Oleh: Galih Wisnu Aji - Mahasiswa HI UMM
Dalam hubungan internasional antar negara-negara di dunia,
terdapat sistem anarki yang memunculkan situasi dimana satu negara meningkatkan
postur militernya, hal itu membuat keamanan negara lain akan menurun. Negara
yang merasa terancam oleh kekuatan negara lain yang kekuatannya semakin
meningkat akan mengalami sebuah security
dilemma dimana negara yang terancam tersebut harus melakukan pilihan antara
offensive (dengan melakukan ekspansi
militer sebelum negara yang memberikan ancaman itu tiba dan menyerang negaranya)
atau defensive (yakni memilih untuk
bertahan dan memperkuat militernya atau senjata-senjatanya agar bila suatu saat
negara lain menyerang, mereka mampu menahan serangannya). Robert Jarvis dalam
esainya yang berjudul “Cooperation Under
the Security Dilemma” menjelaskan bahwa:
“…, most statesmen held
the reasonable position that weapons that threatened civilians is offensive. But
when neither side can protect its civilians, a counter-city posture is
defensive because state can credibly threaten to retaliate only is response to
an attack on itself or its closest allies.”[1]
Dalam studi kasus Korea Utara dan senjata nuklir yang mereka
modernisasi terus-menerus setiap waktu, menjelaskan bahwa Korea Utara bersikap defensive demi menjaga keamanan negara
dan rakyatnya dari ekspansi militer negara lain. Status ‘axis of evil’ yang diberikan oleh Amerika Serikat membuat mereka
sadar bahwa mereka adalah musuh besar bagi negeri Paman Sam. Pyongyang berusaha
melindungi negara dari ancaman Amerika Serikat dengan memperbesar kekuatan
nuklir. Mereka juga berusaha membuat negara-negara tetangga yang berkemampuan
ekonomi lebih besar agar lebih segan terhadap mereka dengan senjata-senjata
nuklir yang siap diluncurkan jika saja mereka mengusik Korea Utara.
Kebijakan untuk bertahan ini akan terus dipertahankan oleh
Korea Utara agar mereka dapat tetap bertahan hidup dalam hubungan
internasional. Mereka akan tetap dalam kebijakan self defense mereka dengan membangun program nuklirnya terus
menerus, hingga dunia internasional yang anarki menjadi lebih baik, atau
mungkin hingga Amerika Serikat mengubah persepsi mereka bahwa Korea Utara
adalah musuhnya yang perlu dilumpuhkan, serta hingga negeri-negeri di
sekitarnya menyegani mereka dan bukan malah menganggap mereka negara kecil yang
miskin, yang tidak mampu menghidupi rakyatnya.
[1] Robert Jarvis. 2008.
Cooperation Under the Security Dilemma.
The Johns Hopkins University Press. Hal 41
Tidak ada komentar:
Posting Komentar