Oleh: Galih Wisnu Aji- Mahasiswa HI UMM
Menurut Emilee
Rauschenberger,[1] cultural imperialism muncul
pasca Perang Dunia II dengan nama yang bermacam-macam, “neo-colonialism,”
“soft imperialism,” dan “economic imperialism.” Kemudian
istilah-istilah itu berubah lagi beberapa tahun kemudian setelah mendapatkan
pembenaran dari beberapa pakar menjadi “media imperialism,” “structural
imperialism,” cultural dependency and synchronization,” “electronic
colonialism,” “ideological imperialism,” dan “communication
imperialism.” Rauschenberger mengutip dari Herbert Schiller, penemu teori
ini, bahwa dalam bukunya yang berjudul “Communication and Cultural
Domination”,[2] Herbert Schiller menetapkan standar pertama
dari imperialisme budaya, Schiller mendefinisikan fenomena ini sebagai cara di mana perusahaan
multinasional, termasuk media, yang berada di negara-negara maju mendominasi negara-negara berkembang.
Teori imperialisme budaya
menyatakan bahwa negara Barat mendominasi media di seluruh dunia ini. Ini
berarti pula, media massa negara Barat juga mendominasi media massa di dunia
ketiga. Alasannya, media Barat mempunyai efek yang kuat untuk mempengaruhi
media dunia ketiga. Media di dunia Barat sangat mengesankan bagi media di dunia
ketiga, sehingga mereka ingin meniru budaya yang muncul lewat media tersebut. Dalam
perspektif teori ini, ketika terjadi proses peniruan media negara berkembang
dari negara maju, saat itulah terjadi penghancuran budaya asli di negara ketiga.[3]
Kebudayaan Barat
memproduksi hampir semua mayoritas media massa di dunia ini, seperti film,
berita, komik, foto dan lain-lain. Barat dapat mendominasi karena mereka
mempunyai uang dan teknologi, kedua hal tersebut tidak dimiliki oleh negara
dunia ketiga. Negara dunia ketiga akan memilih hal-hal yang diciptakan oleh
Barat daripada buatan negaranya sendiri. Orang-orang di negara berkembang akan
membeli barang-barang dari negara-negara maju, menikmati sajian-sajian yang
berasal dari gaya hidup, kepercayaan dan pemikiran, dan meniru kebudayaan milik
negara Barat yang baru dilihat lewat media.[4]
Sepanjang negara dunia ketiga terus menerus menyiarkan atau mengisi media
massanya berasal dari negara Barat, orang-orang dunia ketika akan selalu
percaya apa yang seharusnya mereka kerjakan, pikir dan rasakan. Lama kelamaan,
orang-orang di dunia ketiga akan melakukan hal-hal yang sama persis dengan apa
yang dilakukan oleh orang-orang di negara maju.
[1] Emilee
Rauschenberger. 2003. Deconstructing
Cultural Imperialism. dalam http://politics.as.nyu.edu/docs/IO/4600/rauschenberger_thesis.pdf retrieved 4 June 2012
Sciences
Press. New York dalam Emilee Rauschenberger. 2003. Deconstructing Cultural Imperialism. dalam http://politics.as.nyu.edu/docs/IO/4600/rauschenberger_thesis.pdf retrieved 4 Juni 2012
[4] Ibid.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar