 11
[3] Robert Gilpin, The Political Economy of International Relations, 1987, NJ: Princenton University Press dalam Mohtar Mas’oed, ibid, hal. 12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar