“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Ancaman Kerjasama Georgia-Nato Terhadap Keamanan Rusia


 Oleh: Galih Wisnu Aji Mahasiswa HI UMM
1. Pendahuluan
Setelah berakhirnya era Perang Dingin yang ditandai dengan runtuhnya pemimpin kekuatan blok Timur, Uni Soviet, tatanan dunia semakin rumit, bahkan semakin rumit bila dibanding era perang ideologi antara Uni Soviet melawan NATO (North Atlantic Treaty Organization). Akhir-akhir ini, NATO sebagai pemenang Perang Dingin semakin lama semakin berusaha memperkuat ideologinya, bahkan ke wilayah-wilayah yang seharusnya bukanlah tempat NATO. Mereka melakukan perluasan ke timur Eropa, hingga mencapai negara-negara bekas Uni Soviet yang telah terpecah belah, seperti Ukraina dan Georgia. Meskipun rencana perluasan hanyalah wacana dan belum terealisasikan, namun Rusia, sebagai negara pecahan Uni Soviet terbesar, berusaha untuk mencegah agar NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat tidak dapat mengajak negara-negara Eropa Timur bergabung.
 Agresivitas NATO dengan perluasan wilayah hingga mencapai tempat-tempat yang tidak semestinya membuat Rusia kebakaran jenggot. Rusia khawatir pengaruh ideologi blok Barat akan menjangkiti negara-negara Eropa Timur. Kekhawatiran Rusia bukanlah tanpa alasan, beberapa tahun belakangan terdengar kabar bahwa NATO telah menjalin kesepakatan dengan Georgia untuk bergabung dengan mereka. Georgia merupakan negara yang pada era Perang Dingin berada di bawah bendera USSR saat ini sering terlihat bekerjasama dengan NATO, mulai dari perang melawan terorisme di Afghanistan[1] hingga kerjasama dengan Amerika Serikat dalam memperkuat military force mengenai konflik dengan Rusia memberebutkan pengaruh di wilayah Ossetia Selatan dan Abkhazia.

Perseteruan antara Rusia dan Georgia semakin sengit karena adanya bantuan Amerika Serikat dan NATO, hal ini membuat Rusia mengalami sebuah dilemma mengenai apa yang harus dilakukan dalam konflik negaranya dengan Georgia. Meskipun saat ini Amerika masih sibuk dengan kekuasaannya di Timur Tengah, namun Rusia perlu mewaspadai kekuatan Amerika Serikat lewat suplai-suplai senjata ke Georgia dan serangan mendadak jika Rusia terus mengintimidasi Georgia.
Konflik Rusia dan Georgia memang baru terlihat pada tahun 2006 ketika Ossetia Selatan berinisiatif untuk membuat pemerintahan sendiri dengan mengadakan pemilu.[2] Georgia yang tidak terima dengan deklarasi kemerdekaan Ossetia Selatan yang ingin keluar dari wilayah negaranya membombardir ibukota Ossetia Selatan, Tskhinvali, dengan serangan udara. Rusia yang mendukung kemerdekaan Ossetia Selatan pun membalas dengan serangan udara balasan ke ibukota Georgia, Tbilisi.
Konflik semakin membesar ketika Rusia mengetahui bahwa Georgia berkawan dengan NATO mengenai masalah konflik Ossetia Selatan. Rusia menuding NATO sengaja membantu dan mengajak Georgia bergabung dengan mereka untuk menyebarkan ideologi Barat yang akan sangat mengancam kelangsungan hidup Rusia, apalagi Georgia adalah negara yang berbatasan langsung dengan Rusia.
2. Kerangka Teori
Konsep Security Dilemma
Dilemma keamanan muncul ketika adanya aksi dari suatu negara untuk meningkatkan keamanan negaranya, namun disatu sisi ini menimbulkan reaksi dari negara lain yang juga ingin meningkatkan keamanannya, yang pada akhirnya reaksi ini menyebabkan penurunan keamanan di negara pertama. Negara harus berjuang mempertahankan eksistensinya. Hal ini memicu adanya security dilemma, yaitu sistem anarki sebagai sistem internasional. Sistem anarki itu sendiri yaitu sistem tanpa adanya kekuasaan yang lebih tinggi dan tidak ada pemerintahan dunia.[3] Dalam sistem pemerintahan internasional yang anarki, semua negara membutuhkan keunggulan power dan keamanan. Negara harus memiliki  sarana kekuatan seperti militer, persenjataan, sebagai bukti bahwa negara itu kuat, dan juga sebagai alat pertahanan jika ada ancaman atau serangan dari negara lain. Menurut Barry R. Posen, kondisi anarki tersebut membuat keamanan adalah first concern bagi suatu negara.[4] Dengan adanya kekuatan ini, yang mana tujuan utama dari negara dengan keberadaan kekuatan tersebut, yaitu untuk menjaga keamanan  dan mempertahankan diri, disisi lain hal ini juga akan memicu rasa khawatir negara lain yang nantinya negara tersebut akan memperkuat militernya. Ini dilakukan karena adanya perasaan terancam dan rasa takut diserang oleh negara lain yang berkekuatan lebih.
Dalam konteks ini, Rusia sebagai sebuah negara yang berada di Eropa Timur berusaha untuk selalu menjaga kestabilan keamanannya. Bagi Rusia, ekspansi NATO ke Eastern Europe adalah suatu ancaman yang sangat berbahaya apabila dibiarkan. Amerika bersama NATO bisa merusak sistem keamanan negara Rusia. Pertemanan NATO dengan Georgia menjadi suatu hal yang menurut Rusia harus segera diakhiri agar keamanan Rusia sendiri dapat terkontrol dan tidak ada lagi ancaman dari luar negeri, termasuk dari NATO. Georgia merupakan negara yang berbatasan darat dengan Rusia, meskipun negara ini sangat kecil, Tbilisi bisa dijadikan NATO sebagai tempat yang sangat kompeten bagi mereka untuk melihat Rusia dan seluruh tingkah laku negaranya.
3. Pembahasan
Sebagai negara yang mewarisi kebesaran Uni Soviet, Federasi Rusia berusaha untuk selalu menjaga kebesaran negara pendahulunya. Mereka selalu berusaha agar ideologi-ideologi yang diciptakan USSR tetap ada, meskipun negara superpower blok Timur tersebut telah runtuh dan terpecah menjadi berkeping-keping. Begitu fanatiknya mereka terhadap USSR, sampai-sampai mereka berinisiatif untuk mematikan setiap pergerakan NATO di Eropa Timur, seperti masalah yang terjadi antara Rusia, Georgia, dan Amerika Serikat sebagai pemimpin NATO.
Berpihaknya Georgia, yang notabenenya sebagai pecahan Uni Soviet, terhadap NATO membuat Rusia tidak bisa tinggal diam melihat pengaruh NATO yang hebat di Georgia. Presiden Georgia yang memerintah sejak 2003, Mikhail Saakashvili, memang merupakan sosok yang pro-Amerika. Dibawah pemerintahannya, Georgia berupaya terus untuk bergabung dengan NATO dan mendapat dukungan dari AS.[5] Meskipun upaya Georgia tersebut belum terealisasi, namun Rusia telah berpikir bahwa kerjasama Georgia-NATO harus segera diakhiri, karena kerjasama tersebut bagi Rusia bukanlah hal sepele, Rusia merasa harus mewaspadai kalau Amerika bersama NATO datang ke Eropa Timur dan membawa segenap kekuatan mereka dan menyebarkan ideologi blok Barat di bagian timur Eropa.
Kerjasama antara Georgia dan NATO mulai mengemuka saat pasukan militer Amerika Serikat bersama anggota NATO melakukan perang melawan terorisme di Afghanistan. Georgia menjadi negara non-NATO yang mengirimkan 900 tentaranya dalam war on terrorism.[6] Beberapa tahun belakangan, kerjasama Georgia-NATO kembali terlihat dengan bantuan NATO yang menyuplai senjata bagi Georgia dalam konflik antara Georgia dengan Ossetia Selatan dibantu oleh pasukan militer Rusia. Moskow menentang keras langkah itu dan menilai setiap pakta militer, termasuk NATO di negara-negara tetangganya sebagai ancaman langsung terhadap keamanan nasional Rusia.[7]
Kedatangan NATO yang membawa ideologi Barat membawa Rusia dalam posisi yang sulit. Konflik dengan Georgia yang seharusnya dapat diselesaikan sendiri diantara mereka harus membawa pihak ketiga dalam perselisihan tersebut. Hingga saat ini memang Rusia belum bersedia untuk berdamai dengan Tbilisi, karena Rusia masih menganggap bahwa Georgia melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya dengan melakukan pengeboman hingga serangan udara ke Ossetia Selatan ataupun Abkhazia. Rusia sebagai salah satu negara dengan pasukan militer terbanyak di dunia berusaha membalas serangan ke negara Georgia tersebut sebagai bentuk mereka menyetujui kemerdekaan Ossetia Selatan dan Abkhazia dari Georgia. Rusia bahkan mengerahkan tank-tank tempur dan pasukannya ke Ossetia Selatan pada Jumat, 8 Agustus 2008 lalu. Operasi itu sebagai respons atas serangan militer Georgia untuk merebut provinsi tersebut yang mereka lakukan sebelumnya.[8]
4. Kesimpulan
Rusia sebagai negara besar pun memiliki rasa ketakutan, mereka takut kalau NATO datang ke Eropa Timur untuk mendoktrin orang-orang disana agar ikut ideologi mereka. Rusia pun ingin negara-negara Eropa Timur lebih menurut kepada mereka tanpa melakukan hal-hal yang dianggap tidak baik oleh Rusia dengan menggandeng NATO. NATO hanyalah ancaman bagi kelangsungan hidup Rusia, selain ancaman bagi Eropa Timur pada umumnya, karena adanya Amerika Serikat disana hanyalah sebagai pengacau yang akan membuat dunia Eropa Timur semakin tidak berjalan dengan baik.


[4] Barry R. Posen. Security dilemma and ethnic conflict dari http://www.sais-jhu.edu/cmtoolkit/pdfs/posen-1993.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar