Oleh: Galih Wisnu Aji Mahasiswa HI UMM
1. Pendahuluan
Setelah berakhirnya era Perang Dingin yang ditandai
dengan runtuhnya pemimpin kekuatan blok Timur, Uni Soviet, tatanan dunia
semakin rumit, bahkan semakin rumit bila dibanding era perang ideologi antara
Uni Soviet melawan NATO (North Atlantic
Treaty Organization). Akhir-akhir ini, NATO sebagai pemenang Perang Dingin
semakin lama semakin berusaha memperkuat ideologinya, bahkan ke wilayah-wilayah
yang seharusnya bukanlah tempat NATO. Mereka melakukan perluasan ke timur
Eropa, hingga mencapai negara-negara bekas Uni Soviet yang telah terpecah
belah, seperti Ukraina dan Georgia. Meskipun rencana perluasan hanyalah wacana
dan belum terealisasikan, namun Rusia, sebagai negara pecahan Uni Soviet
terbesar, berusaha untuk mencegah agar NATO yang dipimpin oleh Amerika Serikat
tidak dapat mengajak negara-negara Eropa Timur bergabung.
Agresivitas
NATO dengan perluasan wilayah hingga mencapai tempat-tempat yang tidak
semestinya membuat Rusia kebakaran jenggot. Rusia khawatir pengaruh ideologi
blok Barat akan menjangkiti negara-negara Eropa Timur. Kekhawatiran Rusia
bukanlah tanpa alasan, beberapa tahun belakangan terdengar kabar bahwa NATO
telah menjalin kesepakatan dengan Georgia untuk bergabung dengan mereka.
Georgia merupakan negara yang pada era Perang Dingin berada di bawah bendera
USSR saat ini sering terlihat bekerjasama dengan NATO, mulai dari perang
melawan terorisme di Afghanistan[1] hingga kerjasama dengan
Amerika Serikat dalam memperkuat military
force mengenai konflik dengan Rusia memberebutkan pengaruh di wilayah
Ossetia Selatan dan Abkhazia.
Perseteruan antara Rusia dan Georgia semakin sengit
karena adanya bantuan Amerika Serikat dan NATO, hal ini membuat Rusia mengalami
sebuah dilemma mengenai apa yang
harus dilakukan dalam konflik negaranya dengan Georgia. Meskipun saat ini
Amerika masih sibuk dengan kekuasaannya di Timur Tengah, namun Rusia perlu
mewaspadai kekuatan Amerika Serikat lewat suplai-suplai senjata ke Georgia dan
serangan mendadak jika Rusia terus mengintimidasi Georgia.
Konflik Rusia dan Georgia memang baru terlihat pada
tahun 2006 ketika Ossetia Selatan berinisiatif untuk membuat pemerintahan
sendiri dengan mengadakan pemilu.[2] Georgia yang tidak terima
dengan deklarasi kemerdekaan Ossetia Selatan yang ingin keluar dari wilayah
negaranya membombardir ibukota Ossetia Selatan, Tskhinvali,
dengan serangan udara. Rusia yang mendukung kemerdekaan Ossetia Selatan pun
membalas dengan serangan udara balasan ke ibukota Georgia, Tbilisi.
Konflik semakin membesar ketika Rusia mengetahui
bahwa Georgia berkawan dengan NATO mengenai masalah konflik Ossetia Selatan.
Rusia menuding NATO sengaja membantu dan mengajak Georgia bergabung dengan
mereka untuk menyebarkan ideologi Barat yang akan sangat mengancam kelangsungan
hidup Rusia, apalagi Georgia adalah negara yang berbatasan langsung dengan
Rusia.
2. Kerangka Teori
Konsep Security Dilemma
Dilemma keamanan muncul ketika adanya aksi dari
suatu negara untuk meningkatkan keamanan negaranya, namun disatu sisi ini
menimbulkan reaksi dari negara lain yang juga ingin meningkatkan keamanannya,
yang pada akhirnya reaksi ini menyebabkan penurunan keamanan di negara pertama.
Negara harus berjuang mempertahankan eksistensinya. Hal ini memicu adanya security dilemma, yaitu sistem anarki
sebagai sistem internasional. Sistem anarki itu sendiri yaitu sistem tanpa
adanya kekuasaan yang lebih tinggi dan tidak ada pemerintahan dunia.[3] Dalam sistem pemerintahan
internasional yang anarki, semua negara membutuhkan keunggulan power dan
keamanan. Negara harus memiliki sarana kekuatan seperti militer,
persenjataan, sebagai bukti bahwa negara itu kuat, dan juga sebagai alat
pertahanan jika ada ancaman atau serangan dari negara lain. Menurut Barry R.
Posen, kondisi anarki tersebut membuat keamanan adalah first concern bagi suatu negara.[4] Dengan adanya kekuatan
ini, yang mana tujuan utama dari negara dengan keberadaan kekuatan tersebut,
yaitu untuk menjaga keamanan dan mempertahankan diri, disisi lain hal ini
juga akan memicu rasa khawatir negara lain yang nantinya negara tersebut akan
memperkuat militernya. Ini dilakukan karena adanya perasaan terancam dan rasa
takut diserang oleh negara lain yang berkekuatan lebih.
Dalam konteks ini, Rusia sebagai sebuah negara yang
berada di Eropa Timur berusaha untuk selalu menjaga kestabilan keamanannya.
Bagi Rusia, ekspansi NATO ke Eastern
Europe adalah suatu ancaman yang sangat berbahaya apabila dibiarkan.
Amerika bersama NATO bisa merusak sistem keamanan negara Rusia. Pertemanan NATO
dengan Georgia menjadi suatu hal yang menurut Rusia harus segera diakhiri agar
keamanan Rusia sendiri dapat terkontrol dan tidak ada lagi ancaman dari luar
negeri, termasuk dari NATO. Georgia merupakan negara yang berbatasan darat
dengan Rusia, meskipun negara ini sangat kecil, Tbilisi bisa dijadikan NATO
sebagai tempat yang sangat kompeten bagi mereka untuk melihat Rusia dan seluruh
tingkah laku negaranya.
3. Pembahasan
Sebagai negara yang mewarisi kebesaran Uni Soviet,
Federasi Rusia berusaha untuk selalu menjaga kebesaran negara pendahulunya. Mereka
selalu berusaha agar ideologi-ideologi yang diciptakan USSR tetap ada, meskipun
negara superpower blok Timur tersebut
telah runtuh dan terpecah menjadi berkeping-keping. Begitu fanatiknya mereka
terhadap USSR, sampai-sampai mereka berinisiatif untuk mematikan setiap
pergerakan NATO di Eropa Timur, seperti masalah yang terjadi antara Rusia,
Georgia, dan Amerika Serikat sebagai pemimpin NATO.
Berpihaknya Georgia, yang notabenenya sebagai
pecahan Uni Soviet, terhadap NATO membuat Rusia tidak bisa tinggal diam melihat
pengaruh NATO yang hebat di Georgia. Presiden Georgia yang memerintah sejak
2003, Mikhail
Saakashvili, memang merupakan sosok yang pro-Amerika. Dibawah pemerintahannya,
Georgia berupaya terus untuk bergabung dengan NATO dan mendapat dukungan dari
AS.[5]
Meskipun upaya Georgia tersebut belum terealisasi, namun Rusia telah berpikir
bahwa kerjasama Georgia-NATO harus segera diakhiri, karena kerjasama tersebut
bagi Rusia bukanlah hal sepele, Rusia merasa harus mewaspadai kalau Amerika
bersama NATO datang ke Eropa Timur dan membawa segenap kekuatan mereka dan
menyebarkan ideologi blok Barat di bagian timur Eropa.
Kerjasama antara Georgia dan NATO mulai mengemuka
saat pasukan militer Amerika Serikat bersama anggota NATO melakukan perang
melawan terorisme di Afghanistan. Georgia menjadi negara non-NATO yang
mengirimkan 900 tentaranya dalam war on
terrorism.[6]
Beberapa tahun belakangan, kerjasama Georgia-NATO kembali terlihat dengan
bantuan NATO yang menyuplai senjata bagi Georgia dalam konflik antara Georgia
dengan Ossetia Selatan dibantu oleh pasukan militer Rusia. Moskow menentang keras langkah itu dan menilai setiap
pakta militer, termasuk NATO di negara-negara tetangganya sebagai ancaman
langsung terhadap keamanan nasional Rusia.[7]
Kedatangan NATO yang membawa ideologi Barat membawa
Rusia dalam posisi yang sulit. Konflik dengan Georgia yang seharusnya dapat diselesaikan
sendiri diantara mereka harus membawa pihak ketiga dalam perselisihan tersebut.
Hingga saat ini memang Rusia belum bersedia untuk berdamai dengan Tbilisi,
karena Rusia masih menganggap bahwa Georgia melakukan hal-hal yang tidak
sepantasnya dengan melakukan pengeboman hingga serangan udara ke Ossetia
Selatan ataupun Abkhazia. Rusia sebagai salah satu negara dengan pasukan
militer terbanyak di dunia berusaha membalas serangan ke negara Georgia
tersebut sebagai bentuk mereka menyetujui kemerdekaan Ossetia Selatan dan
Abkhazia dari Georgia. Rusia bahkan mengerahkan tank-tank tempur dan pasukannya
ke Ossetia Selatan pada Jumat, 8 Agustus 2008 lalu. Operasi itu sebagai respons
atas serangan militer Georgia untuk merebut provinsi tersebut yang mereka
lakukan sebelumnya.[8]
4. Kesimpulan
Rusia sebagai negara besar pun memiliki rasa
ketakutan, mereka takut kalau NATO datang ke Eropa Timur untuk mendoktrin
orang-orang disana agar ikut ideologi mereka. Rusia pun ingin negara-negara
Eropa Timur lebih menurut kepada mereka tanpa melakukan hal-hal yang dianggap
tidak baik oleh Rusia dengan menggandeng NATO. NATO hanyalah ancaman bagi
kelangsungan hidup Rusia, selain ancaman bagi Eropa Timur pada umumnya, karena
adanya Amerika Serikat disana hanyalah sebagai pengacau yang akan membuat dunia
Eropa Timur semakin tidak berjalan dengan baik.
[2] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/08/14/konflik-ossetia-ajang-perebutan-pengaruh-antara-nato-dan-rusia/v
[4] Barry R. Posen.
Security dilemma and ethnic conflict dari http://www.sais-jhu.edu/cmtoolkit/pdfs/posen-1993.pdf
[5] http://hizbut-tahrir.or.id/2008/08/14/konflik-ossetia-ajang-perebutan-pengaruh-antara-nato-dan-rusia/v
[7] http://indonesian.irib.ir/fokus/-/asset_publisher/v5Xe/content/as-rusia-dan-keanggotaan-georgia-di-nato
[8] Gorbachev
Kecam AS Soal Konflik Rusia-Georgia dalam http://news.detik.com/read/2008/08/12/102506/986948/10/gorbachev-kecam-as-soal-konflik-rusia-georgia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar