Oleh: Galih Wisnu Aji- Mahasiswa HI UMM
Sceptical
Perspective atau juga dikenal dengan Traditionalist Perspective adalah
perspektif yang menyangsikan bahwa globalisasi merupakan era baru yang membawa dunia
menuju perubahan yang lebih baik. Para skeptis mempercayai bahwa banyak
aktivitas ekonomi dan sosial lebih bersifat regional daripada global, mereka
juga masih melihat pentingnya peran negara-bangsa.[1]
Menurut Held dan McGrew dalam Global Transformations: Politics, Economics
and Culture[2]
menyatakan bahwa berbeda dengan hyperglobalist
yang karakternya seragam, skeptics
perspective mempunyai beragam karakteristik. Pertama, skeptics dideskripsikan sebagai perspektif yang tidak menyetujui hal-hal
baru yang dibawa oleh globalisasi. Kedua, mereka
mengklaim bahwa globalisasi hanya terbatas pada negara anggota OECD (Organisation
for Economic Co-operation and Development)
sebagai pihak yang bertanggung jawab
untuk mengembangkan peraturan internasional yang mengatur perluasan globalisasi.
Ketiga, para skeptis menyatakan bahwa telah muncul beberapa blok perdagangan di
Amerika (NAFTA dan MERCOSUR), di Eropa (EU), di Asia (ASEAN), hal ini bukan
globalisasi, namun hanyalah regionalisasi.[3]
Berkaca pada apa yang disampaikan
pakar skeptic globalis, globalisasi hanya dikuasai oleh negara-negara yang
mempunyai kekuatan untuk menguasai dunia saja, ketidaksetujuan para skeptis
terhadap globalisasi karena globalisasi hanya berpihak kepada negara-negara
maju yang mempunyai uang atau teknologi, negara-negara maju inilah yang pada
prakteknya dapat mengubah percaturan dunia internasional. Sebagai masyarakat
dunia ketiga, orang-orang Indonesia tidak mempunyai kekuatan besar untuk
menolak masuknya globalisasi, sehingga kebudayaan asing dapat dengan mudah
masuk, khususnya budaya-budaya yang dikenalkan oleh negara-negara maju dalam
bentuk imperialism yang tidak
memaksa, negara maju hanya membiarkan budaya yang diperkenalkan masuk ke
negara-negara dunia ketiga dengan sendirinya tanpa adanya paksaan.
Film animasi yang dibuat oleh
Jepang menimbulkan kesenjangan yang semakin terlihat antara negara maju dan
negara berkembang, negara maju seperti Jepang dapat semakin maju dan negara
berkembang, contohnya Indonesia akan semakin mengekor Jepang dalam segala hal
karena negara berkembang tak mempunyai kemampuan untuk membuat produk-produk
unggulan seperti yang dilakukan oleh negara maju. Anime Jepang hanya candu yang akan membuat rakyat Indonesia
melupakan budayanya sendiri, orang-orang Indonesia tidak akan mampu melakukan
apa-apa selama neo-imperialism yang
dibawa negara maju terus mendikte negara berkembang. Keuntungan masyarakat dari
anime Jepang hanyalah hiburan, itupun
tidak terlihat bermanfaat, karena yang diperkenalkan dalam film-film animasi
adalah kebudayaan negara lain yang akan mengikis budaya negara sendiri.
Kedatangan film-film juga membuat orang-orang bergaya atau bahkan mengikuti
hal-hal yang berhubungan dengan animasi Jepang. Untuk Indonesia,
animasi-animasi tersebut tidak ada baiknya, meskipun sangat menguntungkan bagi
negara pengekspornya, Jepang.
[1] Jan Servaes.
The Changing Face of Cultural Globalization. University of
Queensland dalam http://comstudies.files.wordpress.com/2007/06/janservaes-cultural-globalization-mauritius0607.pdf retrieved 10 June 2012
[2] Held and McGrew. 1999. Global Transformations: Politics, Economics and Culture
dalam Bryane Michael. Theorising the
Politics of Globalisation: A Critique of Held et al.’s “Transformationalism”. dalam http://www.fatih.edu.tr/~jesr/Globalisation.pdf retrieved 9 June 2012
[3] Bryane Michael. Theorising
the Politics of Globalisation: A Critique of Held et al.’s “Transformationalism”. dalam http://www.fatih.edu.tr/~jesr/Globalisation.pdf retrieved 9 June 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar