Oleh : Koento Wijanarko (Mahasisawa HI UMM)
Abstrakasi
Penulis disini akan mencoba menganalisa dua pandangan dari dunia
Internasional kontemporer terhadap kesesuaiannya antara Islam sebagai agama dengan
Demokrasi sebagai system perpolitikkan. Dua pandangan dari dunia Internasional
ini tidak bisa serta merta disatukan begitu saja, karena dua pandangan ini
memiliki pendapat dan bukti yang sama-sama kuat untuk mempertahankan
pendapatkan sehingga dunia Internasionalpun mengelempokkan dua pendapat ini menjadi
Sekulerisme yang digagas oleh Samuel P. Huntington dan Modernisme diusung oleh Sayed Khatab dan Gary D. Bauma.
Sekulerisme artinya menganggap bahwa
agama dengan politik tidak dapat disatukan, inkompetible islam dan demokrasi
sehingga agama disini sama sekali tidak mempunyai peran yang penting di
struktur kepemerintahan maupun dalam pengambilan keputusan di Negara yang
bersangkutan, sedangkan Modernisme melihat nilai-nilai agama tetap harus ada
dan mengikuti perkembangan zaman melihat islam kompetible dengan demokrasi, dan
di era globalisasi saat ini kita melihat Demokrasilah yang berhasil memenangi
pertarungan ideology.
Kata
kunci :Kompetible, Islam, demokrasi, kelompok sekulerisme dan modernisme.
PENDAHULUAN
Yang menimbulkan permasalahan disini adalah
terdapatnya dua pendapat besar yang sama-sama kuat antara demokrasi kompetible
apa tidak dengan Islam dan inkompetible Islam dengan demokrasi dimana dua
pendapat ini memiliki argument yang sama-sama kuat. Berdasarkan dua pendapat
ini pertama saya akan menulis tentang kompetiblenya Islam dengan demokrasi atau
pendapat dari kelompok Modernisme
yang percaya bahwa Islam dengan demokrasi itu sesuai karena melihat dari
nilai-nilai yang ada pada agama Islam.
Hubungan
antara agama dan politik dalam masyarakat Muslim telah menjadi fokus
perdebatan di kalangan ulama Islam. Beberapa pandangan Islam hanya sebagai agama tanpa
hak untuk memerintah. Bagaimanapun, pandangan Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem dan tatanan sosial meliputi semua bidang kehidupan manusia, termasuk negara dan hukum.
perdebatan di kalangan ulama Islam. Beberapa pandangan Islam hanya sebagai agama tanpa
hak untuk memerintah. Bagaimanapun, pandangan Islam bukan hanya agama, tetapi juga sistem dan tatanan sosial meliputi semua bidang kehidupan manusia, termasuk negara dan hukum.
Didalam Al-Qur'an ditunjukkan konotasi politik dari
banyak istilah seperti mulk (dominasi), umat (bangsa) dan persyaratan lain
dengan konotasi politik. Misalnya, kata Arab sultan, yang berulang kali disebutkan
dalam Al Qur'an, adalah arti otoritas kata benda abstrak dan aturan, dan
digunakan dari awal zaman Islam untuk menunjukkan government. Demikian pula,
istilah hukm (untuk memerintah dan hakim) dan turunan yang seperti gubernur, penguasa dan hakim, muncul dalam Al-Qur'an
lebih dari 250 kali dan masing-masing memiliki konotasi politik.[1] Debat
publik Muslim dunia atas konstitusi, hukum, hak-hak sipil, dan identitas
nasional dan budaya, seperti kebebasan, keadilan, kesetaraan dan hak asasi
manusia menempati hati dan pikiran Islam. Ini menunjukkan penekanan Islam pada
kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Bagian pada prinsip-prinsip politik yang
singkat terebut menguraikan gagasan demokrasi di beberapa prinsip-prinsip Islam
politik dan model negara Madinah, yang terus dianggap sebagai sumber bimbingan
di bidang pemerintahan.[2]
Islam
merupakan sumber motivasi bagi pemerintahan demokrasi, menjunjung tinggi hak
asasi manusia, keadilan dan kebebasan. Hal ini yang menghubungkan bagaimana
islam mengajarkan tentang tatanan kehidupan bernegara dalam kondisi yang baik,
contohnya masyarakat mayoritas muslim
yang berada dalam negara demokrasi seperti Turki dan Indonesia. Di dalam negara
yang mayoritas masyarakatnya beragama muslim dan menerapkan pemerintahan yang
demokrasi, pasti ada timbulnya gesek-gesekan kecil memicu konflik, akan tetapi
tidak akan menjadi besar, karena satu sama lain akan saling menghormati seperti
yang diajarkan oleh islam yang sama dengan nilai-nilai yang terkandung dalam
demokrasi.
Ajaran
islam tentang cara bermasyarakat, hubungan antara individu, individu dengan
kelompok sesuai dengan nilai-nilai demokrasi secara luas sehingga demokrasi
sangat pantas untuk negara yang mayoritas masyarakatnya beragama muslim jika
negara tersebut tidak dapat menerapkan hukum islam seperti sebagian besar
negara-negara di timur tengah.
Pendapat yang kedua turun dari pemikiran barat yang
menyatakan bahwa Islam adalah agama dan tidak bisa disatukan dengan politik
yang saat ini menganut demokrasi. Karena system politik demokrasi itu berasal
dari ideology liberal yang menjelaskan bahwa kebebasan individu yang paling
diutamakan dan saat ini hampir sebagian Negara di dunia menganut system
demokrasi ini. Nilai-nilai Islam dianggap tidak sesuai dengan demokrasi karena
Islam disini dilihat sebagai agama dan hanya terbatas sebagai keyakinan bagi
penganutnya.
Didalam
tulisan ini saya melihat
dari
pemikiran Samuel P. Huntington yang
berpendapat
dalam thesisnya The Class of Civilization
sebagai berikut islam tidak memiliki visi dan aksi terhadap demokratisasi
karena adanya benturan peradapan antara islam dan barat. Dan Pandangan bahwa Islam
antidemokrasi ini telah menjadi stereotipe banyak Ilmuwan dan politisasi Barat.
Dan hal ini seringkali menyeret kesimpulan bahwasanya Islam adalah musuh baru
bagi peradapan Barat, ini upaya penolakan Huntington terhadap pluralisme budaya
dalam satu kesatuan negara. Ia sangat takut terhadap keberagaman dan
jelas-jelas menolak konsep keberagaman bahasa, agama, dan lain-lain dalam
masyarakat Amerika.[3] Sehingga dari pendapatnya
ini terlihat bahwa ketidaksetujuan Huntington akan kesamaannya Islam dengan
demokrasi.
PEMBAHASAN
Negara
adalah komunitas politik yang terorganisir di mana kewarganegaraan diwujudkan
dan di mana otoritas negara dipandang sebagai kapasitas yang sah untuk
memerintah. negara didefinisikan baik jika mengacu pada ideologi, struktur,
tujuan dan organisasi birokrasi yang baik untuk kesejahteraan masyarakat. Fungsi
negara berjalan dengan baik ketika kinerja lembaga pemerintah berjalan bersamaan
dengan keinginan masyarakat banyak dan mampu mengontrol interaksi masyarakat
agar tidak terjadinya konflik. Ketika sebuah negara mampu melakukan hal
tersebut maka akan menumbuhkan kesejahteraan masyarakat, hal ini berkaitan erat
dengan nilai-nilai dasar demokrasi dan sesuai dengan hukum islam.
Berbicara tentang
demokrasi dan partisipasi demokratis
dalam Islam tidak berarti bahwa demokrasi adalah sebuah istilah
Al-Qur’an dijelaskan dalam Al-Qur'an atau sunnah.
Yang dimaksud disini fungsi nilai-nilai demokrasi
sesuai dengan ajaran Islam
yang didasarkan pada Al-Qur'an dan sunnah.
Demokrasi di sini adalah sebuah konsep yang lebih luas dengan nilai-nilai terhadap diri, terhadap yang
oang lain, dan kombinasi dari
sosial dan politik merupakan syarat yang
diperlukan untuk tetap menjaga hubungan antara manusia
dan menciptakan perdamaian dunia, hubungan internasional antara negara-negara menjadi lebih baik,
dan pengembangan kesejahteraan individu dalam masyarakat dapat lebih
meningkat.
Pondasi
berdirinya negara islam pada abab ke 7 sama dengan demokrasi saat ini dalam
aspek yang luas yaitu negara memberikan kesejahteraan dan terbuka untuk
sejumlah umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan etnis, dengan umat
islam mereka menikmati kesetaraan, keadilan dan kebebasan. Kebebasan, keadilan,
kesetaraan, dan hak asasi manusia adalah nilai-nilai demokrasi. Beberapa hal
dasar dalam hukum Islam, kaitannya dengan hukum dan urusan publik yang
tertindas, seperti penyalahgunakan kekuasaan dan dimaafkan oleh mereka yang menjalankan
rezim otoriter dalam negara Islam.
Aturan dan hukum
Islam umumnya ada dua kategori: yang pertama
terdiri dari perintah untuk tujuan
religius dan spiritual,
Ini termasuk aturan iman dan ibadah. Kategori
kedua terdiri dari aturan dan
hukum administrasi dan mengorganisir masyarakat serta hubungan antara individu
dan masyarakat. Ini termasuk
aturan perilaku manusia, hukum pidana, hukum
Status sipil, hukum konstitusi, hukum internasional, dan sejenisnya. Islam juga tegas menghubungkan dua kategori yaitu politik, ekonomi, sosial, intelektual
dengan moral dari ide-ide individu muncul
dalam satu kerangka, sehingga semua ide-ide yang muncul sangatlah
seimbang dan harmonis. Dalam Kategori yang kedua,
nilai-nilai demokrasi sangat melekat, aturan islam secara luas sesuai dengan
nilai-nilai demokrasi.
Berdasarkan prinsip-prinsip teori
keuangan Islam, negara terikat untuk memberikan upah yang layak atau bantuan
kepada setiap warga negara yang bekerja tanpa diskriminasi ras, kasta agama,
atau keyakinan, dan tidak adanya tindakan mengeksploitasi atau dieksploitasi kelas
terhadap orang miskin maupun yang kaya. Penerima manfaat utama dari negara
adalah warga negara sehingga menyebabkan pembentukan yang lebih rasional
terhadap sistem pemerintahan bukan seperti sistem kapitalisme kontemporer atau
komunisme. Hal tersebut adalah yang diajarkan islam dalam menjalankan kehidupan
di dalam suatu negara, hubungan antara pemerintah dan rakyatnya, sama seperti
nilai-nilai yang terkandung dalam demokrasi.
Istilah yang digunakan oleh para
ahli hukum islam untuk menulis tentang hukum internasional adalah siyar jamak dari sirah yang berarti cara orang berprilaku terhadap diri dan
terhadap orang lain, hukum internasional mengatur interaksi antara negara satu
dengan negara lain[4].
Muhammad ibn al-Hasan (750-804) pendiri sekolah fikih Hanafi adalah seorang
mahasiswa yang terkenal karena sarjana pertamanya menulis sebuah buku yang ber
judul al-Siyar al-Saghir (Pengantar
Hukum Negara). Buku tersebut diabadikan sebagai landasan para sarjana hukum dan
kemudian di terjemahkan ke dalam bahasa inggris. Pada tahun 2006 Jhons Hopkins
menerbitkan buku yang berjudul The
Islamic Law of Nation. Jauh sebelum ilmu tentang dunia internasional
berkembang, pemikir islam seperti Muhammad ibn al-Hasan telah membuat sebuah
buku yang menjelaskan tentang hukum internasional yang di dasari oleh
hukum-hukum islam.
Perintah-perintah
dalam hukum islam ditentukan oleh Allah SWT untuk hambanya, tidak adanya
paksaan dalam perintah tersebut. Kebebasan dalam hukum islam tidak ada paksaan,
akan tetapi tidak lengkap sebuah kebebasan tanpa adanya tanggung jawab. Sama
halnya dengan nilai-nilai demokrasi, setiap individu diberikan kebabasan dalam
hal apapun akan tetapi tidak melanggar kebebasan orang lain dan jikalau
kebebasan individu telah melanggar kebebasan individu lain, maka pertanggung
jawaban harus di berikan.
Semangat
Islam memberikan efek yang mendalam pada realitas sejarah Islam. pengertian
tentang keyakinan dan konsepsi Islam telah berubah menjadi kepribadian dalam
peristiwa sejarah. Ini menjadi contoh kepada manusia yang hidup pada masa
sekarang, peristiwa yang benar-benar terjadi,
perilaku dan aktivitas disaksikan oleh mata, didengar oleh telinga sehingga
terbentuk kepribadian yang kuat, rasa kemanusiaan, menghormati persaudaraan dan
harmoni antara orang yang berbeda etnis, bahasa dan agama. Nilai-nilai
demokrasi sesuai dengan ajaran islam, dimana setiap individu diajarkan untuk
saling menghormati dalam hal perbedaan etnis, bahasa dan agama agar terciptanya
sebuah harmonisasi antara individu satu dengan individu yang lain. Negara
demokrasi yang mampu menerapkan hal tersebut, bukan hanya sentuhan demokrasi
yang terlihat, tetapi nilai dari ajaran islam akan nampak menghiasi berjalannya
hubungan antara pemerintah dan masyarakat.
Mengutip
Perkataan Abu Bakar ketika pada
saat Ia
diangkat menjadi pemimpin di Madinah, Ia berkata:
“Saya
yang memimpin anda sekarang, walaupun saya bukan yang terbaik dari anda. Saya
akan membantu anda dengan apa yang menurut saya benar menurut ajaran islam,
jujur dapat dipercaya dan kebohongan adalah ketidak jujuran. Yang lemah
diantara kamu adalah kuat bagi saya, sampai saya memenuhi hak-haknya, dan kuat
diantara kamu adalah lemah bagi saya, sampai saya menegakkan keadilan
kepadanya. Jika korupsi menyebar diantara manusia, Allah SWT akan menyebar
bencana diantara mereka. Patuhi saya selama saya taat kepada Allah SWT, jika
saya sudah tidak taat, anda tidak perlu menaati saya.”[5]
Abu Bakar adalah pemimpin yang
memegang teguh ajaran islam dan menggunakan hukum islam dalam menjalankan
pemerintahannya, hal tersebut mengandung nilai-nilai demokrasi secara luas,
seperti memberikan hak-hak terhadap rakyatnya, menegakkan keadilan dan tindakan
korupsi diyakini dapat merusak perjalannan suatu pemerintahan didalam negara.
DAFTAR
PUSTAKA
Sayed
Khatab and Gary D. Bauma, 2007,
Democracyin Islam, Madison Ave, New York,
Jean
Jaques Rousseau, Du Contract Sosial, dalam HM. Thalhah, Teori Demokrasi dalam Wacana Ketatanegaraan Perspektif Pemikiran Hans
Kelsen, diakses dari: law.uii.ac.id/images/stories/.../3%20HM.%20Thalhah.pdf
Luthfei Kamil, 1998, Islam dan Nilai Islam, diakses dari: www.oocities.org/capitolhill/3925/sd9/islamddemo_9.html
[1] Untuk
contoh, lihat Al-Quran,
7:71; 10:68; 11:96; 12:40; 14:10; untuk etymological specifics dari kata
‘sultan’, ,lihat
Ibn Manzur, Jamal al-Din (1232–1311) (1994), Lisan al-Arab, Beirut: Dar Sadr,
15 vols, vol. 7, pp. 321–322; untuk Muslim memakai kata ‘sultan’, lihat Schacht, J. and Bosworth, C.E.
(1974), The Legacy of Islam, Oxford University Press, 2nd edn, pp. 169–171.
[2] Sayed Khatab and Gary D. Bauma,
2007, Democracyin Islam: The political Theory, Madison Ave, New York,
pages 16
[3] Luthfei
Kamil, 1998, Islam dan Nilai Islam, diakses
dari: www.oocities.org/capitolhill/3925/sd9/islamddemo_9.html (09/01/13, 22:34 WIB)
[4] Abd al-Raziq,
‘Ali, ‘Al-Islam wa Usul al-Hukm’, al-Siasah al-Yawmiyyah, no. 882, pp. 35–36;
Imarah, Al-Islam wa Usul Al-Hukum, p. 74.
[5] Dawood,
N.J. (1999), The Koran [translation], UK: Penguin Books, p. 319
Tidak ada komentar:
Posting Komentar