“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Offense-Defensive Theory


Oleh: Galih Wisnu Aji - Mahasiswa HI UMM
Dalam hubungan internasional antar negara-negara di dunia, terdapat sistem anarki yang memunculkan situasi dimana satu negara meningkatkan postur militernya, hal itu membuat keamanan negara lain akan menurun. Negara yang merasa terancam oleh kekuatan negara lain yang kekuatannya semakin meningkat akan mengalami sebuah security dilemma dimana negara yang terancam tersebut harus melakukan pilihan antara offensive (dengan melakukan ekspansi militer sebelum negara yang memberikan ancaman itu tiba dan menyerang negaranya) atau defensive (yakni memilih untuk bertahan dan memperkuat militernya atau senjata-senjatanya agar bila suatu saat negara lain menyerang, mereka mampu menahan serangannya). Robert Jarvis dalam esainya yang berjudul “Cooperation Under the Security Dilemma” menjelaskan bahwa:
“…, most statesmen held the reasonable position that weapons that threatened civilians is offensive. But when neither side can protect its civilians, a counter-city posture is defensive because state can credibly threaten to retaliate only is response to an attack on itself or its closest allies.”[1]

Dalam studi kasus Korea Utara dan senjata nuklir yang mereka modernisasi terus-menerus setiap waktu, menjelaskan bahwa Korea Utara bersikap defensive demi menjaga keamanan negara dan rakyatnya dari ekspansi militer negara lain. Status ‘axis of evil’ yang diberikan oleh Amerika Serikat membuat mereka sadar bahwa mereka adalah musuh besar bagi negeri Paman Sam. Pyongyang berusaha melindungi negara dari ancaman Amerika Serikat dengan memperbesar kekuatan nuklir. Mereka juga berusaha membuat negara-negara tetangga yang berkemampuan ekonomi lebih besar agar lebih segan terhadap mereka dengan senjata-senjata nuklir yang siap diluncurkan jika saja mereka mengusik Korea Utara.
Kebijakan untuk bertahan ini akan terus dipertahankan oleh Korea Utara agar mereka dapat tetap bertahan hidup dalam hubungan internasional. Mereka akan tetap dalam kebijakan self defense mereka dengan membangun program nuklirnya terus menerus, hingga dunia internasional yang anarki menjadi lebih baik, atau mungkin hingga Amerika Serikat mengubah persepsi mereka bahwa Korea Utara adalah musuhnya yang perlu dilumpuhkan, serta hingga negeri-negeri di sekitarnya menyegani mereka dan bukan malah menganggap mereka negara kecil yang miskin, yang tidak mampu menghidupi rakyatnya.


[1] Robert Jarvis. 2008. Cooperation Under the Security Dilemma. The Johns Hopkins University Press. Hal  41

Tidak ada komentar:

Posting Komentar