Oleh: Haryo Prasodjo (09260012)
Lahir
di Harran dekat Damaskus pada tahun 661 H/1263 M,dimana lima tahun sebelum
kelahirannya tentara Mongol yang dipimpin oleh Hulaghu menyerang dan
membumihanguskan daulat Bani Abbasiyah yang sudah lama lemah akibat
perpecahaninternal,setelah daulat Bani Abbasiyah runtuh setiap
kerajaan-kerajaan kecil(mamalik) di mesir setiap penguasanya boleh menggunakan
gelar khaligah guna mempertahankan tradisi khalifah yang ada diMesir,namun hal
tersebut hanyalah sebagai simbol belaka,Damaskud pada saat itu dihuni oleh
masyarakat yang heterogen,penghuninya tidak hanya saja dari umat islam yang
berlainan madzhab tetapi juga dari umat agama lain,dalam masyarakat yang
multietnik dan multikultur tersebut tidak jarang terjadi intrik-intrik dan
ketegangan yang kerap terjadi,sehingga kestabilan sosial dan politik sulit
sekali tercipta karena adanya berbagai macam kepentingan,di sisi lain tentara
Mongol juga terus menjarah dan menguasai Damaskus,setelah mereka berhasil
memporakporandakan dan membumihanguskan Bhagdad.
Ibnu
Taimiyah sendiri tidak jauh berbeda sebagai mana ayahnya,beliau adalah seorang
ulama mazhab hambali yang konsisten,maka tidak jarang pula beliau terlibat
dalam intrik-intrik dan perbedaan pendapat,berkalikali ia keluar masuk penjara
akibat perbedaan,baik dengan ulama –ulama madzhab lain maupun dengan
penguasa,bahkan beliaupun harus mengakhiri hidupnya didalam penjara pada
tanggal 26 September 1326 H di usia 67 tahun,namun karena jiwanya yang
patriotisme beliau p[ernah turun langsung mengikuti perang Saqab pada tahun
1302-1303 memimpin pasukan melawan tentara Mongol yang berusaha menguasai
Damaskus,dan usahanya tidak sia-sia pasukannya berhasil mewmukul mundur dan
mengagalkan penakhlukan mongol atas Damaskus.
Pemikiran Politik Ibnu Taimiyah
Beliau
berpendapat bahwa mengatur urusan umat memang merupoakan bagian dari kewajiban
agama yang terpenting,namun dalam konteks ini bukan berarti agama tidak dapat
hidup ataupun berdiri sendiri sendiri tanpa adanya negara,oleh karena itu
beliau menolak ijma’ sebagai landasan kewajiban tersebut.Beliau mengunakan
pendekatan sosiologis,mewnurutnya”kesejahteraan manusia tidak dapat tercapai
kecuali hanya dalam satu tatanan sosial dimana setiap individu saling
bergantung satu dengan yang lainnya,oleh sebagb itu dibutuhkan salah seorang
pemimpin dari mereka guna mengatur kehidupan sosial tersebut”[1].
Bagi
beliau imamah bukanlah meruakan salah satu asas dari agama melainkan hanya
sbuah kebutuhan praktis saja,namun beliau lebih menekankan pada fungsi negara
sendiri sbagai sarana untuk membantu agama.be;liau menolak kekausaan daulat
bani Abbasiyah dan Umayyah sebagai dasar filsafat politik islam,\hal ini karena
beliau tidak membenarkan khalifah-khalifah bani Abbasiyah yang hanya dijadikan
boneka ioleh sekelompok elit,dalah hal kenegaraan pemikir-pemikir lainya
menggunakan kata khalifah bagi pemikir sunni ataupun imamah namun beliau
menggunakan istilah imarah.
Ibnu
taimiyah tidak terlalu mempermasalahkan prosedur pemilihan kepala negara
seperti bay’ah ataupun ahl-hal wa al ‘aqd
bahkan beliau menolak keberadaan ahl-hal
wa al ‘aqd karena menurut beliau kelompok tersebut tidak lebih hnaya
sebagai alat legtimasi belaka bagi penguasa guna ambisi politik dan kepentingan
politiknya,lagipula menurut beliau keberadaan
ahl-hal wa al ‘aqd belum dapat
dikatakan mewakili suara rakyat secara keseluruhan,bagaimana dapat menerukan
suara rakyat sedangkan kelompok tersebut yangmemilih adalah diri dari kepala
negara yang berkuasa pada saat itu,menurut Qamarrudin Khan istilah ahl-hal wa al ‘aqd tidak pernah ada
dalam sejarah rtentan weaktu umat islam namun istilah tersebut baru populer
pada masa pemerintahan daulat Bani Abbasiyah.
Beliau
takut dengan adanya lembaga seperti ini seperti dalam ajaran kependetan dalam Syi’ah
dan ajaran keristen akan menghilangkan hak-hak rakyat untuk dapat
memilih,apalagi beliau berkaca dari pada sejarah yang terjadi pada masa
Abbasiyah yang menggunakan “jasa” penguasa dari ahl-hal wa al ‘aqd,sebagai alternatifnya beliau mengembangkan
konsep syaukah dalam teori politiknya,yang artinya orang-orang yang berasal
dari berbagi kalangan dan kedudukannya yang dihormati dan ditaati oleh
masyarakat.
Bagi
ibnu Taimiyah sendiri syarat kepala negara
adalah kejujuran(amanah) dan kewibawaan atau kekuatan (quwwah) bagi
seorang kandidat kepala negara dan mutlak baukan dari suki quraisy,kelanjutan
dari pendapat politiknya dalah mengenai penekanan kepatuhan rakyat kepada
kepala negara,oleh karean itu beliau tidak membolehkan rakyat memberontak
kepada kepala negara walaupun kafir selama pemimpin terseut masih menjalankan
keadilanda n tidak memerintahkan rakyatnya ntuk berbuat maksiat kepada
Allah,beliau membenarkan adanya dualisme kepala negara dalam satu masa dan
menolak keharusan syarat Quraisy untuk menduduki jabatan kepakla negara,dalam
hal ini beliau lebih bersikap pragmatis dan realistis.
Sayyid Jamaluddin Al-Afghoni
Dilahirkan
pada tahun 1838 M ayahnya bernama Sayyid Syafdar,seorang penganut madzhab
hambali konon kabar yang terdengar ,baliau memiliki garis keturunan dari
rasulullah melalui Husein Ibn Abi Thalib.Beliau adalah salah seorang tokoh
penting pengerak pembaharuan dan kebangkitan umat islam pada abad ke 19,beliau
amat disenangi sekaligus dimusuhi oleh dunia islam sendiri,beliau disenangi
berkat aktivitas dan gagasan pemikiran poitiknya menjadi inspirasi bagi upaya
pembebasan umat islam dari penjajahan bangsa-bangsa barat,sebaliknya beliau
dimusuhi karena menjadi sebuah halangan bagi pemimpin-pemimpin yang serakjah
dan korup serta otoriter,bagi pengausa beliau dianggap membahayakan posisinya.
Beliau
memiliki peranan penting dalam pergerakan islam modern,yang mana beliau dikenal
luas baik di kalangan Sunni maupun Syi’ah serta dunia islam secara keseluruhan
terutama kareana perhatiannya yang serius terhadap kolonialisme bangsa-bangsa
barat dan absolutisme penguasa muslim.Dalam aktivitas politiknya beliau
berusaha menyadarkan umat islam untuk bangkit dan bersatu menciptakan satu
kesatuan didalam panji Pan Islamisme.
Menurut
beliau dunia islam pada saat itu menghadapi sebiuah penyakit kronis yang
mengerogoti masyarakatnya,sehingga membauat umat islam lemah dan tidak mampu
menegakkan kepalanya berhadapan dengan bangsa-bangsa barat,penyakit tersebut
adalah absolutisme dan despotisme penguasa muslim yang keraskepala menyebabkan
keterbelakangan uamat islam dalah bidang sains dan peradaban,menyebarnya pemikiran korup dan merusak pola pikir
masyarakat seperti takhayul,bid’ah
dan khurafat.
Guna
mengobati penyakit ini beliau mengadakan revolusi dan perombakan terhadap
pemerintahan yang absolut,beliau menganjurkan persatuan dan kesatuan umat islam
sedunia dalam Pan Islamisme,bersama dengan muridnya Muhammad Abduh beliau
mendirikan al-Urwah al- Wusqa sebuah
majalah dengan tema-tema kebangkitan umat islam dan penolakan terhadap
pemerintahan yang imprelialisme barat di negara-negara muslim.
Sebagai
bentuk protersnya pula beliau pmendirikan sebuah partai nasional Hizbul Wathan
dan mengembangkan slogan Mesir al-Mishro
lil al-Mishriyyin(Mesir untuk orang-otrang mesir),adapun dalam ide
politiknya beliau menganjurkan adanya keharusan pembentukan dewan perwakilan
rakyat yang disusun berdasarkan keinginan rakyat,beliau juga menghendaki
pemerintahan yang republik dimana didalamnya terdapat kebebasan rakyat untuk
mengeluarkan pendapat dan keajiban penguasa untuk tunduk dan patuh kepada
konstitusi,beliau tidak sepakat bahwa umat islam harus bekerja sama dengan para
penjajah.
Daftar Pustaka
Iqbal,DR.
Muhammad, Pemikiran Politik Islam,
Kencana. Jakarta. 2010
Suntana,Dr.
Ija,Kapita Selekta Politik Islam,Pustaka
Setia .Bandung 2010.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar