Oleh: Galih Wisnu Aji - Mahasiswa HI UMM
I. Latar Belakang
Korea Utara atau Democratic
People’s Republic of Korea adalah suatu negara yang terletak di Asia Timur
Laut dan berbatasan langsung dengan People’s
Republic of China di sebelah utara dan Republic
of Korea atau lebih dikenal dengan Korea Selatan di bagian selatan. Pada
masa Japanese imperialis, Korea Utara
dan Korea Selatan merupakan negara yang bersatu bernama Korea, namun setelah
penjajahan Jepang berakhir, Uni Soviet dan Amerika Serikat yang memenangkan
perang melawan Jepang membagi Korea menjadi 2, Utara dan Selatan, dengan 2
ideologi yang berbeda. Korea Utara mengikuti Uni Soviet yang mengalahkan Jepang
di sebelah utara garis 38° lintang utara dengan ideologi sosialis komunisnya,
sementara Amerika Serikat memenangkan perang melawan Jepang dan mengambil
wilayah Korea di sebelah selatan garis lintang 38° serta membawa ideologi
ekonomi kapitalisnya.
Korea Utara sendiri lahir pada 9 September 1948, menyusul
saudaranya di selatan yang telah mandiri sejak 15 Agustus 1948.[1]
Pada tahun 1950, Korea Utara sempat menginginkan unifikasi lagi di Korea dan
menyerang Korea Selatan, perang ini disebut sebagai Perang Korea yang
berlangsung hingga 1953. Hingga saat ini, Perang Korea tersebut belum berakhir,
karena mereka hanya mencapai negative
peace berupa gencatan senjata tanpa batas waktu. Korea Utara kemudian
tumbuh menjadi negara komunis di bawah payung Uni Soviet pada Perang Dingin.
Hingga akhirnya Uni Soviet pecah pada tahun 1991, hal ini membuat Korea Utara
harus melindungi negaranya sendiri. Pyongyang mengukuhkan diri sebagai negara
pengembang nuklir demi menjaga wilayahnya agar musuh-musuh mereka seperti Korea
Selatan hingga Amerika Serikat tidak menganggap sebelah mata terhadap mereka.
Sejarah nuklir Korea Utara sendiri mulai terbentuk ketika
sang founding father, Kim Il-sung,
yang merupakan gerilyawan anti-Jepang pada masa pendudukan Jepang, menjadi
saksi mata bom atom Amerika Serikat yang meluluh lantakkan kota Hiroshima dan
Nagasaki pada Agustus 1945, sekaligus membuat Jepang menyerah terhadap Amerika
Serikat dan menandai berakhirnya World
War II dengan kemenangan tentara sekutu.[2]
Setelah Korea Utara merdeka dan setelah berakhirnya Perang Korea, barulah Kim
membangun program nuklir dengan bantuan Uni Soviet. Mereka saling bertukar
ilmuwan nuklir dengan Uni Soviet. Namun pada akhir 1960an dan awal 1970an, Uni
Soviet dan China, yang juga merupakan sekutu Korea Utara dalam pengembangan
nuklir mengalami perpecahan, Pyongyang menghendaki adanya self-determination dalam membangun program nuklirnya tanpa bantuan
siapapun. Mereka berniat membangun program tersebut demi menjaga negaranya dari
serangan pihak lain. Apalagi dengan adanya Korea Selatan yang mulai muncul
dengan perekonomian yang meroket tinggi meninggalkan Korea Utara serta bantuan
militer yang diberikan oleh Amerika Serikat terhadap Seoul, sehingga membuat
Korea Utara terancam oleh keberadaan mereka di selatan. Karena inferioritas
perekonomian dan industrialisasi yang tertinggal jauh oleh Korea Selatan, hal
ini membuat Kim berusaha semakin memperbesar arsenalnya dengan senjata nuklir.
Terlebih lagi ketika rezim Mao Zedong di China berakhir, China mulai
meninggalkan ekonomi sosialis dan blok komunis mulai hancur secara perlahan,
Kim berusaha untuk membuat bom untuk kepentingan self-defense.[3]
II. Landasan Konsep
Decision Making Process
Secara teoritis, ada tiga elemen utama
yang menentukan politik luar negeri suatu negara: sistem internasional, sistem
politik domestik, dan aktor pengambil keputusan politik luar negeri. Ketiga
elemen tersebut merupakan input yang menentukan output (kebijakan) dan outcome
(implementasi) politik luar negeri.[4] Foreign Policy Decision Making merupakan
pilihan yang dibuat oleh individu, kelompok, dan koalisi untuk negara mereka
dalam menghadapi tantangan dunia internasional. Foreign Policy Decision tersebut dapat disebabkan oleh beberapa
hal, yaitu: Decision Environment, Psycological
Factors, International Factors, dan Domestic
Factors.[5]
Dalam kasus kebijakan nuklir Korea
Utara, Foreign Policy Decision mereka
terbentuk karena adanya dunia internasional, dalam konteks ini adalah
negara-negara di regional Asia Timur
(dimana terdapat negara-negara berkekuatan ekonomi yang jauh lebih kuat
dibanding Korea Utara, seperti Jepang, Korea Selatan, dan China) dan Amerika
Serikat sebagai pihak luar, berusaha mengancam Korea Utara dengan Soft Power yang dimiliki oleh
tetangganya ataupun Hard Power yang
diperlihatkan Amerika Serikat dengan invasi-invasi militer sebagai bentuk
intervensi kemanusiaan. Kebijakan sistem internasional atau kebijakan negara lain
tersebut membuat Korea Utara tersudut dan memilih melanjutkan program nuklirnya
sebagai bentuk Foreign Policy mereka.
Program nuklir tersebut digunakan oleh Korea Utara untuk men-deter negara-negara yang menjadi ancaman
tersebut. Kebijakan nuklir itu sendiri merupakan pilihan dari rational actor, dimana yang berperan
sebagai pembuat kebijakan adalah rezim diktator Korea Utara dibawah kekuasaan
dinasti Kim. Mulai dari Kim Il-sung, Kim Jong-il, hingga Kim Il-sung, kebijakan
Korea Utara tetap sama dengan cara mengembangkan nuklir untuk melakukan self-defense bagi negaranya.
Pembuatan kebijakan luar negeri Korea
Utara juga tidak dapat dilepaskan dari International
factors dan domestic factors sebagai
pemicu dinasti Kim membuat kebijakan luar negeri. Dari sisi internasional sudah
dijelaskan bahwa adanya kekuatan-kekuatan ekonomi di Asia Timur dan sikap
Amerika Serikat terhadap Pyongyang merupakan faktor bagi rational actor membuat kebijakan untuk Korea Utara. Sementara
faktor domestik adalah ekonomi Korea Utara yang sudah terkuras habis dengan
pengembangan teknologi nuklir yang membuat rakyatnya kelaparan. Nuklir yang
dibuat Korea Utara adalah untuk menakut-nakuti atau melakukan deterrence terhadap negara-negara Asia
Timur. Korea Utara sering melakukan uji roket salah satunya adalah agar
negara-negara tetangganya memberika bayaran berupa bantuan kepada Korea Utara
sebagai cara agar Korea Utara tidak melakukan ancaman atau melakukan uji nuklir
di wilayah-wilayah yang berdekatan dengan negara mereka masing-masing.
Offense-Defensive Theory
Dalam hubungan internasional antar negara-negara di dunia,
terdapat sistem anarki yang memunculkan situasi dimana satu negara meningkatkan
postur militernya, hal itu membuat keamanan negara lain akan menurun. Negara
yang merasa terancam oleh kekuatan negara lain yang kekuatannya semakin
meningkat akan mengalami sebuah security
dilemma dimana negara yang terancam tersebut harus melakukan pilihan antara
offensive (dengan melakukan ekspansi
militer sebelum negara yang memberikan ancaman itu tiba dan menyerang negaranya)
atau defensive (yakni memilih untuk
bertahan dan memperkuat militernya atau senjata-senjatanya agar bila suatu saat
negara lain menyerang, mereka mampu menahan serangannya). Robert Jarvis dalam
esainya yang berjudul “Cooperation Under
the Security Dilemma” menjelaskan bahwa:
“…, most statesmen held
the reasonable position that weapons that threatened civilians is offensive. But
when neither side can protect its civilians, a counter-city posture is
defensive because state can credibly threaten to retaliate only is response to
an attack on itself or its closest allies.”[6]
Dalam studi kasus Korea Utara dan senjata nuklir yang mereka
modernisasi terus-menerus setiap waktu, menjelaskan bahwa Korea Utara bersikap defensive demi menjaga keamanan negara
dan rakyatnya dari ekspansi militer negara lain. Status ‘axis of evil’ yang diberikan oleh Amerika Serikat membuat mereka
sadar bahwa mereka adalah musuh besar bagi negeri Paman Sam. Pyongyang berusaha
melindungi negara dari ancaman Amerika Serikat dengan memperbesar kekuatan
nuklir. Mereka juga berusaha membuat negara-negara tetangga yang berkemampuan
ekonomi lebih besar agar lebih segan terhadap mereka dengan senjata-senjata
nuklir yang siap diluncurkan jika saja mereka mengusik Korea Utara.
Kebijakan untuk bertahan ini akan terus dipertahankan oleh
Korea Utara agar mereka dapat tetap bertahan hidup dalam hubungan
internasional. Mereka akan tetap dalam kebijakan self defense mereka dengan membangun program nuklirnya terus
menerus, hingga dunia internasional yang anarki menjadi lebih baik, atau
mungkin hingga Amerika Serikat mengubah persepsi mereka bahwa Korea Utara
adalah musuhnya yang perlu dilumpuhkan, serta hingga negeri-negeri di
sekitarnya menyegani mereka dan bukan malah menganggap mereka negara kecil yang
miskin, yang tidak mampu menghidupi rakyatnya.
Deterrence
Realis melihat bahwa sistem internasional adalah anarki,
untuk survive di dunia yang sangat
berbahaya dengan tidak adanya pemerintah yang baik, sehingga harus ada pemimpin
yang mampu membuat keamanan untuk negaranya. Untuk bertahan di sistem
internasional, negara membangun pertahanan guna mengamankan negaranya agar
tidak ada negara yang mungkin akan menginvasi.[7] Deterrence bertujuan untuk menunjukkan
pada musuh untuk tidak melakukan suatu aksi. Kita yang menentukan, berusaha
menunjukkan pada musuh konsekuensi jika mereka bertindak, dan menunggu
(suksesnya deterrence dapat dihitung
dengan apakah sesuatu terjadi); jika musuh “melewati batas” yang telah kita gambarkan, kita akan memberikan
hukuman atas aksi yang mereka lakukan. Deterrence
dianggap sukses bila tidak ada satupun musuh yang memasuki batas suatu
negara. Deterrence is conservative: it
seeks to protect the status quo. Deterrence
sama seperti bertahan atau bisa dibilang menunggu, musuh harus bergerak
menjauh sebelum ada reaksi dari negara yang mempertahankan negaranya.[8]
Korea Utara membangun program nuklir untuk melakukan deterrence kepada lawan-lawannya, baik
yang berada di kawasan Asia Timur ataupun Amerika Serikat. Senjata nuklir yang
dibuat oleh Pyongyang adalah sebuah sarana pertahanan yang digunakan untuk
mengamankan negaranya dan menakut-nakuti Amerika Serikat serta negara-negara
dengan perekonomian maju di sekitarnya. Jika negara-negara tersebut mengusik
Korea Utara, maka senjata nuklir yang dikembangkan oleh Korea Utara akan
meluncur ke negara mereka masing-masing.
III. Pembahasan
Korea Utara adalah negara yang terisolasi, miskin, dan
rakyatnya mengalami kelaparan. Sebuah image
yang telah melekat pada Korea Utara dalam beberapa dekade terakhir,
mengingat bahwa mereka adalah negara yang menutup diri dari hubungan
internasional dengan negara lain, kecuali dengan negara-negara yang merupakan
teman dekatnya seperti Cina. Namun, disamping image sebagai negara miskin, Korea Utara merupakan salah satu
negara yang mempunyai kekuatan militer terbesar di dunia. Senjata militer yang
mereka buat juga bukan untuk keperluan defensif, mereka telah men-setting senjata-senjata mereka untuk
melakukan serangan ke beberapa titik pangkalan musuh. Pasukan militer Korea
Utara diketahui telah menduduki hingga 100 km di sebelah utara DMZ (the demilitarized zone) dan semakin
meningkat jumlah pasukannya 2 dekade terakhir.[9]
Angkatan bersenjata Korea Utara sangat kuat dengan
senjata-senjata berat yang dikendalikan oleh mereka. Pasukannya yang aktif
mencapai 1,1 juta orang dan cadangan yang mencapai 6 juta orang dan dari semua
pasukan tersebut, 90% adalah angkatan darat. Mereka dilengkapi dengan 3.500
buah battle tanks, 3.000 light tanks, dan 12.000 artileri, dan
masih banyak lagi angkatan bersenjata mereka, mulai dari angkatan udara hingga
senjata-senjata yang berada di bawah tanah serta pasukan khusus mereka yang
jumlahnya sekitar 100 ribu pasukan. Dana untuk militer juga sangat besar, 25% (
US$4 billion) dari GDP Korea Utara keluar untuk keperluan ini.[10]
Fakta-fakta tentang angkatan militer Korea Utara menunjukkan bahwa negara ini
tidak bisa dipandang remeh, terlebih oleh negara seperti Amerika Serikat yang
menyebut mereka sebagai salah satu Axis
of Evil. Kekuatan Pyongyang pun tidak hanya itu, program nuklir yang
semakin hari semakin bertambah besar menjadi kekuatan utama Korea Utara.
Nuklir telah menjadi bahan perbincangan sehari-hari seluruh
umat di muka bumi jika berbicara tentang negara yang saat ini dipimpin oleh Kim
Jong-un (cucu pemimpin abadi Korea Utara, Kim Il-sung). Mereka mempunyai senjata nuklir yang sangat
besar dan sempat dilakukan uji coba senjata roket beberapa waktu lalu, meskipun
sempat gagal, mereka merencanakan uji coba bom nuklir selanjutnya.[11]
Uji coba tersebut bertujuan untuk membangun gambaran bahwa Korea Utara
mempunyai senjata yang suatu saat bisa diluncurkan untuk melawan musuh.
Meskipun pada dasarnya, kebijakan self
defense adalah satu hal yang diinginkan Korea Utara.
Uranium sebagai bahan dasar pembuatan nuklir akan semakin
diperkaya, mengingat bahwa Korea Utara tidak ingin menghentikan programnya,
mereka hanya berharap dunia mengerti kalau suatu saat nanti Korea bersatu, maka
Korea akan makmur dengan adanya pembangkit tenaga nuklir. Pyongyang bersikeras
untuk meneruskan proliferasi nuklirnya karena diharapkan dengan adanya nuklir,
dunia akan melihat Korea Utara sebagai negara yang mampu bersaing di kancah internasional.
Memang Korea Utara hanyalah negara kecil, namun dengan adanya nuklir, mereka
akan semakin kuat dan akan mampu membuat dunia menoleh kepada mereka karena kekuatan
mereka yang membuat takut masyarakat dunia.
Beberapa pihak memang telah meminta negeri Kim Il-sung ini
untuk menghentikan programnya, mulai dari Amerika Serikat yang senantiasa
bertindak sebagai polisi dunia, mereka menyatakan bahwa Korea Utara tidak
seharusnya membuat nuklir karena malah akan membahayakan dunia. Seperti pada
April lalu ketika mereka ingin meluncurkan roket ke luar angkasa, masyarakat di
seluruh dunia dibuat ketakutan dengan peluncuran roket yang meskipun akhirnya roket
tersebut hanya meledak di Laut Kuning. Pemerintah Amerika Serikat masih menunggu kepastian dari Korea Utara untuk
serius melucuti senjata nuklir negaranya. Karena
bila hal ini terus dilakukan oleh Korea Utara, maka ditakutkan oleh pihak
Amerika Serikat akan terjadi perang nuklir diantara mereka. Washington telah
mengingatkan Pyongyang untuk bekerjasama dengan mereka dalam melucuti nuklir
agar dapat meyakinkan dunia internasional bahwa tidak akan ada pengayaan
uranium untuk membuat bom nuklir yang mengancam kedamaian di dunia.[12]
Korea Selatan sebagai negara yang berbatasan langsung dengan
Korea Utara, serta sebagai negara yang masih belum mampu diajak berdamai juga
turut mengecam mereka. Seoul menertawakan Korea Utara yang menghabiskan dana
besar hanya untuk melakukan uji nuklir. Diketahui bahwa dana yang dikeluarkan
dalam melakukan uji coba senjata itu mencapai angka US$3,6 Billion atau sekitar
34 triliun rupiah. Dana itu dikeluarkan selama 20 tahun pengembangan senjata
nuklir, termasuk riset pengayaan uranium dan hulu ledak. Korea Selatan
menganggap bahwa Korea Utara hanya menghabiskan uang saja, padahal masih banyak
rakyatnya yang kelaparan. Menurut Direktur Jenderal urusan Perdamaian di
Semenanjung Korea, Kim So-gwon, usai diskusi “2012 Forum on Peace and Security on The Korean Peninsula: Challenges and
Ways Forward” di Jakarta, 28 Mei
2012, dana sebesar itu mampu memberi makan rakyat selama delapan tahun.[13]
Tapi Korea Utara tetaplah Korea Utara, yang tidak mau
berhenti dalam melakukan pengayaan uranium demi kekuatan senjata pemusnah
massalnya. Mereka menganggap ucapan-ucapan dunia internasional tentang nuklir
yang mereka programkan hanyalah bualan belaka. Korea Utara tidak peduli
meskipun rakyatnya berada dibawah garis kemiskinan. Penderitaan rakyat tidak
akan membuat Korea Utara menghentikan risetnya mengenai nuklirnya. Mereka
mempunyai beberapa kepentingan yang membuat mereka tidak mau menyerah dalam
melanjutkan program nuklirnya. Mereka akan terus melakukan modernisasi program
nuklir dengan alasan agar mereka bisa keluar dari bayang-bayang Amerika Serikat
dan negeri Paman Sam bisa mengubah kebijakan luar negerinya terhadap Pyongyang.
Dalam memorandum Kemenlu Korea Utara, disampaikan bahwa
negara ini tengah mengembangkan persenjataan nuklir sebagai upaya pertahanan
diri dari tudingan Washington. Selama ini, Amerika Serikat tiada hentinya
menyuarakan bahaya nuklir Korea Utara terhadap negera-negara Barat dan
aliansinya.
“Senjata nuklir kami akan terus dimodernisasi dan dikembangkan hingga jauh di luar bayangan Amerika Serikat,” demikian pernyataan Korea Utara seperti dilansir AFP, Jum’at, 31 Agustus 2012.[14] Mereka tidak akan mengubah pendiriannya untuk tetap melindungi diri mereka sebagai konsep kebijakan luar negeri mereka dan akan terus mengupayakan pengayaan uranium hingga Amerika Serikat mau mengubah kebijakan luar negerinya tentang negara komunis Korea Utara yang menganggap bahwa Korea Utara adalah musuh mereka.
“Senjata nuklir kami akan terus dimodernisasi dan dikembangkan hingga jauh di luar bayangan Amerika Serikat,” demikian pernyataan Korea Utara seperti dilansir AFP, Jum’at, 31 Agustus 2012.[14] Mereka tidak akan mengubah pendiriannya untuk tetap melindungi diri mereka sebagai konsep kebijakan luar negeri mereka dan akan terus mengupayakan pengayaan uranium hingga Amerika Serikat mau mengubah kebijakan luar negerinya tentang negara komunis Korea Utara yang menganggap bahwa Korea Utara adalah musuh mereka.
Pyongyang terlihat sangat takut dengan momok Amerika Serikat
yang mengancam mereka. Mereka takut kalau nantinya akan nada invasi militer
Amerika Serikat yang sudah mereka lihat di Afghanistan dan Irak, dua negara
yang pernah dilabeli ‘evil’ oleh
Amerika Serikat, julukan yang saat ini melekat pada mereka. Dengan adanya
senjata nuklir, Korea Utara dapat meminimalisir agresi militer Amerika Serikat
ke bagian utara semenanjung Korea. Mereka mengusahakan agar Korea Utara
terlepas dari konfrontasi militer dengan Amerika Serikat. Pyongyang juga ingin survive dalam percaturan dunia
internasional.
Selain untuk lepas dari bayangan Amerika Serikat, self defense juga diterapkan Korea Utara
untuk melakukan arms race dengan
negara-negara tetangga dalam East Asian Regional yang
perekonomiannya jauh meninggalkan mereka. Konsiderasi mereka dengan semakin
menjulang tingginya perekonomian negara-negara seperti Jepang, Cina, dan Korea
Selatan adalah kekuatan nuklir mereka diharapkan mampu bersaing dengan
negara-negara dengan ekonominya yang sangat maju dan Korea Utara sadar bahwa
mereka tidak mempunyai kekuatan ekonomi yang luar biasa seperti negara-negara
di wilayah Northeast Asia lainnya. Korea Utara pun sangat berharap bantuan dari
negara-negara tetangganya yang pasti sangat terancam dengan adanya nuklir Korea
Utara, sehingga mereka akan bersedia membayar Korea Utara sebagai cara agar
Korea Utara tidak melakukan uji nuklir di wilayah Asia Timur.
IV. Kesimpulan
Korea Utara menjadi negara yang disegani berkat nuklir yang
mereka buat. Nuklir menjadi satu kekuatan utama Pyongyang untuk dapat
berkompetisi di dunia internasional. Sebagai negara kecil dan sebagian besar
penduduknya berada dibawah garis kemiskinan, negara ini terlihat tidak
mempunyai kapabilitas yang mumpuni, namun dengan adanya nuklir yang
sewaktu-waktu bisa mereka ledakkan, dunia menjadi lebih segan terhadap mereka. Meski
banyaknya kecaman-kecaman dari dunia internasional, mereka tetap menjalankan
misi meningkatkan kekuatan nuklir mereka sendiri.
Bagi Korea Utara, nuklir saat juga telah menjadi kekuatan tersendiri
bagi Korea Utara dalam menghadapi negara-negara big power macam Jepang, Korea Utara, hingga Amerika Serikat. Mereka
mampu berkompetisi dengan negara-negara dengan angka kemakmuran yang sangat
tinggi dengan nuklir yang mereka miliki. Senjata pemusnah massal ini juga
merupakan senjata untuk self defense mereka
agar tidak terkena serangan militer dari Amerika Serikat yang menganggap negara
ini sebagai salah satu axis of evil.
Kebijakan luar negeri mereka dengan menumpuk uranium sebagai bahan dasar
pembuaatan nuklir akan tetap dilangsungkan, demi kepentingan negara dan
rakyatnya agar dapat survive dalam
kompetisi dengan negara-negara lain di dunia.
[1] Ilpyong J. Kim.
2003. Historical Dictionary of North
Korea. Scarecrow Press, Inc. Oxford.
[2] Linus Hagstrom dan
Marie Soderberg. 2006. North Korea Policy,
Japan and Great Powers. Routledge.
New York. Page 36
[3] Ibid
[4] Erik Faripasha S. Faktor
Eksternal Dan Faktor Domestik Dalam Pembuatan Kebijakan Luar Negeri Indonesia
Mengenai Lingkungan Hidup Era Susilo Bambang Yudhoyono
[5] Alex Mintz dan Karl
DeRouen Jr. 2010. Understanding Foreign
Policy Decision Making. Cambridge University Press. Cambridge. Hal 3-4
[6] Robert Jarvis. 2008.
Cooperation Under the Security Dilemma.
The Johns Hopkins University Press. Hal 41
[8] Branislav L. Slantchev. 2005. Introduction to International Relations
Lecture 8: Deterrence and Compellence. University of California. San Diego
hal 3
[9] Michael O'Hanlon dan
Mike M. Mochizuki. 2003. Crisis on the
Korean Peninsula, How to Deal with A Nuclear North Korea. A Brookings
Institution Book. New York.
[10] Ibid
[11]
Roket Gagal, Korut Siapkan Nuklir
dalam http://internasional.kompas.com/read/2012/04/14/09333619/Roket.Gagal.Korut.Siapkan.Nuklir
diakses pada tanggal 23 Oktober 2012
[12]
AS Minta Korut Lucuti Nuklirnya dalam http://www.republika.co.id/berita/internasional/global/12/10/03/mbauo2-as-minta-korut-lucuti-nuklirnya
diakses pada tanggal 23 Oktober 2012.
[13]
Dana Nuklir Korut Bisa 8 Tahun Hidupi Rakyat dalam http://dunia.news.viva.co.id/news/read/317877-dana-nuklir-korut-setara-makan-rakyat-8-tahun
diakses pada tanggal 24 Oktober 2012
[14] Korut Bersumpah Terus
Kembangkan Senjata Nuklir Hingga AS Melunak dalam http://news.detik.com/read/2012/08/31/182842/2004787/1148/korut-bersumpah-terus-kembangkan-senjata-nuklir-hingga-as-melunak diakses pada tanggal 24 Oktober 2012
Tidak ada komentar:
Posting Komentar