Oleh: Galih Wisnu Aji- Mahasiswa HI UMM
Abstract
As a developed
country, Japan has many things to offer. They have money and technology to
create things to conquer the world. One of the representation of Japanese
technology is Japanese Animation or well-known as Anime. Anime is a successful
propaganda as a national product that will be introduced and exported to other
country and it gives them so many things, well-known culture, economic welfare,
and ideology widespread. Globalization has change the way how Japan moves, they
can enter other country without any restriction and they can ‘deploy’ their
goods to gain their national interests. Indonesia, the Third World Country, is
the country that always be a target of Japanese Cultural Imperialism. Indonesia
has many people that love the anime, and it will be good market for Japan to
place their commodity (anime) to Indonesia.
Keywords : Japan, Indonesia,
Anime, Culture, Globalization
1.
Pendahuluan
Jepang merupakan sebuah negara maju dan menjadi satu
kekuatan besar di dunia internasional. Setelah kekalahannya di Perang Dunia II,
Jepang berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki image mereka dan kembali menguasai dunia lewat teknologi yang
mereka ciptakan. Hebatnya teknologi buatan Jepang saat ini telah menjadi
kekuatan utama mereka dalam menguasai dunia. Dalam era globalisasi, Jepang pun
tidak ingin kalah dari negara-negara besar lain, mereka mulai menyebarkan
pengaruh mereka ke seluruh penjuru bumi dan memperkenalkan aspek-aspek unggulan
mereka dengan teknologi yang mereka buat. Teknologi yang mereka miliki
memberikan kesan ‘nothing is impossible’ bagi
Jepang untuk memaksa dunia melihat apa yang
mereka tawarkan.
Perkembangan teknologi tersebut memberi Jepang banyak
manfaat dan kesempatan untuk memperluas bidikan ekonomi mereka ke luar negeri.
Salah satu bidang yang dapat dimanfaatkan dengan sangat baik oleh Jepang adalah
budaya. Cara memanfaatkan budaya oleh Jepang dilakukan dengan menggunakan industri
yang terlihat sangat sederhana namun bermakna untuk memperkenalkan budaya yang
mereka miliki, yaitu film animasi. Anime[1],
begitu orang Jepang biasa menyebut, mereka produksi dan kemudian digunakan sebagai
komoditas utama mereka yang akan diperkenalkan ke luar negeri. Film-film
animasi yang diproduksi oleh rumah-rumah produksi di Jepang ini kemudian mereka
jual ke negara-negara lain yang pada akhirnya mampu membantu sektor
perekonomian Jepang sendiri. Mereka mengekspor budaya mereka lewat penjualan copy film-film animasi yang mereka buat,
namun hal ini dilakukan dengan pertimbangan untuk tidak menjual gaya hidup
masyarakat Jepang pada umumnya, seperti yang dilakukan oleh industri perfilman
di negara lain.
Bagi Jepang, pembuatan film ini membawa banyak
keuntungan yang sangat besar, selain keuntungan budayanya dikenal oleh
masyarakat global, perekonomian mereka juga semakin menggelembung dengan
banyaknya permintaan negara lain akan film-film animasi buatan
sutradara-sutradara atau yang sering disebut sebagai animator. Terlihat dengan adanya film-film ini, Jepang semakin
merajai Asia, bahkan dunia. Ekspansi film-film yang kemudian diadaptasi menjadi
games atau komik-komik ini mampu
membuat negara meraup keuntungan yang sangat besar jumlahnya. Belum lagi ketika
mereka bersedia menjual izin copy untuk
diadopsi menjadi milik negara lain, semakin besar pula keuntungan yang akan
didapat oleh negeri para samurai. Izin peng-copy-an
ini seringkali kemudian diterjemahkan menggunakan bahasa negara yang mendapat
izin. Seperti contohnya kartun Pokemon
yang telah ditonton di lebih dari 70 negara dan menggunakan lebih dari 30
bahasa.[2]
Jika melihat perkembangan zaman saat ini, ketika
teknologi menjadi semakin maju, keinginan dan permintaan manusia pun semakin
banyak dan semakin tidak dapat dibendung, para animator Jepang pun menyiasatinya dengan mengembangkan teknologinya
dalam industri perfilman anime di
Jepang, mereka membuat design-design yang
semakin memanjakan siapa saja yang menikmatinya. Munculnya teknologi membuat
Jepang seakan semakin diatas angin, mereka menciptakan teknologi pembuatan film
animasi yang lebih baik untuk memperbaiki apa yang telah mereka miliki demi
memanjakan ‘pembeli’ film-film animasi mereka. Sebagai salah satu pembuat
teknologi dunia, Jepang dapat semakin menguasai dunia berbekal
pemikiran-pemikiran unik yang mereka kembangkan dan hasil dari pemikiran
tersebut dapat menjadi pemasok sektor keuangan negara.
Ketika kebudayaan negara semakin terkenal, pun demikian
dengan semakin menggelembungnya pundi-pundi uang Jepang, negara ini mampu
menjadi salah satu hegemon dalam bidang-bidang tersebut, selain menguasai
perekonomian dunia, mereka juga memberikan penawaran budaya mereka terhadap
bangsa-bangsa asing yang akhirnya membuat bangsa-bangsa lain sengaja ataupun
tidak akan mengikuti apa yang dimiliki oleh Jepang. Dengan adanya globalisasi,
semua hal yang ‘dijual’ oleh Jepang, termasuk kebudayaan mereka dapat terakses
dengan mudah dan dalam waktu yang sangat singkat. Hal ini membuat Jepang dapat
membangun kerajaan baru mereka, yaitu kerajaan anime-anime yang mampu menaklukkan dunia.
Salah satu negara yang mendapatkan dampak terbesar
dari pembuatan film-film animasi Jepang adalah negara kita, Indonesia. Sebagai
salah satu negara yang secara geografis sangat dekat dengan Jepang, Indonesia menjadi
satu dari beberapa negara yang mendapatkan pasokan terbanyak dari film-film
animasi buatan Jepang. Di Indonesia, film-film produksi Jepang sangat laris dan
banyak dibeli oleh masyarakat dari semua kalangan, mulai dari anak-anak hingga
orang-orang dewasa. Masyarakat Indonesia yang terkesan dan menyukai film-film
tersebut membuat negeri Jepang selalu bersedia mengekspor produk-produknya ke
Indonesia, karena dengan menguasai pasar di Indonesia, perekonomian Jepang akan
dapat semakin meningkat.
Industri animasi Jepang yang membawa pesan-pesan
budaya dari negeri pembuatnya juga telah memberikan dampak yang sangat hebat
bagi masyarakat negara lain yang menikmati sajian film-film cartoon Jepang. Indonesia sebagai salah
satu pengimpornya juga tak lepas dari dampak tersebut. Anime Jepang memang menjadi candu yang sangat disukai dimana-mana,
masyarakat Indonesia pun menyadari candu tersebut, namun mereka tak peduli
karena apa yang ditawarkan oleh Jepang sangat menggiurkan dan kebanyakan orang
Indonesia tidak mampu membuatnya. Hal ini membuat orang-orang berpaling dan
memilih untuk menonton film animasi buatan Jepang daripada menonton buatan
negara sendiri yang kurang mampu bersaing di pasar internasional.
2. Rumusan Masalah
1. Apa yang diinginkan Jepang dengan menjual film
animasi yang merupakan gambaran kebudayaannya ke luar negeri?
2. Apa dampaknya terhadap negeri lain seperti
Indonesia?
3. Kerangka Teori
3.1 Sceptics Perspective
Sceptical
Perspective atau juga dikenal dengan Traditionalist Perspective adalah
perspektif yang menyangsikan bahwa globalisasi merupakan era baru yang membawa dunia
menuju perubahan yang lebih baik. Para skeptis mempercayai bahwa banyak
aktivitas ekonomi dan sosial lebih bersifat regional daripada global, mereka
juga masih melihat pentingnya peran negara-bangsa.[3] Menurut Held dan McGrew
dalam Global Transformations: Politics, Economics and Culture[4]
menyatakan bahwa berbeda dengan hyperglobalist
yang karakternya seragam, skeptics
perspective mempunyai beragam karakteristik. Pertama, skeptics dideskripsikan sebagai perspektif yang tidak menyetujui hal-hal
baru yang dibawa oleh globalisasi. Kedua, mereka
mengklaim bahwa globalisasi hanya terbatas pada negara anggota OECD (Organisation
for Economic Co-operation and Development)
sebagai pihak yang bertanggung jawab
untuk mengembangkan peraturan internasional yang mengatur perluasan globalisasi.
Ketiga, para skeptis menyatakan bahwa telah muncul beberapa blok perdagangan di
Amerika (NAFTA dan MERCOSUR), di Eropa (EU), di Asia (ASEAN), hal ini bukan
globalisasi, namun hanyalah regionalisasi.[5]
Berkaca pada apa yang disampaikan
pakar skeptic globalis, globalisasi hanya dikuasai oleh negara-negara yang
mempunyai kekuatan untuk menguasai dunia saja, ketidaksetujuan para skeptis
terhadap globalisasi karena globalisasi hanya berpihak kepada negara-negara
maju yang mempunyai uang atau teknologi, negara-negara maju inilah yang pada
prakteknya dapat mengubah percaturan dunia internasional. Sebagai masyarakat
dunia ketiga, orang-orang Indonesia tidak mempunyai kekuatan besar untuk
menolak masuknya globalisasi, sehingga kebudayaan asing dapat dengan mudah
masuk, khususnya budaya-budaya yang dikenalkan oleh negara-negara maju dalam
bentuk imperialism yang tidak
memaksa, negara maju hanya membiarkan budaya yang diperkenalkan masuk ke
negara-negara dunia ketiga dengan sendirinya tanpa adanya paksaan.
Film animasi yang dibuat oleh
Jepang menimbulkan kesenjangan yang semakin terlihat antara negara maju dan
negara berkembang, negara maju seperti Jepang dapat semakin maju dan negara
berkembang, contohnya Indonesia akan semakin mengekor Jepang dalam segala hal
karena negara berkembang tak mempunyai kemampuan untuk membuat produk-produk
unggulan seperti yang dilakukan oleh negara maju. Anime Jepang hanya candu yang akan membuat rakyat Indonesia
melupakan budayanya sendiri, orang-orang Indonesia tidak akan mampu melakukan
apa-apa selama neo-imperialism yang
dibawa negara maju terus mendikte negara berkembang. Keuntungan masyarakat dari
anime Jepang hanyalah hiburan, itupun
tidak terlihat bermanfaat, karena yang diperkenalkan dalam film-film animasi
adalah kebudayaan negara lain yang akan mengikis budaya negara sendiri.
Kedatangan film-film juga membuat orang-orang bergaya atau bahkan mengikuti
hal-hal yang berhubungan dengan animasi Jepang. Untuk Indonesia,
animasi-animasi tersebut tidak ada baiknya, meskipun sangat menguntungkan bagi
negara pengekspornya, Jepang.
3.2 Cultural Imperialism Theory
Menurut Emilee
Rauschenberger,[6] cultural imperialism muncul
pasca Perang Dunia II dengan nama yang bermacam-macam, “neo-colonialism,”
“soft imperialism,” dan “economic imperialism.” Kemudian
istilah-istilah itu berubah lagi beberapa tahun kemudian setelah mendapatkan
pembenaran dari beberapa pakar menjadi “media imperialism,” “structural
imperialism,” cultural dependency and synchronization,” “electronic
colonialism,” “ideological imperialism,” dan “communication
imperialism.” Rauschenberger mengutip dari Herbert Schiller, penemu teori
ini, bahwa dalam bukunya yang berjudul “Communication and Cultural
Domination”,[7] Herbert Schiller menetapkan standar pertama
dari imperialisme budaya, Schiller mendefinisikan fenomena ini sebagai cara di mana perusahaan
multinasional, termasuk media, yang berada di negara-negara maju mendominasi negara-negara berkembang.
Teori imperialisme budaya
menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia ini. Ini
berarti pula, media massa negara Barat juga mendominasi media massa di dunia
ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi
media dunia ketiga. Media di dunia Barat sangat mengesankan bagi media di dunia
ketiga, sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam
perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang
dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara ketiga.[8]
Kebudayaan Barat
memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film,
berita, komik, foto dan lain-lain. Barat dapat mendominasi karena mereka
mempunyai uang dan teknologi, kedua hal tersebut tidak dimiliki oleh negara
dunia ketiga. Negara dunia ketiga akan memilih hal-hal yang diciptakan oleh
Barat daripada buatan negaranya sendiri. Orang-orang di negara berkembang akan
membeli barang-barang dari negara-negara maju, menikmati sajian-sajian yang
berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran, dan meniru kebudayaan milik
negara Barat yang baru dilihat lewat media.[9]
Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media
massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketika akan selalu
percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Lama kelamaan,
orang-orang di dunia ketiga akan melakukan hal-hal yang sama persis dengan apa
yang dilakukan oleh orang-orang di negara maju.
Dalam konteks ini, Jepang
sebagai negara maju hampir selalu mampu mendikte negara dunia ketiga dengan
kebudayaan (film animasi) yang mereka ekspor. Mereka berusaha bagaimana agar
negara-negara di dunia ketiga, salah satunya adalah Indonesia agar mengikuti
apa yang mereka lakukan. Jepang mempunyai teknologi dan uang untuk membangun
citra negara mereka, membuat hal-hal yang di negara berkembang belum ada atau negara
berkembang belum mampu membuat untuk menyamai apa yang dilakukan negara maju, sehingga
orang-orang Indonesia secara sengaja atau tidak sengaja akan mengikuti apa yang
dilakukan oleh Jepang.
Keberadaan film animasi
Jepang di Indonesia akan membuat orang-orang lebih menyukai animasi yang dibuat
oleh Jepang dan meninggalkan buatan animator-animator ulung negeri
sendiri. Anime Jepang juga membuat masyarakat Indonesia (terutama
pecinta anime) akan mengikuti apa yang ada dalam film animasi produksi
Jepang tersebut, bahkan mengikuti hal-hal yang tidak pantas dan tidak
seharusnya diterapkan oleh orang-orang Indonesia. Nasionalisme bangsa Indonesia
pun secara tidak langsung akan semakin memudar karena rakyatnya sendiri lebih
memilih barang-barang impor daripada barang-barang negeri sendiri.
4. Pembahasan
4.1 Film Animasi
sebagai Komoditas Ekspor Jepang
Film animasi merupakan suatu kebanggaan bagi Jepang
karena negara mereka merupakan negara terdepan dalam pembuatan gambar-gambar
bergerak. Anime telah menjadi suatu
identitas tersendiri bagi negara yang dipimpin oleh seorang kaisar ini.
Kebudayaan yang mereka perlihatkan dalam film-film yang mereka ciptakan sangat
menggambarkan seperti apa sebenarnya Japanese
Culture. Budaya itu yang akhirnya mereka ekspor melalui wajah film-film
animasi. Bagi Jepang sendiri, keuntungan dalam mengekspor film-film tersebut
sangatlah besar, mulai budaya, ekonomi, hingga image negara mereka yang akan semakin dikenal oleh masyarakat
global. Ekspor mereka ke luar negeri pun tidak hanya melulu ke beberapa tempat
saja, namun seluruh penjuru dunia, karena mereka menyadari bahwa anime yang mereka buat disukai
dimanapun. Pertimbangan utama Jepang adalah dengan memperkenalkan budaya yang
mereka miliki, negara mereka mampu menyebarkan ideologi-ideologi yang mereka
ciptakan ke seluruh dunia. Dengan anime, mereka
mampu menawarkan ide-ide kebudayaan mereka yang sangat subur sejak abad ke-10
saat keluarga Fujiwara memerintah Jepang,[10] keberadaan anime memperkenalkan dunia pada kebudayaan Jepang
dan dapat dilihat oleh mata semua orang.
Film animasi buatan para animator Jepang yang nantinya akan ditonton oleh orang-orang di
luar negeri juga sangat membantu perekonomian negara. Mereka mampu menjual
film-film itu dengan harga yang sangat mahal, semakin banyak yang mereka buat,
pendapatan negara pun semakin melonjak naik. Pada tahun 2002 saja, ekspor
mereka menghasilkan pendapatan yang
sangat luar biasa besar bila dibandingkan pendapatan negara hasil ekspor
film-film animasi satu dekade sebelumnya. Tahun 1992 diketahui Jepang
menghasilkan 500 juta yen, dan pada tahun 2002, mereka menghasilkan 1,5 milliar
yen.[11] Dengan fakta tersebut,
terlihat bahwa animasi Jepang sangat membantu pertumbuhan GDP negara.
Japanese
animation Kingdom memang tak ada
bandingnya di dunia, saingan terberat mereka dalam hal pembuatan animasi,
Amerika Serikat, pun tak mampu berbuat apa-apa bila harus menghadapi ketenaran motion picture yang dibuat oleh sang
Macan Asia. Sejak pembuatan film animasi pertama yang dibuat pada tahun 1896
oleh Thomas Alfa Edison yang berjudul The
Evening World Cartoonist,[12] produsen animasi Amerika
Serikat sangat menguasai pasar internasional, namun munculnya anime-anime Jepang pada akhir ‘80-an
lewat serial Doraemon dan Candy Candy mampu mengubah peta
persaingan film animasi dunia. Jepang mulai menggeser dominasi Amerika Serikat
dan mendapatkan tempat di hati penggemar animasi sejak saat itu hingga memasuki
millennium ketiga.
Saat ini, semakin banyak saja animasi buatan Jepang
yang menjadi tontonan wajib bagi seluruh penggemarnya, bahkan Amerika yang
semakin mengembangkan teknologi pembuatan animasinya dengan membuat teknologi 3D
hingga Stop Motion Technique[13]
pun masih belum mampu melampaui Jepang yang setia menggunakan teknologi 2D
sejak tahun ‘80an. Dibuatnya film-film, komik, hingga games oleh Jepang semakin memperbanyak pilihan animasi-animasi
Jepang, hal ini membuat ruang untuk produsen Amerika Semakin sedikit, ditambah
lagi dengan orang-orang Amerika Serikat sendiri pun mengikuti arus dunia dengan
menyukai anime-anime Jepang, terbukti
dengan lebih disukainya Super Mario
Brothers, Pokemon, dan Sonic di negeri Paman Sam, bahkan popularitas mereka
melebihi animasi buatan Amerika Serikat yang telah menjadi ikon bagi dunia
animasi mereka, Hello Kitty.[14]
Salah satu contoh anime yang melambung tinggi di pasar international adalah Pokemon. Serial animasi pokemon mendapatkan rating yang cukup besar di Amerika Serikat dan di belahan bumi yang
lainnya. Hal ini dikarenakan pihak produsen Jepang mampu menyiasati bagaimana
caranya agar serial Pokemon dapat
memasuki negara-negara yang mempunyai kultur yang berbeda dan dapat berkembang
serta disukai disana. Jepang memperkenalkan Pokemon
dengan melakukan translate Bahasa
Jepang ke bahasa-bahasa negara lain yang mendapatkan hak siar Pokemon. Pokemon pada awal pembuatannya hanya diekspor ke negara-negara
tetangga Jepang saja, seperti Cina, Taiwan, dan Hongkong. Kemudian mulai
menyebar ke negara-negara lain di Asia Tenggara, Indonesia salah satunya.
Hingga pada awal 1999, Pokemon diekspor
dan diterjemahkan ke negara-negara yang berbahasa Inggris saja, seperti Amerika
Serikat, Australia, dan Canada. Baru pada musim gugur tahun 1999, Pokemon mulai diperkenalkan ke Eropa
dengan menggunakan bahasa negara-negara Eropa.[15]
Strategi-strategi yang digunakan Jepang sangatlah
manjur untuk memperkenalkan animasi mereka, terbukti dengan fakta yang terdapat
pada kasus Pokemon, Amerika Serikat
pun seperti ‘angkat tangan’ dalam persaingan memperebutkan pemirsa televisi
atau layar lebar. Pintarnya produsen Jepang menyiasati cara masuknya suatu film
ke negara lain juga merupakan salah satu cara mudahnya film-film diterima oleh
pemirsa di negara lain. Dengan kata lain, Jepang mempunyai banyak hal yang
ditawarkan untuk mengalahkan musuh bebuyutannya, Amerika. Adanya film-film
Jepang yang dipasarkan dengan strategi yang luar biasa cerdiknya seakan menutup
jalannya American Animation untuk
mencapai puncak kesuksesannya yang sempat didapatkan di awal-awal maraknya film
animasi beredar. Jepang mampu membuat negara superpower kehabisan akal dalam melancarkan ekspansi film animasi
mereka.
Ideologi yang disebarkan oleh Jepang lewat film
animasi memang mampu mengubah persepsi dunia terhadap negara yang beribukotakan
Tokyo. Keinginan Jepang dalam menyebarkan ide-ide lewat anime mampu membuat orang-orang di dunia terpedaya olehnya. Ideologi
yang mereka ciptakan kini mampu membuat musuhnya, Amerika atau industri
perfilman di negara lain kebakaran jenggot. Anime
saat ini telah menjadi identitas utama Jepang dan setiap orang mengetahui
bahwa industri film kartun ini adalah milik negeri samurai, padahal jika
dilihat lebih luas, bukan hanya Jepang yang mempunyai industri film animasi,
negara lain pun memiliki industri film gambar bergerak, bahkan negara Indonesia
mempunyai animasi tradisional lewat serial Si Unyil, namun doktrin bahwa Jepang
adalah pemilik hak paten film animasi telah terpahat di hati para penggemar
animasi di muka bumi.
Jepang kini mampu bersaing dengan produsen-produsen
film kelas satu lainnya, seperti Hollywood
milik Amerika Serikat atau Bollywood
yang berkembang menjadi industri perfilman nomor satu dunia buatan negara India.
Dari beberapa produsen film yang menguasai percaturan dunia movie makers, Jepang menjadi
satu-satunya negara yang bersedia mengekspor kebudayaannya, namun tidak untuk
gaya hidupnya.[16]
Kedua negara lawan Jepang, AS dan India selalu berusaha memperkenalkan
kebudayaan mereka bersama lifestyle mereka
di setiap film yang mereka produksi. Bahkan jika penonton harus memilih Hollywood atau Bollywood, yang didapat malah bukan kebudayaan murni, namun gaya
hidup negara yang membuat film tersebut. Lifestyle
inilah yang akhirnya diikuti dan diterapkan tidak pada tempatnya oleh
negara-negara dunia ketiga yang mendapatkan pasokan film-film Amerika dan
India. Dengan tidak menjual lifestyle mereka,
Jepang berusaha untuk tetap menjaga harga diri negara.
Keinginan Jepang dalam menyebarkan ideologi pun
dengan mudah tercapai bersama diterimanya film animasi mereka oleh para
penggemar di seluruh dunia. Ideologi yang diawali dengan usaha mengekspor
kebudayaan mereka agar dikenal seluruh umat manusia, film animasi adalah salah
satu cara menggambarkan Japanese Cultere yang
sangat agung. Anime yang kemudian
membawa berkah bagi Jepang dengan datangnya pengimpor film dari negeri-negeri
seberang yang menginginkan anime Jepang
untuk hiburan. Hiburan bagi orang-orang luar negeri kemudian membuat Jepang
menjadi negara dengan peningkatan ekonomi yang luar biasa. Animasi telah
memberikan Jepang segalanya, kebudayaan yang semakin terkenal, hingga
perekonomian yang semakin menanjak naik.
4.2 Dampak
Film-Film Animasi Jepang terhadap Indonesia
Sebagai negara maju, potensi untuk ‘diikuti’
sangatlah besar, terutama oleh negara-negara berkembang dan negara-negara
tertinggal. Negara maju mempunyai power yang
sangat kuat untuk dapat mendikte negara-negara yang levelnya berada di
bawahnya. Mereka mempunyai ideologi yang sengaja atau tidak sengaja akan
diikuti dan diadopsi oleh negara berkembang dan tertinggal. Begitu pula dengan
negara kepulauan yang terletak di kawasan East
Asia, Jepang. Nippon memanfaatkan
keberadaannya sebagai negara maju untuk dapat menyebarkan ide-ide yang mereka
buat ke negara lain. Ide yang dimiliki oleh Jepang salah satunya
divisualisasikan lewat anime. Anime tersebut menyebar ke seluruh dunia
lewat canggihnya teknologi yang semakin mutakhir dengan bergantinya zaman.
Serial-serial atau film layar lebar yang dibentuk dengan teknik animasi
diekspor ke negara-negara tetangga Asia-nya hingga ke seberang lautan Pasifik
ke negeri superpower, Amerika Serikat.
Satu dari banyak negara yang telah mengimpor anime buatan Jepang adalah Indonesia, negara yang secara geografis
memiliki letak yang tak jauh di selatan Jepang.
Indonesia sebagai negara berkembang secara kebetulan
ataupun tidak, mempunyai keinginan untuk mengikuti negara-negara maju seperti
Jepang, walaupun kita tahu, bahwa Indonesia mempunyai banyak kebudayaan yang
seharusnya dapat dibanggakan oleh anak negeri. Namun, ketidakmampuan negara
berkembang menolak ideologi yang disebarkan oleh Jepang menjadi faktor mudahnya
budaya Jepang masuk ke negara Indonesia. Film animasi yang diperkenalkan Jepang
ke masyarakat global membuat orang Indonesia tidak mampu menolak hal itu.
Sehingga, anime-anime milik Jepang
dengan bebasnya mampu ‘berkeliaran’ dan diterima dengan tangan terbuka, bahkan
tanpa saringan oleh orang-orang Indonesia.
Budaya yang dibawa teknologi Jepang lewat film
animasi memberikan dampak yang sangat besar bagi Indonesia, hingga mampu
menyentuh perilaku warga negara Indonesia. Film animasi yang bentuknya
bermacam-macam membuat orang dewasa hingga anak-anak sekalipun tak mampu
menolak apa yang ditawarkan oleh animasi-animasi asal Jepang. Mereka cenderung
mengikuti (terutama anak-anak yang tidak mengerti apa yang sedang mereka tonton
di layar kaca) adegan-adegan dalam Japanese
Animation. Beberapa animasi Jepang membuat perilaku orang-orang, khususnya
anak-anak Indonesia, kadang menyimpang dan tidak cocok diterapkan di negara
yang mempunyai adat ketimuran seperti Indonesia. Adegan-adegan yang tidak pantas
dilakukan oleh anak-anak Indonesia yang seringkali ditemukan dan menjadi
kontroversi di Indonesia adalah scene yang
menunjukkan perkelahian sampai hal-hal yang tidak masuk akal seperti meloncat
dari ketinggian tertentu. Scene-scene tersebut
membuat anak-anak yang belum mengerti dan tidak didampingi orang tua saat
menonton film atau serial TV seringkali melakukan hal-hal seperti yang ada
dalam layar TV yang baru saja ditonton olehnya.
Bagi anak-anak yang masih dibawah umur, atau yang
masih belum mengerti apa-apa, film animasi Jepang menimbulkan ketidaknyamanan
terutama kepada orang tua anak yang suka menonton film atau serial animasi di
TV. Orang tua harus selalu waspada dan dituntut untuk selalu menemani buah
hatinya ketika sedang menonton film kartun. Film-film Jepang yang ditonton
anak-anak banyak yang bersifat anarkis, seperti serial Naruto, Dragon Ball, dan Power
Rangers.[17]
Adegan pertempuran-pertempuran seperti yang ada dalam film-film tersebut dapat
menimbulkan anak-anak menjadi ingin tahu, dan mencobanya di luar rumah ketika
bertemu dengan temannya yang lain. Anak-anak memang sangat senang dengan
banyaknya pilihan film yang bisa ditonton, namun hal ini mengharuskan orang tua
tak boleh berdiam diri saja terhadap perilaku anaknya yang kadang terlewat
batas setelah menyaksikan acara TV idolanya.
Dampak negatif lainnya terhadap anak-anak atau
remaja yang tidak dapat menyaring film animasi yang ditontonnya adalah kadang
film animasi Jepang bertindak tidak pantas dengan mempertontonkan hal-hal yang
tidak senonoh (mengandung pornografi) seperti yang ada di serial Crayon Sinchan. Masalah lain yang
ditunjukkan di dalam serial-serial film animasi Jepang adalah kemalasan seorang
anak sekolahan yang seharusnya belajar, namun dalam kebanyakan film Jepang
menceritakan anak yang pergi ke sekolah malah bermalas-malasan di sekolah,
mendapat nilai nol pada saat ujian, serta anak manja yang selalu menggantungkan
hidupnya terhadap orang tua dan lainnya, seperti yang ada di film Crayon Shincan dan Doraemon.[18] Dampak negatif yang
ditunjukkan oleh film animasi ini memang tidak seharusnya diikuti oleh yang
menontonnya, namun karena yang menonton kebanyakan adalah anak-anak, mereka
bukan hanya mendapat hiburan, namun mereka juga mengikuti sifat-sifat tokoh
dalam serial tersebut, hal ini bila tidak dicegah atau diperhatikan akan
berdampak pada mental anak-anak muda yang tidak mampu menyaring tontonannya
yang akan berimbas kepada mental negara Indonesia.
Selain dampak terhadap anak-anak, dampak-dampak yang
sering terjadi pada kalangan remaja adalah dengan adanya remaja-remaja pecinta
animasi Jepang yang membentuk komunitas-komunitas untuk menyalurkan hobinya.
Penyuka anime Jepang membentuk
komunitasnya sedemikian rupa agar mereka dapat mendapatkan barang-barang dari anime pujaan mereka, berbicara sepaham
dengan anggota komunitas tentang film animasi, atau mendapatkan merchandise dari kartun yang disukainya.
Komunitas-komunitas penyuka anime ini
juga sering mengoleksi kostum-kostum yang dipakai di film animasi yang kadang
digunakan untuk mengikuti festival atau pertemuan tertentu, seperti festival cosplay atau costum player, yaitu festival yang sering mengadakan kontes
seberapa mirip kostum si penggemar dengan kartun favoritnya. Untuk membeli
kostum seperti kartun idolanya dan agar bisa semirip mungkin, tak jarang uang
jutaan rupiah dikelurkan hanya demi hobi.
Anak-anak hingga remaja, bahkan orang dewasa memang
menyukai anime bukan tanpa alasan. Mereka mencintai hal-hal yang
berbau film kartun asing, terutama karena apa yang ada di negeri mereka belum cukup
memanjakan mereka. Minat terhadap animasi asing jarang dibarengi oleh keinginan
untuk mengembangkan animasi buatan para animator
dalam negeri. Kebanyakan orang Indonesia yang bersikap pesimis terhadap
munculnya animasi lokal dan sikap konsumtif anak negeri membuat animasi asli
negeri ini tak mampu berkembang dengan baik. Praktis hanya segelintir yang
mampu membuat animasi dengan sangat baik. Datangnya animasi luar negeri, salah
satunya anime dari Jepang, mengubah
pandangan orang Indonesia khususnya penggemar film animasi. Hal ini lama
kelamaan akan mampu mengikis rasa nasionalisme karena barang impor lebih baik
dan merasa negara tak mampu berbuat apa-apa. Seringkali munculnya animasi lokal
sangat dirindukan, namun apa daya, para kreator muda lebih menyukai dan lebih
berpuas diri dengan ideologi yang disebarkan negara lain lewat animasi.
Bagi masyarakat Indonesia, budaya Jepang saat ini
memang sangatlah hebat, sampai-sampai budaya sendiri harus dilupakan karena
mereka melihat apa yang ditawarkan negara lain lebih baik. Dampak globalisasi
bagi Indonesia memang kadang sangat menakutkan, bebasnya menerima informasi
dari luar negeri dengan sangat mudah membuat orang-orang Indonesia menyukai
hal-hal yang berbau asing dan kadang tidak cocok dengan apa yang seharusnya
dilakukan oleh orang-orang Indonesia. Norma-norma banyak dilupakan, masyarakat,
khususnya pemuda, lebih memilih apa yang seharusnya hanya dinikmati, bukan
malah diikuti.
Film-film animasi yang pada awalnya hanyalah untuk
kepentingan hiburan sekarang telah menjadi gaya hidup tersendiri bagi
orang-orang yang tidak mampu menyaring budaya asing. Orang-orang Indonesia
telah terjebak dalam ekspor budaya Jepang lewat animasi-animasi yang semakin
menggambarkan mutakhirnya teknologi dewasa ini. Teknologi sebagai media untuk
menyalurkan ide-ide orang Jepang berpengaruh terhadap beberapa aspek kehidupan
masyarakat di Indonesia, khususnya para remaja. Banyak diantara mereka yang
lebih mengedepankan unsur-unsur Jepang daripada mencintai apa yang telah di
produksi oleh negaranya sendiri.
5. Kesimpulan
Anime merupakan
salah satu produk utama negeri samurai Jepang. Pembuatan film animasi adalah
cara Jepang untuk mencapai kepentingan negaranya, selain tentunya untuk
memberikan hiburan kepada siapa saja yang menontonnya. Film animasi yang dibuat
oleh Jepang telah membawa keuntungan yang sangat besar bagi Jepang di beberapa
aspek tertentu. Dari beberapa aspek yang dikejar oleh Jepang, budaya merupakan
aspek pertama yang diuntungkan dengan adanya anime-anime Jepang. Pada dasarnya, film animasi Jepang banyak
mengisahkan kehidupan yang dibumbui dengan kebudayaan Jepang. Dengan adanya
film animasi, jelas Jepang sangat diuntungkan, karena selain target penjualan
dalam negeri, film-film juga didistribusikan ke luar negeri. Kebudayaan negara
Jepang dapat semakin terkenal dengan diekspornya anime ke luar negeri. Masyarakat di negara lain, khususnya para
penikmat film-film animasi akan semakin mengerti kebudayaan Jepang dan semakin
menyukai hal-hal yang berkenaan dengan negeri Jepang.
Ekonomi adalah aspek selanjutnya yang paling
terlihat dan paling berpengaruh terhadap negara Jepang. Anime adalah salah satu faktor Jepang menjadi negara yang kaya dan
mempunyai kekuatan ekonomi yang cukup untuk bersaing dengan negara-negara maju
lainnya. Film-film yang diproduksi oleh Jepang dapat menghasilkan uang yang
sangat banyak dan hal tersebut memberikan keuntungan terhadap perekonomian
negara, GDP negara dapat meningkat pesat dengan adanya ekspor film animasi ke
luar negeri.
Selain aspek budaya dan ekonomi, ideologi juga
merupakan alasan Jepang memproduksi motion
picture. Ideologi yang menyebar bersamaan dengan laris terjualnya
animasi-animasi dapat membuat orang-orang di negara lain merubah pikiran,
bahkan merubah perilaku mereka. Ideologi yang diperkenalkan Jepang lewat
animasi memang tidak begitu terlihat, namun dampak dari menyebarnya paham
tentang superioritas Jepang dapat membuat semua orang yang tidak mampu
menyaring mana yang baik dan mana yang tidak, akan berbuat tidak sesuai
norma-norma yang berlaku di negaranya. Faktor ideologi ini juga yang telah
menyebar ke negara Indonesia, perilaku anak-anak, remaja, atau bahkan orang
dewasa yang menyukai animasi tak dapat jauh-jauh dengan apa yang telah
ditontonnya dalam film animasi.
Dampak ideologi Jepang yang disebarkan ke Indonesia
lewat film animasi membuat orang Indonesia melupakan kearifan lokal.
Globalisasi memang telah mengubah tatanan dunia, dengan mudahnya budaya lain
masuk ke suatu negara tanpa adanya penyaringan dari pemerintah negara yang
bersangkutan. Ketidakmampuan pemerintah itu membuat orang-orang mudah
terpengaruh oleh kebudayaan lain dan mulai mengesampingkan budaya negeri
sendiri.
[1] Anime merupakan kata serapan dalam Bahasa Jepang yang diambil dari
kata Bahasa Inggris, Animation. Dalam
Bahasa Jepang kata animation dirubah
menurut pengucapan dan penulisan huruf Katakana
menjadi Anime-shon yang disingkat Anime.
[2] Daya Kishan Thussu.
___. Media on the Move. Routledge. London. Page
63
[3] Jan Servaes.
The Changing Face of Cultural Globalization. University of
Queensland dalam http://comstudies.files.wordpress.com/2007/06/janservaes-cultural-globalization-mauritius0607.pdf retrieved 10 June 2012
[4] Held and McGrew. 1999. Global Transformations: Politics, Economics and Culture
dalam Bryane Michael. Theorising the
Politics of Globalisation: A Critique of Held et al.’s “Transformationalism”. dalam http://www.fatih.edu.tr/~jesr/Globalisation.pdf retrieved 9 June 2012
[5] Bryane Michael. Theorising
the Politics of Globalisation: A Critique of Held et al.’s “Transformationalism”. dalam http://www.fatih.edu.tr/~jesr/Globalisation.pdf retrieved 9 June 2012
[6] Emilee
Rauschenberger. 2003. Deconstructing
Cultural Imperialism. dalam http://politics.as.nyu.edu/docs/IO/4600/rauschenberger_thesis.pdf retrieved 4 June 2012
Sciences
Press. New York dalam Emilee Rauschenberger. 2003. Deconstructing Cultural Imperialism. dalam http://politics.as.nyu.edu/docs/IO/4600/rauschenberger_thesis.pdf retrieved 4 Juni 2012
[9] Ibid.
[10] Prof. Emiritus Yutaka
Tazawa. 1987. Sejarah Kebudayaan Jepang,
Sebuah Perspektif. Kementerian Luar Negeri Jepang.
[11] Daya Kishan Thussu.
Op.Cit. Page 63
[12] Hai Magazine Edisi
XXXI. 2007. PT Gramedia. Jakarta. Page 6
[13] Stop Motion Technique merupakan salah satu teknik film making yang menggabungkan
gambar-gambar benda mati yang disambung frame
per frame sehingga menjadi satu scene.
[14] Daya Kishan Thussu .Op.
cit. Page 62
[15] The Pokemon Phenomenon. dalam http://w3.salemstate.edu/~poehlkers/Emerson/Pokemon.html retrieved 28 May 2012
[16] Daya Kishan Thussu .
Op. cit. Page 62
[17]Film Animasi Kartun Televisi dan Kekhawatiran Kita. dalam http://www.pasarkreasi.com/news/detail/animation/2071/ retrieved 3 June 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar