Oleh : wahidatun hasanah dan Eni Nurul ( Mahasiswa HI UMM)
2.1 Sistem Pemilihan
Umum
Penyaluran aspirasi rakyat sangatlah
penting terutama berkaitan dengan pemilihan lembaga lembaga perwakilan untuk mereka.
Karena lembaga lembaga perwakilan rakyat ini lah yang nantinya akan menjadi
sarana interkasi dan sarana komunikasi politik antara pemerintah dan rakyat.
Untuk menunjuk wakil wakil tersebut, pastinya perlu adanya suatu pemilihan
umum. Pemilihan umum adalah cara memilih wakil wakil rakyat yang duduk di
lembaga perwakilan rakyat (DPR,DPD,DPRD I/II) serta presiden dan wakil presiden
di sebuah negara demokrasi yang diselenggarakan secara berkala dan terus
menerus.[1]. Salah
satu pembahasan yang paling erat dan berkaitan dengan pemilihan badan badan
perwakilan rakyat tersebut yaitu, tata cara atau prosedur dalam pelaksanaanya
atau bisa juga disebut dengan sistem
pemilihan umum. hal ini disebabkan karena salah satu fungsi sistem
pemilihan umum ialah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota
badan perwakilan rakyat atau menjadi kepala pemerintah.[2]
2.2 Macam macam sistem
Pemilihan Umum
Pada umumnya Sistem
Pemilihan umum terdiri dari 2 macam yaitu sistem distrik dan sistem
proporsional.
1.
Sistem
Distrik (single member Constituency)
Sistem distrik merupakan sistem
pemilihan umum tertua yang pada dasarkan di bentuk atas kesatuan geografis.
Setiap kesatuan geografis (yang biasanya disebut “distrik” karena kecilnya daerah
yang tercakup) memperoleh satu kursi di parlemen.[3]
Dalam sistem distrik, satu wilayah kecil memilih satu wakil mereka, wakil
dipilih berdasarkan suara maksimal(suara terbanyak)
Kelebihan
dan Kekurangan sistem Distrik.
Kelebihan
:
§ Mampu
mendorong integrasi parpol, karena hanya 1 kursi yang diperebutkan, pada setiap
distrik.
§ Pembentukan
partai baru sangat minim, misalnya di Inggris dan amerika sistem ini lah yang
mampu memperkuat keberadaan dwi-partai.
§ Pada
sistem distrik, ukuran daerah pemilihan kecil, berupa distrik. Ukuran daerah
pemilihan yang kecil, memungkinkan wakil lebih dikenal oleh rakyat.
§ Dalam sistem ini, partai besar akan di
untungkan karena adanya distorsi suara dimana
di suara partai kecil bisa hilang, sehingga hal ini mnyebabkan suara
mayoritas berada di tangan partai besar, yang pada akhirnya partai besar itulah
yang mampu mengendalikan parlemen.
§ Tidak
perlu adanya koalisi, karena partai besar mutlak memperoleh suara mayoritas,
sehingga kendali parlemen mudah di dapat.
§ sistem
ini sederhana dan murah untuk diselenggarakan.[4]
Kekurangan :
§ perhatian
kepada partai partai kecil sangat kurang.
§ Pada
sistem distrik, ukuran daerah pemilihan kecil, berupa distrik, sehingga
jumlah daerah pemilihan menjadi banyak.[5]
jumlah daerah pemilihan menjadi banyak.[5]
§ Ada
kemungkinan si wakil cenderung untuk lebih memerhatikan kepentingan distrik
serta warga distriknya, dari pada kepentingan nasional.[6]
§ Kurang
efektif untuk masyarakat yang plural
§ Kurang
representatif, karena partai kecil yang kalah suaranya di anggap hilang,
sehingga ada suara yang terbuang sia sia.
§ Hanya
ada satu wakil yang terpilih dari setiap distrik.
2.
Sistem
Proporsional (multi-member Constituency)
Dalam sistem proposional, pemilihan
mencakup wilayah yang lebih luas/ besar (misalnya di Indonesia tingkat
propinsi), dan memilih beberapa wakil untuk wilayah tersebut. dalam sistem
proposional, satu wilayah di anggap sebagai satu kesatuan , dan dalam wilayah
itu jumlah kursi di bagi sesuai jumlah suara yang diperoleh para kontestan
secara nasional tanpa menghiraukan distribusi suara itu.[7]
ilustrasi sederhana, misalkan dalam suatu wilayah dipakai sistem proposional,
maka wilayah tersebut dikatakan sebagai wilayah satu kesatuan (di Indonesia
propinsi), yang berhak atas 10 kursi, dan prosentase kursi yang diperoleh di
parlemen, sesuai dengan prosentase perolehan suara nasional, jadi tidak ada
suara yang terbuang sia sia seperti pada sistem distrik.
Kelebihan dan kekuranga sistem Proporsional
Kelebihan :
§ Lebih
representative karena jumlah prosentase kursi yang diperoleh di parlemen sesuai
dengan jumlah prosentase pemilihan yang di dapat secara nasional.
§ Lebih
demokratis, karena tidak ada kesenjangan / distorsi antara perolehan kursi dan
perolehan suara. hal ini memungkinkan tidak adanya suara yang terbuang sia sia,
sehingga partai partai kecil atau golongan kecil tetap mempunyai peluang untuk
ikut andil dalam parlemen.
§ sistem
proporsional, ukuran daerah pemilihan besar (di Indonesia propinsi), sehingga
jumlah daerah pemilihan menjadi lebih sedikit.[8]
§ Bagi
partai kecil sistem ini sangat menguntungkan, karena semua suara pasti
dihitung, dengan kata lain tidak ada suara yang di buang sia sia.
Kekurangan :
§ Sistem
ini kurang mendorong partai partai
untuk berintegrasi atau bekerja sama
satu sama lain dan memanfaatkan persamaan persamaan yang ada, tetapi
sebaliknya, cenderung mempertajam perbedaan perbedaan. Sistem ini umunya dia
nggap berkaibat menambah jumlah partai.[9]
§ Peluang
terbentuknya partai baru sangat besar. Misalnya ketika terjadi konflik dalam
badan suatu partai, maka kemungkinan adanya pemisahan diri dan membentuk partai
baru.
§ Karena
banyaknya partai yang bersaing, perolehan mayoritas suara mutlak menjadi sulit,
sehingga pada akhirnya diperlukan koalisi antar partai yang bisa mengangganggu
stabilitas politik.
§ Relasi
antara wakil dan rakyatnya renggang, pertama hal ini dikarenakan luasnya
wilayah pemilihan, sehingga wakil kurang atau bahkan sukar dikenal oleh
rakyatnya. Keberadan partai pada posisi yang lebih dominan, karna peranya di
anggap lebih besar untuk meraih kemenangan dalam suatu pemilihan, membuat wakil
cenderung mengutamakan kepentingan partai / golongannya dari pada rakyat nya.
§ Kedudukan
pimpinan pertai kuat, karena pimpinan partai yang menetukan calon wakil.
2.3
Sistem
Pemilihan Umum di Indonesia
Perjalanan
Pemilu di Indonesia tahun 1955, 1999, 2004, 2009
1. Pemilu
1955
Pemilu 1955 merupakan pemilu pertama
yang diadakan oleh Republik Indonesia. Pemilu ini merupakan ”reaksi” atas
Maklumat Nomor X/1945 tanggal 3 Nopember 1945 dari Wakil Presiden Moh. Hatta,
yang menginstruksikan pendirian partai-partai politik di Indonesia. Landasan
hukum Pemilu 1955 adalah UU No.7 tahun 1953 yang diundangkan 4 April 1953.
Dalam UU tersebut, Pemilu 1955 bertujuan memilih anggota Anggota DPR dan
Konstituante (seperti MPR).
Pada saat pemilu tahun 1955 ini diikuti
28 partai politik. Dan dalam pemilu ini
ada lima partai besar yang memperoleh suara terbanyak yaitu, Partai Nasional
Indonesia, Masyumi, Nahdlatul Ulama, Partai Komunis Indonesia, dan Partai
Syarikat Islam Indonesia.
2.
Pemilu 1999
Pemilu berikutnya, sekaligus Pemilu pertama setelah
runtuhnya orde baru, yaitu Pemilu 1999
dilangsungkan pada tahun 1999 (tepatnya pada tanggal 7 Juni 1999)
di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie
dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
(PDIP), Partai Golkar, Partai
Persatuan Pembangunan (PPP), Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai
Amanat Nasional (PAN).
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan meraih suara terbanyak (dengan perolehan suara sekitar
35 persen), yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu,
yaitu Megawati
Soekarnoputri, melainkan dari Partai
Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman
Wahid (Pada saat itu,
Megawati hanya menjadi calon presiden). Hal ini dimungkinkan terjadi karena
Pemilu 1999 hanya bertujuan untuk memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara
pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR.
3.
Pemilu 2004
Pemilu 2004 merupakan pemilu pertama di mana para peserta
dapat memilih langsung presiden dan wakil presiden pilihan mereka. Pemenang
Pilpres 2004 adalah Susilo
Bambang Yudhoyono. Pilpres ini
dilangsungkan dalam dua putaran, karena tidak ada pasangan calon yang berhasil
mendapatkan suara lebih dari 50%. Putaran kedua digunakan untuk memilih
presiden yang diwarnai persaingan antara Yudhoyono dan Megawati yang akhirnya
dimenangi oleh pasangan Yudhoyono-Jusuf Kalla.
Pergantian kekuasaan berlangsung mulus dan merupakan
sejarah bagi Indonesia yang belum pernah mengalami pergantian kekuasaan tanpa
huru-hara. Satu-satunya cacat pada pergantian kekuasaan ini adalah tidak
hadirnya Megawati pada upacara pelantikan Yudhoyono sebagai presiden.
Pada
pemilu 2004 ini diikuti oleh 24 partai politik, hal ini mengalami penurunan
jika dibandingkan dengan pemilu 1999.
4.
Pemilu 2009
Pilpres 2009 diselenggarakan pada 8 Juli 2009.
Pasangan Susilo Bambang Yudhoyono-Boediono
berhasil menjadi pemenang dalam satu putaran langsung dengan memperoleh suara
60,80%, mengalahkan pasangan Megawati Soekarnoputri-Prabowo Subianto dan Muhammad Jusuf Kalla-Wiranto. Pada
pemilu ini diikuti 38 partai politik, jumlah ini meningkat dari pemilu 2004.
Masalah Golput
Menjelang pemilihan umum tahun
1977 timbul suatu gerakan yang memboikot pemilu karena di aggap kurang memenuhi
syarat yang dieprlukan dalam pelaksanaan pemilu secara demokratis. Hal itu
meliputi kurang adanya kebebasan- kebebasan (civil liberties) yang merupakan prasyarat
bagi suatu pemilihan umm yang jujur dan adil, dan sebagi bentuk protes mereka
tidak mengunjungi masing-masing tempat pemilihan umum(TPS). Kemudian golongan
inilah yang kemudian hari dinamakan golongan putih atau golput.
Padahal Partisipasi
politik dalam negara demokrasi merupakan indikator implementasi penyelenggaraan
kekuasaaan negara tertinggi yang absah oleh rakyat (kedaulatan rakyat), yang
dimanifestasikan keterlibatan mereka dalam pesta demokrasi (Pemilu). Makin
tinggi tingkat partisipasi politik mengindikasikan bahwa rakyat mengikuti dan
memahami serta melibatkan diri dalam kegiatan kenegaraan. Sebaliknya tingkat
partisipasi politik yang rendah pada umumnya mengindikasikan bahwa rakyat
kurang menaruh apresiasi atau minat terhadap masalah atau kegiatan kenegaraan.
Rendahnya tingkat partisipasi politik rakyat direfleksikan dalam sikap golongan
putih (golput) dalam pemilu. Dalam perspektif berdemokrasi, tentunya sikap
golput akan berimplikasi pada pembangunan kualitas demokrasi, sehingga perlu
demokratisasi dalam menghadapi pesta demokrasi tahun 2009. Namun tampaknya belum semua warga masyarkat belum
menyadari sepenuhnya tentang pentingnya partisipasi politik.[10]
Daftar
Pustaka
Literatur
Bacaan
Budiarjo
Miriam, 2008, Dasar-Dasar Ilmu Politik, PT Gramedia Pustaka Utama,
Jakarta
Mas’oed
Mohtar & Colin MacAndrew, 2008, Perbandingan
System Politik, Yogyakarta: UGM press
Geertz
Clifford, The Religion of Java, (New York: Free Press, 1960)
Feith
Herbert dan Lance Castles, ed., Pemikiran Politik Indonesia : 1945-1965,
Alih Bahasa Min Yubhaar, (Jakarta: LP3ES, 1988)
Kencana, Syafiie,
M.Si, Sistem Politik Indonesia,
2006, Refika Utama, Bandung
Faturohman, Deden, 2002, Ilmu Politik,UMM press, Malang
H. Soebagio, Implikasi Golongan
Putih Dalam perspektif pembangunan demokrasi Indonesia , VOL. 12, NO. 2, 2008: 82-86
Internet
http://serbasejarah.blogspot.com/2011/05/perjalanan-pemilu-di-indonesia-bagian-i.html
diakses tanggal 28
Nopember 2011
http://serbasejarah.blogspot.com/2011/05/perjalanan-pemilu-di-indonesia-bagian.html
diakses tanggal 28
Nopember 2011
http://setabasri01.blogspot.com/2009/02/sistem-pemilu-di-indonesia.html
diakses tanggal 28
Nopember 2011
http://walcometothejungle.blogspot.com/2010/01/perkembangan-sistem-pemilu-dan.html
diakses tanggal 28
Nopember 2011
http://ifa18.wordpress.com/2011/03/13/masyarakat-golongan-putih/diakses
tanggal 2 Januari 2012
http://www.unpad.ac.id/archives/781 diakses tanggal 2 Januari 2011
http://journal.ui.ac.id/upload/artikel/04_Subagio_IMPLIKASI%20GOLONGAN%20PUTIH_Layout.pdf diakses tanggal 2 Januari 2012-01-02
http://politik.kompasiana.com/2011/04/18/golongan-putih-indonesia/Diakses
tanggal 2 Januari 2012
http://www.eramuslim.com/editorial/golput-sepanjang-masa.htm Diakses tanggal 2 Jnuari 2012
[2] Ramlan Subakti, Memahami Ilmu Politik. Grasindo, hal 226
[6] Miriam, opcit hal 467
[10] H. Soebagio, Implikasi Golongan Putih Dalam perspektif
pembangunan demokrasi Indonesia , VOL.
12, NO. 2, 2008: 82-86
Tidak ada komentar:
Posting Komentar