“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Negara Vs Pasar

Oleh: Muhammad Nizar Hidayat

Jelaskan perdebatan di seputar persoalan bahwa MNCs lebih powerful dibandingkan negara-bangsa. jelaskan posisi anda dalam perdebatan tersebut?

Kemunculan MNCs sebagai salah satu aktor yang berpengaruh di dalam HI tidak bisa lagi dinafikan kebenarannya. Setelah kemunculannya yang oleh beberapa penstudi bisa di trace back hingga pada 2000 tahun sebelum masehi yang diwakili oleh kerajaan Assiria, hingga pada kebangkitannya di era modern pada tahun 1960-1970an.

Setelah itu, kemunculan MNCs pun banyak diperdebatkan oleh para penstudi, dengan semakin berpengaruhnya peran MNCs dalam EPI, apakah MNCs akan bisa menggantikan peran negara bangsa dalam HI? Bagaimana sebenarnya pola interaksi anatara MNCs dan negara bangsa? Pandangan pertama lebih condong kepada pola interaksi konfliktual antara MNCs dan negara (khususnya negara host, yang umumnya negara-negara berkembang) dimana mereka berpendapat bahwa tujuan dari negara dan MNCs sangat bertolak belakang dimana negara menekankan kepentingan publik dan MNCs mengejar kepentingan privat, dan oleh sebab itu konflik kepentingan antara keduanya tidak bisa dihindari. Pandangan kedua lebih menyoroti pola interaksi kooperatif antara MNCs dan negara (khususnya negara home, yang umumnya merupakan negara maju), dimana pembahasan lebih kepada apakah MNCs merupakan perpanjangan kepentingan dari negara home ataukah negara home merupakan alat dari MNCs untuk mencapai kepentingannya?

Pembahasan tentang pola-pola interaksi itu semakin dalam dengan adanya pihak yang mengatakan bahwa MNCs akan bisa menggantikan peran negara bangsa, dan pengaruhnya sudah jauh melebihi kapasias negara bangsa dengan melihat berbagai contoh dimana MNCs bisa mempengaruhi pembuatan keputusan di suatu negara  sesuai dengan kepentingannya. Di pihak lain ada yang berpendapat bahwa MNCs tidak akan pernah lepas dari bayang-bayang negara, atau dengan kata lain, MNCs sejatinya merupakan subordinat dari negara home mereka, dan tidak ada institusi tertinggi setelah negara dalam interaksi dalam HI, sehingga berimplikasi bahwa apapun yang ingin MNCs lakukan, segala sesuatunya pasti harus melalui negara.

Maka dari itu pembahasan tentang “power” MNCs pada kali ini, lebih condong untuk mendefinisikan “power” MNCs tersebut dalam bentuk peningkatan pengaruh MNCs terhadap pembuatan keputusan otoritatif bagi yang sebelumnya hanya merupakan hak prerogative dari negara bangsa saja. Dalam upayanya untuk mempengaruhi pembuatan keputusan yang otoritatif tersebut MNCs memiliki posisi tawar yang ditopang oleh kekuatan finasial, teknologi, skill managerial, akses ke pasar global dan lain sebagainya, yang dibutuhkan oleh negara-negara khususnya negara berkembang. Sementara daya tawar negara terletak pada otoritas politik, ekonomi, dan akses terhadap teritori negara yang merupakan kepentingan dari MNCs. Bagaimana kedua pihak memainkan “kartu as” mereka itulah yang akan membentuk pola interaksi antar keduanya, yang kemudian mungkin bisa membantu kita dalam memahami permasalahan tentang “siapa yang lebih powerful diantara keduanya?”


Untuk membahas perdebatan yang mengatakan bahwa MNCs lebih powerful daripada negara-bangsa maka kita akan melihat argumen-argumen yang mendukung dan menentang pandangan tersebut.

Pandangan yang mendukung:
Bagi mereka yang mendukung pandangan bahwa MNCs lebih powerful dari negara-bangsa, adalah hal yang jelas bila dilihat dari statistik yang dikeluarkan oleh United Nations Conference on Trade and Development (UNCTAD), dimana pada tahun 2002 MNCs mempekerjakan sekitar 53, sedang pada data yang dikeluarkan pada tahun 2004 oleh lembaga yang sama mencatat bahwa 100 MNCs besar di dunia mengontrol kurang lebih 14% total penjualan di seluruh dunia, 12% dari asset global, dan menyumbang 13% dari total tenaga kerja di dunia, kemudian dengan tingkat produksi senilai 16 triliun Dollar AS pada tahun 2010. Hal ini ditambah kemudian dengan data bahwa beberapa MNCs raksasa, seperti General Motor, Ford Motor (sebelum 2008), Exxon, Toyota, Samsung, IBM, dll memiliki tingkat penjualan atau bagi negara seperti GDP, yang mana tingkat penjualan MNCs tersebut jauh diatas GDP banyak negara. Salah satu pendukung pandangan ini, Kenichi Ohmae bahkan berkata bahwa peran negara-bangsa akan tergantikan oleh MNCs. Dengan globalisasi ekonomi seperti saat ini, maka tidak jelas suatu barang itu diproduksi dimana, kepemilikan MNCs tersebut oleh negara mana, dan konsumennya pun berada dimana. Globalisasi ekonomi telah menciptakan a borderless world, seperti judul bukunya yang kemudian menafikan peran negara dengan batasan-batasan teritorialnya.

Selain itu, pendukung pandangan ini juga mengemukakan data dimana MNCs dianggap berhasil mempengaruhi pengambilan keputusan oleh negara yang memihak kepentingan MNCs. Salah satu contohnya adalah keberhasilan MNCs asal AS dalam mempengaruhi pemerintah AS untuk membuat kebijakan luar negeri yang menghentikan bantuan luar negeri terhadap negara yang menasionalisasikan cabang MNCs AS di negara tersebut (Hickenlooper amendment), kemudian Overseas Private Investment Corporation yang melindungi investasi MNCs AS di negara-negara selatan, dan Gonzalez amendment yang mewajibkan AS untuk tidak mendukung Bank-Bank multilateral yang meminjamkankan dananya kepada negara yang menasionalisasikan MNCs AS. Jika contoh diatas menggambarkan kekuatan MNCs terhadap negara induknya, maka contoh besarnya pengaruh MNCs terhadap negara host akan sangat mudah ditemukan, contohnya Freeport yang berhasil memaksa pemerintah Indonesia untuk memberikan konsesi tambang emas di Papua kepada mereka dan memaksa pemerintah RI untuk menerima dana bagi hasil yang sangat sedikit. Hal ini belum ditambah dengan contoh paling ekstrem mengenai campur tangan MNCs dalam politik domestic seperti yang dicontohkan oleh International Telephone & Telegraph  Company (ITT) di Chile dan Brazil pada tahun 1973 dan 1964. Di Chile, ITT yang khawatir terpilihnya Salvador Allende sebagai presiden Chile yang akan menasionalisasikan cabang perusahaannya disana mendanai kaum oposisi militer serta menggunakan harian milik mereka untuk mempropagandakan penggulingan Allende hingga Allende benar-benar lengser dari jabatannya.  Dan hal yang sama juga dilakukan oleh ITT di Brazil yang kemudian melengserkan presiden Joao Goulart yang juga ingin menasionalisasikan anak perusahaan ITT.

Pandangan yang menolak:
Bagi mereka yang menolak pandangan bahwa MNCs lebih powerful daripada negara berpendapat bahwa walupun MNCs beroperasi di banyak negara, namun semua aturan yang diperlukan agar MNCs itu bisa beroperasi dihasilkan oleh negara. Pendukung pandangan ini seperti Doremus dan Michael Porter berpendapat bahwa karakteristik dari MNCs ditentukan oleh negara induknya. Oleh sebab itu pula maka terdapat perbedaan antara karakteristik MNCs dari Jerman, As, dan Jepang seperti yang dipaparkan  di dalam Multinationals and the Myth of Globalization. Jika benar globalisasi itu terjadi maka perbedaan karakteristik itu tidak akan muncul dengan asumsi borderless world.

Memang benar apabila dalam kasus MNCs asal AS, MNCs berhasil membuat AS mengeluarkan kebijakan yang melindungi kepentingan mereka di dunia. Namun di sisi lain, terdapat fakta bahwa kontrol terhadap otoritas tetap terdapat pada negara. MNCs membutuhkan negara untuk melindungi kepentingan mereka di luar negeri. 

MNCs juga tidak selalu bisa menguasai pembuatan kebijakan suatu negara, salah satu contohnya adalah perusahaan mesin jahit Singer yang ingin masuk ke Taiwan kemudian dipaksa oleh Taiwan untuk menuruti semua permintaan Taiwan mulai dari pemenuhan suplai bahan mesin jahit dari produsen domestic, hingga pada penyediaan blueprint spare-part yang ingin dihasilkan oleh Singer kepada para produsen domestic tersebut sehingga menciptakan transfer teknologi dari Singer ke perusahaan-perusahaan domestic. Fenomena paling ekstrem yang menunjukkan bahwa MNCs tidak selalu bisa mempengaruhi pengambilan keputusan di suatu negara untuk menuruti kepentingannya adalah apa yang dilakukan oleh presiden Evo Morales di Bolivia yang menasionalisasikan perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi di Bolivia. Dengan segala kekuatan finansial yang dimiliki oleh MNCs ternyata tidak mampu untuk mencegah keputusan Morales dalam program nasionalisasinya.

Pandangan saya terhadap hal ini adalah penerimaan terhadap fakta bahwa peran MNCs dalam EPI tidak bisa lagi dinafikan keberadaannya. Bahwa MNCs berkontribusi dalam membentuk dunia kontemporer dengan segala sumber daya yang dimiliki mereka. Bahwa negara-bangsa bukan lagi menjadi pemain tunggal dalam HI, dan munculnya MNCs sebagai aktor juga membuka pandangan kita akan peranan aktor non-negara lainnya seperti NGO. Namun dibalik semua itu, peran negara-bangsa juga tidak bisa bisa begitu saja dikatakan berkurang apalagi menghilang, bahkan beberapa kasus diatas menegaskan keberadaan negara sebagai satu-satunya aktor yang memiliki kedaulatan dan otoritas politik yang tidak dimiliki oleh aktor-aktor lain

Tidak ada komentar:

Posting Komentar