Oleh: Koento Wijanarko ( Mahasiswa HI UMM)
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pasca tumbangnya rezim orde baru, sontak saja bangsa
kita mengalami euforia dengan bermacam gagasan baru. Demi menyukseskan apa yang
kita sebut sebagai reformasi, maka diujicobakanlah konsep-konsep yang lebih
dulu sukses di negara-negara maju seperti desentralisasi, demokratisasi, good
governance dan pemberdayaan masyarakat. Indonesia juga tidak mau
ketinggalan mengejar Millenium Development Goals.
Selayaknnya anak kecil yang sedang belajar berjalan,
Indonesia juga tertatih-tatih mengikuti berbagai wacana baru yang sebelumnya
asing bagi kita. Lihat saja bagaimana kita mengejawantahkan demokrasi, masih
sebatas prosedural dan abai terhadap hal-hal substansial.
Demokrasi semata dimaknai sebagai sebuah metode
kelembagaan, maka proses-proses demokrasi diukur dalam parameter “bagaimana
suara didapatkan”. Artinya, demokrasi adalah proses bagaimana untuk mendapatkan
legitimasi publik, dalam hal ini, suara rakyat dalam Pemilu. Jangan heran jika
pemilu, pilpres dan pilkada dianggap sebagai pencapaian brilian dari upaya
demokratisasi.
Dalam logika
demokrasi yang digunakan Indonesia, yang disebut dengan “demokrasi” terbatas
pada persoalan pemilu, partai politik, parlemen, dan sekitarnya. Diskursus
mengenai demokrasi di ruang-ruang informal belum menjadi domain dari “demokrasi”.
Proses demokrasi cenderung sangat elitis dan bertumpu pada aktor-aktor utama di
eksekutif serta legislatif.
Perlahan tapi pasti, partisipasi mulai
ditumbuhkembangkan di negeri ini, salah satu di antaranya melalui musrenbang.
Tujuannya adalah mengubah paradigma lama dalam perencanaan
pembangunan/kebijakan publik yang melulu top down menjadi bottom up.
Akan tetapi, kekecewaan publik juga mengemuka di
beberapa daerah. Bahkan, ada yang memelesetkan bottom up menjadi mboten
up (alias tidak naik-naik). Musyawarah
Perencanaan Pembangunan (Musrenbag) sejatinya adalah wahana untuk
mengakomodir kebutuhan masyarakat melalui proses yang mengusung semangat participatory
planning and budgeting. Nyatanya, kerap kali apa yang diusulkan oleh
masyarakat dalam arena musrenbang tidak pernah terealisasi dalam program yang
nyata.
Walhasil, Musrenbag tak ubahnya sebuah ritual rutin
tahunan demi menggugurkan kewajiban Pemerintah Daerah. Lebih menyedihkan lagi
jika acaranya justru menekankan pada aspek seremonial belaka, ditandai adanya
sambutan dari para pejabat publik. Padahal bukan itu esensi dari musrenbang.
Sebagaimana sudah disebutkan di atas, praktek
demokrasi di Indonesia masih sebatas aspek prosedural semata. Lalu bagaimana
seharusnya sisi lain demokrasi ditumbuhkembangkan?
Pemikiran
Jurgen Habermas tentang masalah Demokrasi yang ada di Indonesia kontemporer
Jurgen
Habermas seorang ilmuwan sosial kritis Madzhab Frankfurt generasi kedua,
menawarkan tentang demokrasi deliberatif. Habermas mempunyai keyakinan bahwa melalui
tindakan komunikatif masyarakat modern dengan segala kompleksitasnya dapat
diintegrasikan. Tindakan komunikatif adalah tindakan yang mengarahkan diri pada
konsensus.
Janette Hartz-Karp (2005) mengidentifikasi demokrasi
deliberatif butuh setidaknya tiga hal berikut ini: (1) pengaruh: kemampuan
untuk mempengaruhi kebijakan dan pembuatan keputusan; (2) keterbukaan
(inclusion): perwakilan penduduk, keterbukaan pandangan dan nilai-nilai yang
beragam, serta kesempatan yang sama untuk berpartipasi; (3) deliberasi:
komunikasi terbuka, akses informasi, ruang untuk memahami dan membingkai ulang
berbagai isu, saling menghormati, dan gerakan menuju konsensus.
Keterlibatan masyarakat dalam berpartisipasi merupakan
inti dari demokrasi deliberatif. Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif
berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum
yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis
yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan
diskursif-argumentatif.”[1]
Dengan
demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam
hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas
melalui diskursivitas.[2]
Semangat
dari pelaksanaan musrenbang sejatinya sejalan dengan demokrasi deliberatif.
Secara sederhana, demokrasi deliberatif ditandai dengan adanya ruang untuk
curhat, usul, atau kritik bagi seluruh elemen masyarakat, tanpa pandang bulu,
agar segala sisi kemanusiaan dapat diserap sistem politik-ekonomi atau
ekonomi-politik.
Jika dilihat dari relasi antara pemerintah dan
masyarakat/rakyat, partisipasi dapat dibagi menjadi tiga model: partisipasi
yang diundang (invited participation), partisipasi rakyat banyak dari
bawah (popular participation) atau dapat disebut gerakan sosial dan
permusyawaratan bersama (deliberative participation) antara pemerintah
dan masyarakat.
Saat ini, musrenbang di banyak daerah (termasuk
Jakarta) hanya dapat dikategorikan sebagai bentuk lain dari invited
participation yang dijalankan oleh pemerintah daerah atau biasa disebut executive
led articulation. Tidak salah jika ada yang mengatakan musrenbang merupakan
merupakan mekanisme standar artikulasi, agregasi dan
partisipasi dalam perencanaan pembangunan daerah yang ditempuh pemerintah.
Idealnya, suatu saat nanti dapat terbentuk
sebuah bentuk baru dari permusyawaratan antara pemerintah dengan masyarakat
yang benar-benar mencerminkan deliberative participation. Selain tetap
mempertahankan invited articipation, perlu dipikirkan bagaimana bisa
meningkatkan popular participation.
Partisipasi seperti ini hanya bisa
terwujud pada warga masyarakat yang terdidik dan terorganisir sehingga mereka
mempunyai kesadaran kritis dan kompetensi terhadap masalah-masalah publik. Ia
tumbuh ditandai dengan munculnya organisasi-organisasi masyarakat, berbagai
komunitas, ruang-ruang publik yang semarak, jaringan sosial yang padat, media
yang bebas dan kritis, dan seterusnya. Berbagai elemen masyarakat itu
mengorganisir kepentingan mereka, melahap berbagai informasi publik yang
terkait dengan kepentingan mereka, mempunyai peta masalah dan ide-ide
alternatif untuk kebijakan, aktif mencermati dan merespons kebijakan publik,
aktif melakukan watch dog terhadap lembaga-lembaga publik, dan
lain-lain.
Pada saat popular participation
sudah tumbuh subur, maka musrenbang kelak bertransfromasi dari invited
participation menjadi deliberative participation. Demokrasi
deliberatif adalah sebuah asosiasi yang memiliki banyak urusan yang dikelola
dengan deliberasi publik di antara para anggotanya, sekaligus sebuah asosiasi
yang memiliki sejumlah anggota yang saling berbagi komitmen untuk menyelesaikan
masalah dan menentukan pilihan kolektif melalui dialog publik (Cohen, 1989).
Habermas dalam karya fenomenalnya, The
Structural Transformation of the Public Sphere, telah meletakkan
dasar-dasar demokrasi deliberatif. Setidaknya ada tiga argumen penting Habermas
yang menyokong teorisasi yang dia bangun berdasarkan narasi sosiologi-sejarah
tentang kemunculan, perubahan, dan disintegrasi ruang publik.
Pertama, demokrasi memerlukan arena ekstra-politik dalam
masyarakat politik yang di dalamnya ia mengembangkan dan mensosialisasikan
sebagian besar orang, khususnya kelompok yang kurang memperoleh perhatian.
Kedua, sebuah ruang publik yang kritis diperlukan untuk menjembatani
kesenjangan yang tumbuh antara masyarakat sipil dan basis sentralitasnya dalam
perdebatan demokrasi deliberatif. Ketiga, demokrasi semakin rusak dan mengalami
pembusukan ketika ia dilembagakan secara formal.
Kesimpulan
Apa yang paling mendasar dalam demokrasi deliberatif
adalah sebuah proses pelibatan publik dalam membuat keputusan/kebijakan. Baik
pengambil keputusan maupun unsur warga masyarakat melakukan dialog secara
bersama, terbuka, dan kritis mengidentifikasi persoalan, mencari solusi
pemecahan masalah, dan mengambil kesepakatan bersama, yang semua itu dijadikan
sebagai basis pengambilan kebijakan oleh pemerintah.
Banyak pihak yang pesimis atau malah skeptis terhadap
eksistensi musrenbang saat ini. Realitanya, musrenbang lebih banyak
menghadirkan kekecewaan publik. Tapi, terlalu dini jika kita nyatakan bahwa exercise
yang sedang kita lakukan sudah gagal dan harus ditinggalkan. Partisipasi publik
tetap harus didorong, salah satunya melalui musrenbang.
Partisipasi bukan sekadar kehadiran sekelompok warga
atau masyarakat dalam proses musrenbang saja. Dalam musrenbang warga didorong
untuk terlibat mengambil keputusan. Musrenbang bukan hanya alat tetapi juga
sebuah ruang yang menjamin warga dijamin memiliki hak dan kebebasan berpendapat
serta terlibat dalam setiap pengambilan keputusan. Lebih dari itu, musrenbang
dapat sangat bermanfaat untuk membangun mutual trust, kebersamaan,
kemitraan, dan penyelesaian masalah yang tepat dan efektif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar