Oleh: Eni Nurul C., Waidatun Hasanah, Dwi A. Latief, Erny Handy Arsy, Aditya Maulidana
Pendahuluan
Berkembangnya isu isu global yang
semakin kompleks, begitu pula seiring dengan perkembangan zaman, pergeseran
studi kemanan yang pada awalnya lebih berfokus pada kontra ideologi bernuansa
militer, kini berubah menjadi semakin beraneka ragam yang di tandai munculnya beberapa
isu baru global antara lain masalah ekonomi, lingkungan hidup, energi, pangan
dan HAM. Isu isu baru tersebut tentu saja bisa memicu munculnya beberapa
ancaman, baik dari luar maupun dari dalam suatu negara. Terlebih jika ancama
itu berasal dari dalam maka stabilitas suatu negara akan lebih terlihat lemah
di mata dunia dan mampu menghancur leburkan satu negara yang seharusnya mampu
berdiri kokoh dan berdaulat. Banyak di antaranya yang bercampur-baur dengan
konsep-konsep identitas, bangsa, dan nasionalisme, serta kebanyakan berakar
pada persaingan untuk memperebutkan sumber daya, pengakuan dan kekuasaan.
Meskipun konflik-konflik itu tampak berbeda satu sama lain pada dasarnya ada
kesamaan isu kebutuhan yang tak terpenuhi, dan pentingnya mengakomodir kepentingan
mayoritas dan minoritas.[1]
HAM menjadi agenda yang sangat penting,
karena hal ini berkaitan dengan masalah kelangsungan hidup suatu individu.
Terdapat banyak sekali kasus kasus yang terjadi berkaitan dengan pelanggaran
HAM antara lain konflik SARA, yang kebanyakan menimbulkan suatu pembantaian
besar besaran yang memakan banyak korban yang dilakukan dengan sengaja, sangat
sadis dan terencana. Salah satunya yaitu pembantaian Rwanda yang hampir menelan
korban kurang lebih 800.000 ribu jiwa.
Dari isu HAM di Rwanda menandakan bahwa ternyata tidak
hanya sekumpulan aktor negara saja yang mewarnai berbagai isu global, tetapi
ada juga aktor lain non negara yang menonjol dan turut mewarnai isu global
dalam percaturan dunia politik tampak sekali seperti keberadaan interhamwe yang
sangat aktif menyorakan pemusnahan terhadap pohon tinggi (suku tutsi ) Sebagai
usaha untuk penegakan harga diri manusia dan keadilan sosial pastinya ini menjadi
agenda yang sangat penting, karena faktanya HAM hadir sebagai bagian dari
agenda politik dunia. Tetapi sepertinya menjadi hal lain ketika Konflik SARA
yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994, ketidak sewajaran terjadi karena seolah
olah bantuan untuk menghentikan konflik sangat bmeprihatinkan, hampir tidak ada
campur tangan yang mengalir, adapun campur tangan dari PBB pun sepertinya belum
tentu sepenuhnya mampu menghentikan ekstremis HUTU untuk melancarkan
seranganya.
Terletak di
pusat Afrika, Republik Rwanda berbatasan dengan Uganda di sebelah utara,
Tanzania untuk timur, Republik
Demokratik Kongo ke
barat, dan
Burundi ke selatan. Meskipun wilayahnya kecil, Rwanda memiliki kepadatan penduduk tinggi dengan arus komposisi penduduk yang 84 persen Hutu,
15 persen Tutsi, dan 1 persen TWA.[2] Rwanda merupakan salah satu negara yang
terletak di Afrika tengah dan meraih kemerdekaanya pada tanggal 1 Juli tahun 1962.
Rwanda merupakan bekas jajahan Jerman
dan pada akhirnya jatuh di tangan Belgia. Negara ini mulai menjadi sorotan beberapa
negara di dunia ketika pada tahun 1994 puncaknya setelah tertembaknya presiden
Rwanda Juvenal Habyariman telah terjadi pembantaian besar besaran yang
menyeruak di daratan Rwanda tersebut, konflik antar etnis yang tidak bisa di
hindari dan memanasnya hubungan antar etnis terutama hutu dan tutsi yang
mengakibatkan jatuhnya korban kurang lebih 800.000 jiwa. Konflik ini dipicu
ketika terbentuknya RPF pada tahun 1990 an sebagai aksi pemberontakan terhadap
pemerintah. Disisi lain ekstremis HUTU yang bisa dikatakan menguasai
pemerintahan pun merasa tergerak dan tertantang akan keberadaan RPF, sementara
gencatan senjata juga sempat terjadi namun alhasil konflik yang sebenarnya
tengah berlangsung jauh sebelum tahun 1994
itu, akhirnya berkobar tepat selama seratus hari.. Dibelahan dunia lain
pun juga terjadi hal demikian, seperti peristiwa holocaust dimana Hitler tampil sebagai sutradaranya. Walaupun
demikian pembantaian di Rwanda merupakan salah satu pembantaian yang menelan
korban yang lebih banyak.
Konflik ini lah
yang akhirnya memporak porandakan negara yang hanya terdiri 3 etnis ini. Sangat
tragis mengingat banyak sekali korban jiwa akibat pembantaian liar oleh
sekelompok militan hutu tersebut. kecemburuan yang terjadi antar suku tersebut
menjadikan Rwanda tidak stabil, dan parahnya perhatian dunia internasional pun
terasa minim, walaupun setidaknya PBB juga ikut campur tangan dalam masalah
ini, tetapi anehnya negara negara besar seperti Amerika Serikat yang selalu
mengobarkan nama demokrasi pun seakan tutup mata dan terlihat tidak tahu menahu
bagaimana brutalnya tindakan tindakan yang dilakukan militan Hutu yang tidak
manusiawi di negara tersebut.
Konflik etnis yang kental ini
sepertinya berakar kuat pada rasa dendam, masing masing etnis pun tetap
bersitegang, bahkan sebelum tahun 1994 tepatnya saat terjadi pembantaian suku
tutsi dan hutu moderat oleh ekstremis HUTU, konflik sudah sering terjadi diantara
kedua kubu tersebut. kebencian dan dendam yang mendalam antara dua etnis
tersebut yang selalu mengobarkan bendera permusuhan dan menggoncangkan
stabilitas Rwanda, terlihat sulit sekali usaha mempersatukan dua etnis yang
sama sama ingin menduduki tampuk pemerintahan hal itu mulai dari genjatan
senjata yang terbukti ketika terjadi pembunuhan presiden Rwanda juvenal
Habyariman ketika ingin mempersatukan dua etnis tersebut. selain itu kondisi
perlindungan HAM di Rwanda terlihat kabur dan tidak ada kepastian, konflik yang
mengakibatkan pertumpahan darah yang seharusnya dapat dihindari menjadi semakin
merajalela karena tidak ada hukum tegas yang berlaku yang mampu menjunjung tinggi
HAM di Rwanda. Penegakan HAM di Rwanda kiranya menjadi sangat penting,
berkaitan dengan konflik yang terjadi upaya rekonsiliasi tentunya mampu menjadi
benih harapan integrasi untuk bangsa tersebut untuk keutuhan dan
keberlangsungan stabilitas bagi Rwanda.
Walaupun telah banyak penelitian yang
sangat baik tentang bagaimana menciptakan perdamaian dalam masyarakat yang
terpecah belah, tetapi tetap dibutuhkan adanya saran-saran praktis kepada para
pembuat keputusan mengenai cara merancang dan memfungsikan katup-katup demokrasi
agar perdamaian tetap terjaga. Konflik adalah bagian yang wajar dari sebuah
masyarakat yang sehat, tetapi yang menjadi perhatian penting dalam tahun-tahun
terakhir ini adalah pada bagaimana mencegah konflik, dan bukan lagi pada mencari
cara-cara damai dalam pengelolaan konflik. Khususnya, perhatian lebih perlu
diberikan kepada tipe pilihanpilihan politik - yang dibutuhkan pihak-pihak yang
bernegosiasi untuk mengakhiri periode konflik tajam – dalam usaha membangun
kembali negara mereka, dan bagaimana mereka bisa membangun demokrasi yang tahan
lama – yang merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan yang berkelanjutan –
dari reruntuhan akibat konflik.[3]
Konflik yang menewaskan ratusan ribu
orang di Rwanda ini menandakan bahwa lemahnya sistem konstitusi domestik disana
karena tidak mampu memberikan jaminan pada HAM, sehingga saling menguasai dan
melukai satu sama lain terus berlanjut.
RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan permasalahan yang penulis utarakan
dilatar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah penelitian ada beberapa poin yang akan menjadi topik
masalah dalam paper ini adalah :
a.
Apa penyebab meletusnya genosida besar besaran terhadap tutsi dan hutu
moderat oleh ekstremis HUTU?
b.
Adakah upaya penyelesaian konflik pada masa Presiden Juvenal Habyarimana?
c.
Bagaimana perlindungan HAM dan adakah upaya rekonsiliasi konflik Rwanda,
pada masa presiden Paul Kagame?
Konsep dan Landasan
Teori
1.
Konflik
Secara
umum konflik merupakan suatu keadaan yang kontras, terjadi akibat adanya
ketidak cocokan serta ketidakserasian tujuan. Ramainya panggung politik banyak
sekali diwarnai dengan persaingan yang ketat oleh beberapa subjek /pelaku dunia
politik untuk mencapai kepentingan mereka masing masing. Perbedaan tujuan
inilah yang bisa dikatakan sebagai bibit munculnya suatu konflik. Dalam usaha
mancapai kepentingan tersebut tak ubahnya berbagai upaya dilakukan masing
masing subjek, yang pada akhirnya ini lah yang dikatakan sebagai suatu
kompetisi. Ketika ambisi masing masing itu menjadi kuat, akhirnya munculah
benturan benturan yang tidak terhindarkan.
Menurut lewin konflik adalah suatu keadaan dimana ada daya-daya
yang saling bertentangan arah, tetapi dala kadar kekuatan yang kira-kira sama.[4]
Sedangkan
menurut Dahrendorf konflik dibedakan menjadi 4 macam[5]
·
Konflik anatar atau dalam peran social (intrapibadi), misalnya antara
peranan-peranan dalam keluarga atau profesi
·
Konflik antara kelompok-kelompok social (antar keluarag, antar gank)
·
Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisis melawan
massa)
·
Konflik antar atau tidak antar agama/ ras
·
Konflik antar politik
Sehingga
disini dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya konflik yaitu perbedaan. Perbedaan
Kepentingan itu akan sama sama diperjuangkan dan pastinya kepentingan itu akan
terlaksana jika berani dan siap untuk memperjuangkannya apapun resiko yang akan
dihadapi baik melalui suatu pertikaian yang sengit sekalipun. Hoogerwerf atau
Greer dan Orleans sebagaimana dijelaskan Surbakti melihat bahwa pada dasarnya
politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan.[6]
Dari
uraian di atas , dapat kita pahami bahwa konflik dirwanda merupakan salah satu
dari konflik(……………) dimana..orang..() merasa termarginalkan dibandingkan dengan
dominasi etnis(), maka hal ini wajar jika ()selalu mengejar hak-hak dan
kepentingan etnisnya yang merasa tidak dipenuhi.
Disisi
lain George Simmel dalam Conflict and the Web of Group Affiliations
(1964:15,24) menjelaskan bahwa setiap individu tidak akan mempunyai keutuhan
pribadi hanya dengan melalui keserasian belaka, tapi mereka kadang kadang harus
mendapatkan keutuhan melalui pertikaian dan konflik konflik.[7]
Tipe konflik di Rwanda adalah satu konflik etnis yang berkepanjangan.
2.
Genocide
Secara umum genocide bisa di
artikan sebagai tindakan yang dimaksdukan untuk dengan menghancurkan
memusnahkan sebagian/seluruh kelompok. Genosida seperti yang didefinisikan oleh PBB pada tahun 1948 adalah salah
satu dari tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara
keseluruhan atau sebagian, suatu, etnis, ras atau kelompok agama nasional.[8]
Istilah genosida ini pertama kali di perkenalkan oleh Raphael Lamkin seorang
pengacara Polandia pada tahun 1943.
Menurut Lemkin Genocide itu terdiri dari:
“Rencana tindakan
terkoordinasi yang berbeda mengarah
pada kehancuran fondasi penting dari kehidupan kelompok
nasional, dengan tujuan menghancurkan
kelompok itu sendiri. tujuan dari rencana tersebut agar
terjadi disintegrasi dari lembaga-lembaga politik dan sosial, budaya, bahasa, rasa nasionalisme, agama, dan keberadaan ekonomi
kelompok-kelompok nasional dan penghancuran keamanan pribadi,
kebebasan, kesehatan, martabat
/harga diri, dan bahkan kehidupan
individu milik kelompok
tersebut. genosida ditujukan
terhadap kelompok nasional sebagai
suatu entitas, dan tindakan yang
terlibat diarahkan terhadap
individu, bukan berarti dalam
kapasitas tidak
nama mereka, tetapi sebagai
anggota kelompok nasional”.[9]
3.
Rekonsiliasi
Idealnya rekonsiliasi mencegah
penggunaan masa lalu sebagai benih konflik baru. Ini mengkonsolidasikan
perdamaian, memutus siklus kekerasan dan memperkuat baru didirikan atau
diperkenalkan kembali lembaga demokrasi. Sebagai suatu operasi yang melihat ke
belakang, rekonsiliasi membawa tentang penyembuhan pribadi para korban, perbaikan
ketidakadilan masa lalu, bangunan atau membangun kembali non-kekerasan hubungan
antara individu dan masyarakat, dan penerimaan
oleh pihak mantan konflik yang dari visi dan pemahaman tentang masa
lalu. Dalam memandang dimensi ke depan,
rekonsiliasi berarti memungkinkan antara korban dan pelaku untuk
melanjutkan hidup bersama dan, pada tingkat masyarakat, pembentukan partai
politik yang beradab, dialog dan pembagian kekuasaan yang memadai.[10]
Rekonsiliasi sebagai
bentuk resolusi konflik (conflict resolution) akhir-akhir ini menjadi sangat
popular, terutama setelah kasus afrika selatan dengan komisi kebenaran dan
rekonsiliasinya (truth and reconciliation commision), dianggap cukup berhasil.
Rekonsiliasi dapat di anggap sebagai bagian atau satu cara untuk menuntaskan
konflik, dalam hal ini rekonsiliasi diperlukan persoalan persoalan pasca
konflik dapat di tuntaskan.[11]
4.
Demokrasi
Demokrasi subsatantif: pendekatan normatife-minimalis
Karena
diilhami banyak tradisi pemikira, pendekatan klasik-normatif memaknai dan
mngukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukan dimensi-dimensi non
politik (sosial,ekonomi,dan budaya). Kebebasan
sebagai esensi dalam demokrasi, tidak
hanya diterjemahkan sebagai kebebasan politik (berbicara,memilih,
berkumpul,berorganisasi) tetapi juga kebebasan sosia-ekonomi (terbebas dari
ketidak adilan, kemiskinan,kemelaratan,kebodohan, keterbelakangan, dan
sebagainya.)[12]
Pembahasan
a.
Apa penyebab meletusnya genosida besar
besaran terhadap tutsi dan hutu moderat oleh ekstremis HUTU?
Dua elemen penting yang erat kaitanya dengan keberadaan
stabilitas suatu negara biasanya titik fokusnya terletak pada faktor eksternal
dan faktor internal. Faktor ekstrenal yang biasanya di pengaruhi baik buruknya
hubungan satu negara dengan negara lain juga menjadi hal penting mengingat
nilai tawar dan posisi suatu negar di dunia internasional untuk dipertahankan.
Disi lain faktor internal dewasa ini juga bisa menjadi hal serius untuk di
amati. Juastru faktor internal yang terkadang menjadi sulit untuk di atasi,
antara lain ancaman ancaman dari faktor internal yang pada umumnya kurang
menjadi perhatian sehingga merusak tatanan stabilitas suatu negara.
Dalam tahun-tahun terakhir jenis
konflik baru menjadi semakin mengemuka:
konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, atau konflik dalam negara, dalam bentuk perang
saudara, pemberontakan
bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya. Perubahannya
berlangsung secara dramatis: dalam
3 tahun terakhir, misalnya, setiap konflik bersenjata yang besar berasal dari level domestik
dalam negara, dan bukan antara negara. Dua elemen kuat seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang
pertama adalah identitas:
mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang didasarkan atas ras, agama, kultur,
bahasa, dan seterusnya. Yang
kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial dan politik dalam
sebuah masyarakat.[13]
Berkaitan
dengan meletusnya genosida oleh HUTU ektremis, pembahasan kali ini di awali
dengan flashback sebelum pecahnya aksi genocide oleh ekstremis HUTU. Sejarah singkat
menyatakan bahwa dari awal perebutan kekuaasaan antara hutu dan tusti telah
berlangsung lama. Aksi yang di dasari rasa emosional oleh masing masing pihak
ini salah satunya dilatar belakangi karena adanya beberapa keburukan yang
terjadi ketika pihak pemegang kekuasaan melakukan kecurangan antara lain
korupsi. Konflik yang mengakar ini sering memanas aksi pertentangan yang di
iringi kekerasan kerap sekali terjadi sampai negara ini memperolah
kemerdekaanya
Sejarah
perselisihan etnis antara minoritas Tutsi dan Hutu Mayoritas menyebabkan serangkaian konflik sebelum 1994. Sebelum kemerdekaan pada tahun
1962, kekerasan yang parah
terjadi pada tahun
1959 antara Tutsi kemudian berkuasa dan mayoritas Hutu. Kekerasan etnis meletus lagi tak lama setelah kemerdekaan pada bulan
Desember 1963, dengan
diperkirakan
20.000 orang Tutsi dibunuh oleh orang Hutu. Selama awal tahun 1970 konflik etnis muncul kembali
dengan Mayor Umum Juvenal
Habyarimana memimpin kudeta pada tahun 1973 untuk mendirikan Republik Kedua. Habyarimana menjadi
presiden dan menghentikan semua kegiatan politik lainnya.[14] Situasi ini
semakin diperparah ketika pendudukan kolonial oleh Belgia.
Belgia mengambil Rwanda dengan kekerasan pada pertengahan
1916, adalah diberikan
pemerintahan oleh Perjanjian Versailles di 1919, dan secara resmi dikonfirmasi sebagai kolonial wewenang oleh Liga Bangsa-Bangsa pada
tahun 1924. Dari
1924 sampai
1962, Rwanda diatur sebagai suatu Liga, dan kemudian sebagai protektorat PBB. Belgia menemukan kesulitan untuk memahami dan mengelola organisasi politik pribumi, sehingga mereka mengatur
tentang reformasi
sistem,
mengurangi jumlah kepala,
menyederhanakan
sistem, dan menyingkirkan penguasa Hutu dari kekuasaan. Yakin bahwa mereka memerintah kasta ras terpisah dikelompokkan
berdasarkan bakat, yang
Belgia ideologi
diumumkan bahwa Tutsi
secara rasial
penyerbu superior dan alam
penguasa Rwanda.
Akibatnya, Belgia mengatur
tentang mendidik
kader administrator lokal
Tutsi
aristokrat keturunan, dengan menggunakan kriteria ras dan kelas untuk memilih kader ini, dan
menyingkirkan penguasa Hutu
dari kekuasaan
politik.[15] Dan ketika Rwanda mendekati hari
kemerdekaanya, Belgia berbalik arah ke HUTU, dan memberikan kekuasaan kepada
HUTU, lalu lahirlah Revolusi HUTU.
Revolusi Hutu dari 1959-1960 paksa
ratusan ribu Tutsi ke pengasingan di negara-negara tetangga. Pengungsi ini membentuk inti dari kekuatan yang
akan terlibat dalam perjuangan 30 tahun terhadap pemerintah Hutu Rwanda. Sementara itu, Presiden Kayibanda dan
sekutu-sekutu politiknya Hutu dari Rwanda selatan dan barat bekerja untuk
mengkonsolidasikan kekuasaan mereka. Utara
Hutu, yang telah dimasukkan ke dalam monarki Tutsi selama era kolonial,
diadakan sedikit kekuasaan dalam pemerintahan Kayibanda.[16]
Disisi lain Belgia mulai menyimpang dari pro TUTSI dan berganti ke pro HUTU.
Sampai di di wilayah pengungsian di negara tetangga pun tutsi masih di kejar
oleh hutu, dan salah satu nya terjadi di Burundi (negara tetangga rwanda). Di
pihak oposisi menganggap revolusi yang terjadi di bawah kepemimpinan kayibanda
ini di anggap tidak di tangani secara baik. Setelah itu Juvenal Habyarima pun
tampil menggeser posisi Kayibanda dengan kudeta pada tahun 1973. Pada
pemerintahannya Juvenal juga mengalami situasi yang serius. Pada tahun 1989, runtuhnya kopi
harga di pasar
dunia membawa bencana ekonomi untuk petani kecil Rwanda petani-dan melaju
banyak ambang
keputusasaan, terutama dalam kepadatan
penduduk daerah.[17]
Pada tahun 1990 para pengungsi tutsi
menghimpun kekuatan untuk melakukan invasi ke Rwanda, himpunan kekuatan yang
bernama RPF dibawah pinpinan Paul Kagame mulai mendesak Rwanda dan bergerak
dari Uganda. Pada akhirnya upaya mengganti kepemimpinan partai tunggal di
upayakan oleh Juvenal Habyarimana atas desakan RPF yang menginkan adanya
keterlibatan TUTI dalam pemerintahan.
Akhirnya
puncak pemicu konflik besar mulai muncul ketika pada tahun 1994 Presiden
Juvenal Habyariman tewas terbunuh lantaran berusaha mewujudkan piagam Arusha, piagam
inilah yang berisikan keikutsertaan HUTU dan TUTSI dalam pengelolaan
pemerintahan. Upaya Presiden Juvenal Habyariman untuk menanam benih perdamaian
dengan menyatukan etnis etnis yang berseteru tersebut tampaknya tidak disukai
oleh beberapa pihak. Tidak lama kemudian setelah presiden Juvenal Habyarimana
terbunuh, seketika suasana pelik langsung terjadi, berbagai letusan terdengar
tak lama setelah Juvenal Habyariman dibunuh.
Daya
ekstrimis Hutu menggunakan sistem informasi yang efektif publik,
terutama melalui Radio Mille Collines, untuk menghasut penduduk
Hutu untuk genosida.
[18] Ektremis HUTU pun berusaha membakar semangat semua etnis HUTU untuk
mengahabisi seluruh TUTSI dan HUTU
moderat. Melalui salah satu Radio RTLM (Radio Television Libre des Mille
Collines) yang biasa mereka sebut hutu
power radio. Ektermis HUTU terus berusaha mempengaruhi mayoritas etnis HUTU
agar menolak tutsi, dan membenarkan bahwa Juvenal Habyariman meninggal akibat
ulah TUTSI. Sebelum terjadi pembunuhan Juvenal Habyarimana pun radio ini sudah
menyulut semangat anti tutsi kepada seluruh etnis HUTU. Aksi kekerasan HUTU
etremis mulai menyeruak ke beberapa wilayah di Rwanda yang kurang lebih
menewaskan 800.000 juta jiwa yang terkenal sebagai genosida Rwanda yang
tepatnya terjadi pada tahun 1994.
b.
Upaya penyelesaian konflik pada masa Presiden
Juvenal Habyarimana
Fakta bahwa
demokrasi dapat membawa kemakmuran dan perdamaian memang tidak diragukan lagi.
Sebagai contoh tidak adanya negara negara demokrasi yang saling berperang
adalah sisi positif implikasi yang ditimbulkan oleh demokrasi. Namun sebaliknya
adanya fakta bahwa demokrasi juga menimbulkan konflik yang berlatar belakang
suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) juga bukan hal yang mudah di
pungkiri.demokrasi ibarat pedang bermata dua : membawa petaka atau berkah yang
di kandungnya.[19] Seperti
halnya upaya yang dilakukan di Rwanda oleh Presiden Juvenal Habyarimana yang
berusaha untuk menyatukan etnis etnis yang sedang bertikai di Rwanda (HUTU vs
TUTSI). Rencana yang salah satunya di picu oleh lobi dan desakan FPR itu
akhirnya berusaha untuk dipertimbangkan oleh Habyarimana. Rencana penyatuan ini
sebenarnya sudah di rancang pada tahun 1993 yang tertuang dalam piagam Arusha
(Arusha Accord), sebelum meletusnya genosida pada tahun 1994 di negara
tersebut. alhasil seprtinya uapaya demokrasi yang akan ditorehkan berada dalam
kondisi belum terlalu matang.
Petaka
terjadi apabila demokrasi berlangsung secara tanggung. partisipasi politik
massa meningkat, kebebasan berpendapat luas, dan pers nyaris bebas lepas,
sementara lembaga yang mengatur kehidupan sipil belum cukup mapan dan elite
politik merasa terancam dengan adanya demokratisasi.[20]
Terlihat pada tahun 1994, saat kepemimpinan Juvenal semakin terpuruk dari segi
ekonomi, upaya yang dia lakukan untuk proses pengintegrasian etnis etnis Rwanda
berada dalam situasi pelik. Mayoritas Ektremis HUTU menyerukan suaranya yang
dengan leluasa menghasut para milisi hutu, dan seluruh etnis hutu melalui
saluran radio RTML secara bebas lepas. sementara itu disisi lain beberapa elite
politik salah satu diantaranya G. Rutaganda mungkin merasa terancam akan
keputusan presiden Juvenal Habyariman, yang berusaha mempersatukan hutu-tutsi,
dan menghapus sitem pemerintahan satu suku itu. hal ini jelas sekali bahwa hutu
ektremis tidak setuju dengan keputusan presiden mereka sendiri. dan pada
akhirnya meletuslah genosida di Rwanda pada tahun 1994.
c.
Bagaimana perlindungan HAM dan adakah upaya
rekonsiliasi konflik Rwanda, pada masa presiden Paul Kagame?
Datangnya FPR ke Rwanda dan mengambil alih Kigali,
membuat sebagian besar sekitar 2 juta hutu melarikan diri keluar Rwanda. Secara
resmi paul kagame menjadi presiden pada tahun 2000.
Gelombang lebih tinggi keberangkatan terjadi
pada awal tahun
2000. Episode ini bergejolak menahan masyarakat sipil, sementara kelompok hak asasi manusia menjadi subjek tekanan dan kooptasi oleh pemerintah. Selama dekade pertama kekuasaannya, RPF yang dipimpin pemerintah memperkenalkan banyak reformasi, yang
spektakuler inovatif. Pada tahun 2002 pemerintah menghidupkan kembali sistem peradilan tradisional partisipatif,
dikenal sebagai gacaca, untuk mempercepat persidangan dari mereka yang dituduh berpartisipasi dalam genosida. Ini percobaan ambisius, bagaimanapun
juga ternyata percobaan itu lambat, tidak populer, dan terhambat
oleh tidak adanya hakim yang
terlatih.[21] Disilain untuk proses penyembuhan
konflik Rwanda peran perempuan semakin bertambah.
Dalam
peranannya sebagai agen peacebuilding pasca Genosida 1994, perempuan berperan
besar dalam beberapa bidang utama. Diantaranya dalam bidang Politik, Sosial dan
Ekonomi. Usaha mereka dalam merekonstruksi negaranya didukung penuh oleh
pemerintahan Presidaen Paul Kagame, yang merupakan ketua RPF. yaitu kelompok
yang mempertahankan Rwanda dari serangan massacred ekstrimis Hutu. Pemerintah
memberikan kebijakan khusus untuk para perempuan Rwanda yaitu mengikutsertakan
30% suara dan kedudukan mereka dalam lembaga pemerintahan nasional dan
regional. Kegiatan perempuan dalam bidang politik pada periode 1994-2004
tersebut terlihat dari hasil yang mereka peroleh. Mereka melobi agar hakhak
perempuan dibidang hukum dan warisan dapat dimasukkan kedalam konstitusi baru.
Selain itu, mereka juga meyakinkan seluruh anggota parlemen bahwa keterwakilan
perempuan dalam pemerintahan merupakan awal yang baik untuk sebuah proses
pembangunan perdamaian Negara dimasa yang akan datang. Kini mereka memiliki
hak-hak yang sebelumnya merupakan larangan yang tidak boleh dimiliki oleh
perempuan. [22].
Secara umum Paul kagame bisa dikatakan mencapai Rwanda yang lebih baik pasca
genosida yang menyebabkan kacaunya negara tersebut. tapi disisi lain berkaitan
dengan kelangsungan politik di Rwanda agaknya banyak isu isu kritis yang muncul
terhadap kepemimpan Paul Kagame.
Sejumlah
kritik bermunculan. Di antaranya menyebutkan, tiga calon dari kelompok oposisi
tidak diberi kesempatan mendaftarkan diri untuk mengikuti proses pemilihan.
Kelompok hak asasi manusia juga menunjuk peristiwa kekerasan menjelang
berlangsungnya pemilihan presiden setelah seorang wartawan lokal ditembak mati
serta ditemukannya mayat seorang anggota oposisi tanpa kepala, Juli.[23]
Munculnya beberapa isu baru mengenai partai politik,
tampaknya menjadi masalah serius yang menyita perhatian kelompok Hak Asasi
Manusia Human Rights Watch (HRW).
Kelompok Hak Asasi Manusia Human Rights Watch
(HRW) yang berpusat di New York mengecam gangguan terhadap tokoh-tokoh oposisi
politik di Rwanda yang mengatakan mereka menghadapi "ancaman-ancaman
serangan-serangan dan gangguan" yang meningkat menjelang pemilihan
presiden itu. Kelompok itu mengutip satu insiden di mana Joseph Ntawangundi--
seorang anggota FDU-Inkingi, satu partai oposisi baru yang mengecam
kebijakan-kebijakan pemerintah -- diserang di depan sebuah kantor pemerintah
lokal.[24]
Berkaitan
dengan hal tersebut, tampaknya sedang terjadi sedikit kekacauan di Rwanda, isu
isu baru terkait adanya pembunuhan beberapa anggota partai oposisi tersebut
menguncang stabilitas kehidupan politik di Rwanda, ini menjadi isu besar
menjelang pemilu Rwanda.
Di bawah kepemimpinan Kagame, terpilih
sebagai Presiden Rwanda pada 2000, pendapatan negara naik dua kali lipat dari
dekade sebelumnya. Namun baru-baru ini, organisasi transparansi internasional
menyebutkan Rwanda merupakan negara terkorup di kawasan tersebut. Rwanda juga
membanggakan diri bahwa negerinya memiliki anggota parlemen perempuan ertinggi
di dunia, memberikan kesempatan bersekolah, dan berhasil menurunkan tingkat
kematian anak. Kendati memiliki rekam jejak mengesankan, ada isu bahwa selama
menjabat sebagai presiden Kagami memiliki beberapa noda hitam. Di antaranya
pelangaran hak asasi manusia dan penembakan sejumlah lawan politiknya.[25]
Ham dan Demokrasi memiliki kaitan
yang sangat kuat. Demokrasi memberikan pengakuan secara luas dalam pemerintahan.
Dalam perkembangan sejarah awal demokrasi, desakan kea rah hadirnya peran serta
public mencerminkan adanya pengakuan kedaulatan. Aktualisasi peran public dalam
ramah pemrintahan memungkinkan untuk terciptanya keberdayaan politik[26].
Keadaan Rwanda akhir akhir ini lah tampaknya mampu mengganggu kelancaran upaya
yang mungkin dikatakan sebagai proses demokratisasi
dan penyembuhan konflik di Rwanda.
Kesimpulan
Konflik Rwanda yang memucxak
pada genosida Rwanda pada tahun 1994 pada awalnya merupakan serentatan konflik
berkepanjangan pada masa awal berdirinya negara tersebut. genosida yang
menewaskan yang kurang lebih menewaskan 800.000 juta tersebut terjadi selama
100 hari. Pelaku utama yaitu Ekstremis HUTU yang merasa terancam akibat kembalinya
kekuatan tutsi yang bernama RPF berusaha untuk kembali menyusup ke Rwanda yang
di anggap oleh ektremis hutu sebagai pemberontak yang akan mengambil alih
kekuasaan. Namun pada akhirnya kemengan pada tahun 1994 memihak RPF di bawah
komando Paul Kagame. Setidaknya upaya rekonsiliasi berupa adanya gacaca
merupakan salah satu upaya kecil Kagame untuk menutaskan kepelikan dimasa lalu
akibat genosida yang menewaskan ratusan ribu tusi dan hutu moderat walaupun mungkin tidak mampu menyelesaikan
seluruhnya. Menyoroti peristiwa yang terjadi akhir akhir di Rwanda, antara lain
pembunuhan anggota partai oposisi menjadi titik awal kekacauan di Rwanda.
Adanya kondisi yang tidak sehat berkaiatan dengan HAM ini menjadi polemik baru
bagi Rwanda yang mampu memecah belah lagi siruasi Rwanda yang di sisi lain
mulai di bangun kembali pasca 1994.
[1] http://www.idea.int/publications/democracy_and_deep_rooted_conflict/upload/DEMOKRASI_DAN_KONFLIK_YANG_MENGAKAR.pdf
[2] Neil Schlager and
Jayne Weisblatt, World Encyclopedia of Political System and parties
[3] http://www.idea.int/publications/democracy_and_deep_rooted_conflict/upload/DEMOKRASI_DAN_KONFLIK_YANG_MENGAKAR.pdf
[4] Wirawan, sarlito, 2010,Teori- teori Psikologi social, Grafindo,
Jakarta,hal 54
[6] Imam Hidajat, 2009, Teori Teori Politik, Setara Pres, hal 95
[7] Ibid, Imam Hidajat Teori Teori Politik
[12] Dr.Suyatno, M.Si Menjelajahi Demokrasi, 2008, humaniora
[13] http://www.idea.int/publications/democracy_and_deep_rooted_conflict/upload/DEMOKRASI_DAN_KONFLIK_YANG_MENGAKAR.pdf
[14] Opcit, Neil Schlager and Jayne Weisblatt, World Encyclopedia of Political System and parties
[20] Ibid, Dr.Suyatno, M.Si
[25] http://www.tempo.co/read/news/2010/08/09/119269850/Rwanda-Lakukan-Pemilihan-Presiden-Kagame-Favorit-Menang
[26] Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak ekonomi
sosial dan Budaya, 2009, Rajawali Pers
Tidak ada komentar:
Posting Komentar