Oleh: Galih Wisnu Aji - Mahasiswa HI UMM
Pendahuluan
Mesir merupakan salah satu negara yang
terletak di benua Afrika bagian utara yang mempunyai sebagian kecil wilayah terletak
di benua Asia. Mesir terkenal sebagai Negara yang mempunyai peradaban kuno yang
sangat tak ternilai harganya. Negara ini beribukotakan di Cairo dan merupakan negara
bekas jajahan Britania Raya yang merdeka pada tahun 1922.
Hingga saat ini, Mesir mempunyai 4 orang
presiden sejak terjadinya revolusi penggulingan raja Fuad (seorang raja yang
menganggap dirinya sebagai keturunan raja Fir’aun) yang terjadi pada 1952.
Presiden pertama mereka adalah Muhammad Naguib, seorang yang menjadi salah satu
pemimpin kala revolusi Mesir tahun 1952 tersebut terjadi. Dia memerintah
sebagai presiden pertama kali pada 1953, sejak Mesir mendeklarasikan diri
sebagai negara republik.
Sejak tahun 1981, Mesir dipimpin oleh presiden
keempat, seorang pemimpin bernama Muhammad Hosni Sayyid Mubarak, yang
sebelumnya menjadi seorang wakil presiden pada masa kepemimpinan presiden Anwar
Sadat yang meninggal dunia karena pembunuhan yang dilakukan oleh kelompok Islam
radikal yang menginginkan pemerintahan yang benar-benar Islam di Mesir.[1] 30
tahun lamanya (hingga 2011) Mubarak berkuasa, hal ini menjadikan dia sebagai
presiden terlama dalam sejarah Mesir, cara memerintahnya yang otoriter selama
30 tahun tersebut membuat dia sering disamakan dengan Fir’aun. Mubarak
mengusung National Democratic Party (NDP), dengan mempertahankan system
pemerintahan satu partai.
Hubungan Mubarak sebagai presiden Mesir
dengan pihak Barat sangatlah erat, hingga Amerika Serikat pun memberikan
bantuan tahunan terhadap Mesir dikarenakan faktor bahwa Mesir sebagai salah
satu negara di Timur Tengah yang mendukung Israel yang notabenenya adalah
sekutu Amerika Serikat. Selama Mubarak berkuasa, satu-satunya teman Israel di
kawasan Timur Tengah hanyalah Mesir, sementara negara-negara lainnya mengecam
keberadaan Israel yang dianggap melakukan penjajahan terhadap negara Islam
lainnya, Palestina. Mesir adalah salah
satu sekutu utama Amerika Serikat di Timur Tengah dan salah satu penerima bantuan
Amerika Serikat
terbesar di dunia. Setiap tahun, Amerika Serikat menyuplai bantuan 1,3 miliar dollar AS khusus di sektor
pertahanan saja.[2]
Pada Januari 2011, Mubarak dipaksa meletakkan
kekuasaannya dikarenakan adanya protes dan demonstrasi besar-besaran yang
dilakukan oleh rakyat Mesir yang tidak menginginkan lagi Mubarak untuk
memerintah negeri mereka. Demonstrasi tersebut dimulai pada awal Januari dan
dilakukan di beberapa kota seperti Alexandria dan Suez, tidak terkecuali Cairo
dan kota-kota lainnya. Hampir semua kota menjadi tempat dimana para demonstran
turun ke jalan dan menyuarakan keinginan mereka untuk menurunkan presiden
Mubarak dan melakukan revolusi agar isu-isu politik, ekonomi, dan social yang
sangat memberatkan rakyat Mesir dapat segera diselesaikan dan diganti dengan
struktur negara yang baru dan dapat memberikan kenyamanan terhadap rakyat Mesir
sendiri.
Hingga pada bulan Februari 2011, sang
presiden akhirnya mengundurkan diri dan menyerahkan tampuk kekuasaannya
terhadap dewan angkatan bersenjata. Berita pengunduran tersebut diberitakan
oleh wakil presiden Mubarak, yaitu Omar Suleiman. Pemerintahan militer tersebut
akan memegang kekuasaan sementara hingga pemilu dapat digelar. Kabinet
sebelumnya, seperti perdana menteri masih akan memerintah hingga ada pemerintah
baru yang akan memerintah menggantikannya.
Pengunduran diri Mubarak tersebut banyak
menimbulkan pro-konta dari para pemimpin dunia, beberapa presiden negara tetangga
menyatakan apa yang dilakukan para demonstran tersebut tidak bisa dimaafkan.
Mereka mengecam bahwa rakyat yang membuat kekacauan itu telah mengancam
stabilitas negara Mesir sendiri.
Seusai jatuhnya rezim Mubarak, masih
banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah Mesir. Meskipun pada
dasarnya rakyat sudah berhasil menjatuhkan Mubarak, namun dalam hati mereka
sebenarnya belum puas akan apa yang telah terjadi. Rakyat masih melakukan
protes karena mereka khawatir jikalau pemerintahan militer akan memerintah
negara tanpa batas. Rakyat menginginkan pemerintahan baru segera dibentuk.
Mereka sempat mengecam rencana pemerintah militer yang awalnya berencana akan
mengadakan pemilu dalam waktu 5 bulan setelah mundurnya presiden Mubarak, namun
nyatanya hal itu belum terjadi.
Protes demi protes terus berlanjut
hingga semakin banyak pula korban yang berjatuhan dalam aksi demonstrasi. Hal
ini dikarenakan militer senantiasa bertindak kasar terhadap para demonstran.
Para demonstran terus menagih janji pemerintah militer agar pemilu segera
dilakukan, seperti apa yang telah dikatakan oleh pemerintah sendiri. Rakyat
tidak akan berhenti menagih apa yang telah dijanjikan para pemerintah akan
adanya pemilu tersebut. Karena hal yang paling ditunggu oleh rakyat Mesir
adalah pergantian kekuasaan lama diganti dengan pemerintah yang baru. Mereka
juga tidak menginginkan adanya pemerintah militer karena menurut mereka,
pemerintahan tersebut akan malah membuat pemerintah militer menjadi dictator
baru di negeri mereka dengan pemerintahan tanpa batas dan akan membawa
kesengsaraan lanjutan untuk rakyat Mesir sendiri.
Pada dasarnya, revolusi yang terjadi di
Mesir ini adalah hamper sama dengan revolusi yang terjadi di Tunisia, dimana
pada bulan Desember 2010 Presiden Zine El Abidine Ben Ali dipaksa turun dari
pemerintahan oleh protes massa. Penyebab protes di Tunisia pun sama dengan apa
yang terjadi di Mesir, selain karena lamanya berkuasa sang presiden,
masalah-masalah lain seperti pada bidang social, politik, dan ekonomi pun tak
luput dari sasaran protes rakyat Tunisia. Keberhasilan Tunisia melengserkan
presidennya tersebut adalah salah satu sumber kekuatan yang digunakan oleh
rakyat Mesir dalam melakukan revolusi terhadap negaranya. Rakyat Mesir merasa
keberhasilan revolusi tetangga mereka tersebut membuat mereka sadar bahwa
mereka juga bisa melakukan revolusi dalam negara mereka.
II.
Rumusan
Masalah
Apakah alasan rakyat Mesir sehingga
Mesir harus melakukan transisi demokrasi?
III.
Kerangka
Teori/Konsep
Penulisan ini menggunakan pendekatan
transisi demokrasi. Tahapan transisi demokrasi terdiri dari tiga tahapan,
yaitu:
1. Tahapan
persiapan, bercirikan perjuangan politik untuk menjatuhkan rezim
non-demokratis.
2. Tahapan
keputusan, yang didalamnya terdapat elemen jelas dari tertib demokrasi telah
dibangun.
3. Tahapan
konsolidasi, yang didalamnya demokrasi baru lebih berkembang dan akhirnya
praktek-praktek demokrasi menjadi bagian dari budaya politik sehingga demokrasi
yang sesungguhnya akhirnya dihasilkan oleh inisiatif umat manusia.
Transisi
demokrasi yang terjadi di Mesir adalah transisi melalui jalur dari bawah
(replacement), dimana transisi dilakukan oleh pihak oposisi atau rakyat. Rakyat
Mesir bersama pihak oposisi sebagai pelaku transisi dan berusaha untuk
menjatuhkan kekuasaan sang presiden dengan melakukan protes dan demonstrasi
secara besar-besaran.
IV.
Pembahasan
Transisi menuju demokrasi dalam suatu negara
merupakan suatu hal yang harus dilakukan agar setiap rakyat di negara tersebut
mendapatkan kebebasan hak mereka, mulai dari kebebasan berpendapat hingga
mendapatkan derajat yang sama antar warga negara dalam berpolitik. Hal inilah
yang ingin dicapai oleh rakyat Mesir, Negara Timur Tengah yang hidup di bawah
kediktatoran seorang presiden bernama Hosni Mubarak dalam 30 tahun terakhir. Sebenarnya,
Mesir merupakan negara yang telah mengenal demokrasi dengan adanya pemilu,
namun pemerintahan Mubarak yang otoriter seakan mencengkeram rakyat Mesir dalam
belenggu ketidakbebasan. Hal inilah yang menjadi alasan utama rakyat Mesir
dalam melakukan revolusi menuntut Mubarak mundur pada Januari 2011.
Beberapa hari sebelum mundurnya Mubarak
dari jabatan sebagai seorang presiden, Mubarak sempat mengatakan akan membentuk
pemerintahan baru, namun tak akan mengundurkan diri. Namun ucapan Mubarak
tersebut tidak didengar, karena masyarakat sudah terlanjur sakit hati
kepadanya. Hingga akhirnya setelah 18 hari demonstrasi dilakukan, sang presiden
menyerah dan menyatakan mengundurkan diri dari jabatan sebagai pemimpin tertinggi
Mesir. Mubarak menyerahkan kekuasaannya terhadap pemerintahan militer yang
dipimpin oleh Hussein Tantawi.
Setelah sang presiden turun tahta,
ternyata rakyat Mesir masih melakukan demonstrasi, apa yang mereka inginkan,
tidak cukup hanya Mubarak saja yang turun, masih banyak keluhan rakyat Mesir
yang meminta pemerintah untuk turun tangan dalam beberapa aspek kehidupan
mereka, selama ini kehidupan rakyat Mesir sangat tidak menyenangkan, banyak hal
yang perlu diperbaiki bersama antara pemerintah dan juga rakyat.
Keluhan para demonstran terfokus pada
masalah hukum, politik, dan ekonomi. Para demonstran meminta tatanan Negara
diperbaiki, mulai dari perbaikan image polisi, yang selama ini terkenal dengan
kebrutalannya. Selama rezim Mubarak berkuasa, polisi di Mesir sering bertindak
diluar aturan, pemerintah sendiri sempat membantah tuduhan tersebut, namun
bukti-bukti konkrit telah membuktikan bahwa selama ini polisi bertindak bukan
sebagai pelindung masyarakat, namun sebaliknya, mereka malah berbuat tidak
sepantasnya terhadap masyarakat Mesir.
Kelompok hak asasi manusia baik domestik
maupun internasional melaporkan bahwa Ministry of Interior (MOI) State Security
Investigative Service (SSIS), polisi, dan entitas pemerintah lainnya terus
menggunakan penyiksaan untuk mengorek pengakuan informasi atau kekuatan.
Sepanjang tahun 2009, The Egyptian Organization for Human Rights (EOHR)
mendokumentasikan 30 penyiksaan sepanjang tahun. Selama tahun 2009 tersebut, beredar
beberapa video amatir ponsel yang mendokumentasikan dugaan penyiksaan warga
oleh aparat keamanan.[3]
Ketakutan masyarakat akan aparat keamanan tersebut mendasari banyak orang marah
dan menginginkan perubahan system perpolitikan.
Selain bobroknya aparat kepolisian,
rakyat Mesir menuntut pemerintah untuk menghapuskan hukum darurat. Hukum
darurat ini merupakan system hukum yang dipakai di Mesir sejak kepemimpinan
presiden Anwar Sadat yang diberlakukan sejak Perang Enam Hari tahun 1967. Hukum
tersebut sempat ditangguhkan pada 1980, namun diberlakukan lagi setelah
pembunuhan Sadat. Hukum ini memberikan pemerintah kekuasaan yang sangat luas,
hak-hak konstitusional ditangguhkan, sensor disahkan, dan pemerintah dapat
memenjarakan seseorang tanpa batas waktu dan tanpa alasan. Hal ini jelas-jelas
sangat bertentangan dengan prinsi-prinsip demokrasi yang mengatakan bahwa
setiap warga negara berhak mendapatkan perlakuan pengadilan seadil-adilnya.
Rakyat Mesir berusaha agar pemerintah menghapuskan hukum darurat tersebut
sebagai bentuk kebebasan negara demokrasi.
Memang bila berbicara demokrasi di
Mesir, belum sepenuhnya negara ini menerapkan demokrasi tersebut, memang sudah
ada pemilu, namun pemilu tersebut hanyalah cover yang dilakukan Mubarak untuk
mengalahkan lawan-lawan politiknya. Sementra rakyat masih belum mendapatkan
kebebasan bicara dan kurangnya pemilu yang bebas adalah alasan-alasan rakyat
selanjutnya. Rakyat belum dapat menyuarakan aspirasi sebagaimana negara
demokrasi pada umumnya dikarenakan terbatasnya freedom of speech disana.
Sementara itu, Mesir juga merupakan
negara yang bisa dikatakan kurang baik dalam masalah ekonomi, yang menjadi
keluhan masyarakat adalah korupsi pemerintah yang tak terkendali, angka
pengangguran yang tinggi, inflasi harga pangan, dan upah minimum yang rendah.
Keadaan seperti ini membuat hidup rakyat Mesir sengsara dan berharap pemerintah
bisa mengambil tindakan agar rakyat dapat hidup dengan nyaman di negeri mereka
sendiri.
Selama ini korupsi pemerintah di negeri
Fir’aun ini sangat besar jumlahnya, tidak tanggung-tanggung, presiden Mubarak
sendiri adalah salah satu pihak yang melakukan hal ini. Keluarganya dikabarkan
melakukan korupsi uang negara dalam jumlah besar. Transparency International has ranked the Mubarak regime and several
other Arab regimes at the bottom of its list of highly corrupt regimes. The
personal wealth of the Mubarak family is estimated between $50-70 billion. It
was reported two days ago that Gamal Mubarak, son of President Mubarak was
heading to London with a big entourage and about 80 pieces of luggage along
with his mother, Suzanne Mubarak, and high officials, though Egyptian sources
dismiss the report as false.[4]
Kekayaan Mubarak, keluarga, dan
orang-orang terdekatnya pun telah dirilis, mereka dikabarkan mempunyai kekayaan
bersih sebesar $40million dan diperkirakan menjadi $70billion. Rakyat Mesir
merasa sangat terbebani akan adanya korupsi tersebut. Mereka merasa orang-orang
yang diuntungkan oleh kegiatan korupsi ini adalah para bisnismen yang mempunyai
ikatan dengan partai sang presiden, yaitu National Democratic Party. They paint a picture of state where wealth
fuels political power and political power buys wealth.[5]
Kerancuan perekonomian Mesir tidak
berhenti sampai disitu saja, masalah korupsi pemerintah hanyalah bentuk lain
dalam sistem perekonomian yang buruk ini. Fenomena lain yang muncul dalam
perekonomian negara adalah upah minimum yang rendah. Selama pemerintahan
Mubarak, populasi naik dua kali lipat menjadi 80 juta orang. Menurut United Nations,
40% dari populasi tersebut hidup dengan pendapatan $2 sehari.[6] Problem
lainnya dengan adanya angka pengangguran yang tinggi. The International Labor
Office (ILO) annual World Employment Report 2004-2005 menemukan bahwa pada
tahun 2005 angka pengangguran di Mesir meningkat drastis. Pemuda berusia antara
15-24 tahun merupakan separuh dari jumlah pengangguran di Mesir dan banyak
orang dewasa keluar dari pekerjaannya.[7]
Selain itu, inflasi harga pangan yang semakin melonjak juga menambahi kekacauan
ekonomi di Mesir.
Tidak beresnya sistem pemerintahan,
tatanan social, serta perekonomian negara yang kacau adalah alasan rakyat
menginginkan Mubarak turun, selain tujuan utama mereka melengserkan
pemerintahan otoritarian yang selama ini memerintah Mesir yang didalangi
presiden Hosni Mubarak. Kekacauan tersebut melecut rakyat untuk berdiri tegak
menentang pemerintah mereka agar tatanan negara mereka dapat berubah. Selama
beberapa tahun belakangan, tueunnya Mubarak adalah sebuah impian rakyat Mesir,
karena mereka mengangganp sang presiden sudah tidak layak lagi memimpin, selain
karena cara memerintahnya yang otoriter, menurut mereka Mubarak sudah terlalu
lama memimpin Mesir, It’s been 30 years since the first time he started his
reign in Egypt on 1981.
Pihak oposisi bersama rakyat mampu
memanfaatkan moment yang sedang terjadi di negara tetangga mereka, Tunisia,
yang telah melakukan demonstrasi menuntut presiden Zine El Abidine Ben Ali
untuk turun dari tahta tertinggi Tunisia. Dan momentum yang bersejarah di negara
tetangga mereka itu turut membuat rakyat Mesir berusaha sekuat tenaga untuk
melakukan apa yang dilakukan saudara-saudara mereka di Tunisia dengan menuntut
mundur pemimpin otoriter Mesir, Mubarak.
Meskipun demonstrasi di Mesir belum
berhenti begitu saja setelah rakyat berhasil memukul mundur Mubarak, karena
pada dasarnya rakyat masih meminta untuk diadakan pemilu secara demokratis di
negara mereka. Rakyat masih takut jikalau pemerintah saat ini yaitu pemerintah
junta militer berkuasa tanpa batas. Mereka menginginkan pemilu demokratis
segera dan pemerintahan militer
menjanjikan hal itu akan segera terkabul dan akan diadakan pemilu untuk memilih
presiden baru dalam waktu 5 bulan, namun rakyat terpaksa gigit jari karena hal
ini belum terjadi hingga sekarang. Demo pun untuk terus berlanjut dan
pemerintah militer setuju untuk mengadakan pemilu pada awal 2012. Tentu saja
harapan rakyat tentang adanya demokrasi penuh di negara mereka berakhir dengan
baik dan sesuai keinginan mereka, harapan untuk hidup di negara demokrasi yang
damai dan transparan serta mendapatkan kehidupan yang baik tanpa hambatan.
V.
Kesimpulan
Demonstrasi yang dilakukan oleh rakyat
secara besar-besaran adalah untuk menuntut ketidakadilan pemerintah dan
memperbaiki kelangsungan hidup rakyat sendiri. Tuntutan masyarakat selama ini
adalah perbaikan dalam aspek politik, social, dan ekonomi. Rakyat ingin apa
yang menjadi hak mereka didapat tanpa harus diambil oleh keserakahan
pemerintah. Selama kepemimpinan Hosni Mubarak, suara rakyat tak pernah didengar
oleh pemerintah, mereka hanya menganggap suara rakyat yang ingin mengutarakan
pendapatnya adalah angin lalu belaka. Keinginan rakyat untuk mendapatkan hak
serta melihat negara mereka dalam kondisi yang sehat, merupakan impian yang
dimimpikan oleh rakyat sejak era Mubarak berkuasa.
Rakyat Mesir sempat merasa sangat
bahagia dan mereka bersuka cita ketika sang presiden yang bertangan besi
tersebut mengundurkan diri. Tapi mereka belum selesai sampai disitu saja.
Rakyat masih menginginkan pemerintahan demokrasi, bukan seperti saat ini yang diperintah
oleh pemerintah junta militer yang nantinya menurut masyarakat akan memerintah
negara tanpa batas. Keinginan rakyat saat ini adalah melihat negaranya
berdemokrasi penuh tanpa adanya pemerintahan otoriter yang seakan mencengkeram
negara, mereka ingin negara mereka makmur, serta rakyatnya hidup berkecukupan
(seperti kebanyakan negara-negara di dunia Arab yang kaya raya karena
melimpahnya sumberdaya alam) dan hidup dengan presiden yang mampu memimpin
rakyatnya menuju kejayaan, bukannya seorang diktator bertangan besi yang selama
ini memimpin Mesir seperti yang dilakukan Mohammad Hosni Sayyid Mubarak selama
30 tahun dia berkuasa.
[1] The Middle East, The Arab World and Its Neighbours hal. 36
[3] http://www.state.gov/g/drl/rls/hrrpt/2009/nea/136067.htm#
[4]http://www.huffingtonpost.com/aladdin-elaasar/egyptians-rise-against-th_b_815520.html
[5] http://english.aljazeera.net/programmes/insidestory/2011/02/201128111236245847.html
[6] http://www.thenewage.co.za/8894-1007-53-Egypt_protests_a_ticking_time_bomb_Analysts
[7] http://www.huffingtonpost.com/aladdin-elaasar/egyptians-rise-against-th_b_815520.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar