“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

REKONSILIASI KONFLIK DAN PERLINDUNGAN HAM DI RWANDA (pada masa kepemimpinan Paul Kagame)

Oleh: Eni Nurul C., Waidatun Hasanah, Dwi A. Latief, Erny Handy Arsy, Aditya Maulidana                     

Pendahuluan

Berkembangnya isu isu global yang semakin kompleks, begitu pula seiring dengan perkembangan zaman, pergeseran studi kemanan yang pada awalnya lebih berfokus pada kontra ideologi bernuansa militer, kini berubah menjadi semakin beraneka ragam yang di tandai munculnya beberapa isu baru global antara lain masalah ekonomi, lingkungan hidup, energi, pangan dan HAM. Isu isu baru tersebut tentu saja bisa memicu munculnya beberapa ancaman, baik dari luar maupun dari dalam suatu negara. Terlebih jika ancama itu berasal dari dalam maka stabilitas suatu negara akan lebih terlihat lemah di mata dunia dan mampu menghancur leburkan satu negara yang seharusnya mampu berdiri kokoh dan berdaulat. Banyak di antaranya yang bercampur-baur dengan konsep-konsep identitas, bangsa, dan nasionalisme, serta kebanyakan berakar pada persaingan untuk memperebutkan sumber daya, pengakuan dan kekuasaan. Meskipun konflik-konflik itu tampak berbeda satu sama lain pada dasarnya ada kesamaan isu kebutuhan yang tak terpenuhi, dan pentingnya mengakomodir kepentingan mayoritas dan minoritas.[1]
HAM menjadi agenda yang sangat penting, karena hal ini berkaitan dengan masalah kelangsungan hidup suatu individu. Terdapat banyak sekali kasus kasus yang terjadi berkaitan dengan pelanggaran HAM antara lain konflik SARA, yang kebanyakan menimbulkan suatu pembantaian besar besaran yang memakan banyak korban yang dilakukan dengan sengaja, sangat sadis dan terencana. Salah satunya yaitu pembantaian Rwanda yang hampir menelan korban kurang lebih 800.000 ribu jiwa.
Dari isu HAM di Rwanda menandakan bahwa ternyata tidak hanya sekumpulan aktor negara saja yang mewarnai berbagai isu global, tetapi ada juga aktor lain non negara yang menonjol dan turut mewarnai isu global dalam percaturan dunia politik tampak sekali seperti keberadaan interhamwe yang sangat aktif menyorakan pemusnahan terhadap pohon tinggi (suku tutsi ) Sebagai usaha untuk penegakan harga diri manusia dan keadilan sosial pastinya ini menjadi agenda yang sangat penting, karena faktanya HAM hadir sebagai bagian dari agenda politik dunia. Tetapi sepertinya menjadi hal lain ketika Konflik SARA yang terjadi di Rwanda pada tahun 1994, ketidak sewajaran terjadi karena seolah olah bantuan untuk menghentikan konflik sangat bmeprihatinkan, hampir tidak ada campur tangan yang mengalir, adapun campur tangan dari PBB pun sepertinya belum tentu sepenuhnya mampu menghentikan ekstremis HUTU untuk melancarkan seranganya.
Terletak di pusat Afrika, Republik Rwanda berbatasan dengan Uganda di sebelah utara, Tanzania untuk timur, Republik Demokratik Kongo ke barat, dan Burundi ke selatan. Meskipun wilayahnya kecil, Rwanda memiliki kepadatan penduduk tinggi dengan arus komposisi penduduk yang 84 persen Hutu, 15 persen Tutsi, dan 1 persen TWA.[2] Rwanda merupakan salah satu negara yang terletak di Afrika tengah dan meraih kemerdekaanya pada tanggal 1 Juli tahun 1962. Rwanda merupakan bekas jajahan Jerman dan pada akhirnya jatuh di tangan Belgia. Negara ini mulai menjadi sorotan beberapa negara di dunia ketika pada tahun 1994 puncaknya setelah tertembaknya presiden Rwanda Juvenal Habyariman telah terjadi pembantaian besar besaran yang menyeruak di daratan Rwanda tersebut, konflik antar etnis yang tidak bisa di hindari dan memanasnya hubungan antar etnis terutama hutu dan tutsi yang mengakibatkan jatuhnya korban kurang lebih 800.000 jiwa. Konflik ini dipicu ketika terbentuknya RPF pada tahun 1990 an sebagai aksi pemberontakan terhadap pemerintah. Disisi lain ekstremis HUTU yang bisa dikatakan menguasai pemerintahan pun merasa tergerak dan tertantang akan keberadaan RPF, sementara gencatan senjata juga sempat terjadi namun alhasil konflik yang sebenarnya tengah berlangsung jauh sebelum tahun 1994  itu, akhirnya berkobar tepat selama seratus hari.. Dibelahan dunia lain pun juga terjadi hal demikian, seperti peristiwa holocaust dimana Hitler tampil sebagai sutradaranya. Walaupun demikian pembantaian di Rwanda merupakan salah satu pembantaian yang menelan korban yang lebih banyak.
Konflik ini lah yang akhirnya memporak porandakan negara yang hanya terdiri 3 etnis ini. Sangat tragis mengingat banyak sekali korban jiwa akibat pembantaian liar oleh sekelompok militan hutu tersebut. kecemburuan yang terjadi antar suku tersebut menjadikan Rwanda tidak stabil, dan parahnya perhatian dunia internasional pun terasa minim, walaupun setidaknya PBB juga ikut campur tangan dalam masalah ini, tetapi anehnya negara negara besar seperti Amerika Serikat yang selalu mengobarkan nama demokrasi pun seakan tutup mata dan terlihat tidak tahu menahu bagaimana brutalnya tindakan tindakan yang dilakukan militan Hutu yang tidak manusiawi di negara tersebut.
            Konflik etnis yang kental ini sepertinya berakar kuat pada rasa dendam, masing masing etnis pun tetap bersitegang, bahkan sebelum tahun 1994 tepatnya saat terjadi pembantaian suku tutsi dan hutu moderat oleh ekstremis HUTU, konflik sudah sering terjadi diantara kedua kubu tersebut. kebencian dan dendam yang mendalam antara dua etnis tersebut yang selalu mengobarkan bendera permusuhan dan menggoncangkan stabilitas Rwanda, terlihat sulit sekali usaha mempersatukan dua etnis yang sama sama ingin menduduki tampuk pemerintahan hal itu mulai dari genjatan senjata yang terbukti ketika terjadi pembunuhan presiden Rwanda juvenal Habyariman ketika ingin mempersatukan dua etnis tersebut. selain itu kondisi perlindungan HAM di Rwanda terlihat kabur dan tidak ada kepastian, konflik yang mengakibatkan pertumpahan darah yang seharusnya dapat dihindari menjadi semakin merajalela karena tidak ada hukum tegas yang berlaku yang mampu menjunjung tinggi HAM di Rwanda. Penegakan HAM di Rwanda kiranya menjadi sangat penting, berkaitan dengan konflik yang terjadi upaya rekonsiliasi tentunya mampu menjadi benih harapan integrasi untuk bangsa tersebut untuk keutuhan dan keberlangsungan stabilitas bagi Rwanda.
Walaupun telah banyak penelitian yang sangat baik tentang bagaimana menciptakan perdamaian dalam masyarakat yang terpecah belah, tetapi tetap dibutuhkan adanya saran-saran praktis kepada para pembuat keputusan mengenai cara merancang dan memfungsikan katup-katup demokrasi agar perdamaian tetap terjaga. Konflik adalah bagian yang wajar dari sebuah masyarakat yang sehat, tetapi yang menjadi perhatian penting dalam tahun-tahun terakhir ini adalah pada bagaimana mencegah konflik, dan bukan lagi pada mencari cara-cara damai dalam pengelolaan konflik. Khususnya, perhatian lebih perlu diberikan kepada tipe pilihanpilihan politik - yang dibutuhkan pihak-pihak yang bernegosiasi untuk mengakhiri periode konflik tajam – dalam usaha membangun kembali negara mereka, dan bagaimana mereka bisa membangun demokrasi yang tahan lama – yang merupakan satu-satunya bentuk pemerintahan yang berkelanjutan – dari reruntuhan akibat konflik.[3]
Konflik yang menewaskan ratusan ribu orang di Rwanda ini menandakan bahwa lemahnya sistem konstitusi domestik disana karena tidak mampu memberikan jaminan pada HAM, sehingga saling menguasai dan melukai satu sama lain terus berlanjut.
RUMUSAN MASALAH
Sehubungan dengan permasalahan yang penulis utarakan dilatar belakang tersebut diatas maka rumusan masalah penelitian ada beberapa poin yang akan menjadi topik masalah dalam paper ini adalah :
a.       Apa penyebab meletusnya genosida besar besaran terhadap tutsi dan hutu moderat oleh ekstremis HUTU?
b.      Adakah upaya penyelesaian konflik pada masa Presiden Juvenal Habyarimana?
c.       Bagaimana perlindungan HAM dan adakah upaya rekonsiliasi konflik Rwanda, pada masa presiden Paul Kagame?
Konsep dan Landasan Teori
1.      Konflik
Secara umum konflik merupakan suatu keadaan yang kontras, terjadi akibat adanya ketidak cocokan serta ketidakserasian tujuan. Ramainya panggung politik banyak sekali diwarnai dengan persaingan yang ketat oleh beberapa subjek /pelaku dunia politik untuk mencapai kepentingan mereka masing masing. Perbedaan tujuan inilah yang bisa dikatakan sebagai bibit munculnya suatu konflik. Dalam usaha mancapai kepentingan tersebut tak ubahnya berbagai upaya dilakukan masing masing subjek, yang pada akhirnya ini lah yang dikatakan sebagai suatu kompetisi. Ketika ambisi masing masing itu menjadi kuat, akhirnya munculah benturan benturan yang tidak terhindarkan.
 Menurut lewin konflik  adalah suatu keadaan dimana ada daya-daya yang saling bertentangan arah, tetapi dala kadar kekuatan yang kira-kira sama.[4]

Sedangkan menurut Dahrendorf konflik dibedakan menjadi 4 macam[5]
·         Konflik anatar atau dalam peran social (intrapibadi), misalnya antara peranan-peranan dalam keluarga atau profesi
·         Konflik antara kelompok-kelompok social (antar keluarag, antar gank)
·         Konflik kelompok terorganisir dan tidak terorganisir (polisis melawan massa)
·         Konflik antar atau tidak antar agama/ ras
·         Konflik antar politik
Sehingga disini dapat disimpulkan bahwa sebab-sebab terjadinya konflik yaitu perbedaan. Perbedaan Kepentingan itu akan sama sama diperjuangkan dan pastinya kepentingan itu akan terlaksana jika berani dan siap untuk memperjuangkannya apapun resiko yang akan dihadapi baik melalui suatu pertikaian yang sengit sekalipun. Hoogerwerf atau Greer dan Orleans sebagaimana dijelaskan Surbakti melihat bahwa pada dasarnya politik selalu mengandung konflik dan persaingan kepentingan.[6]
Dari uraian di atas , dapat kita pahami bahwa konflik dirwanda merupakan salah satu dari konflik(……………) dimana..orang..() merasa termarginalkan dibandingkan dengan dominasi etnis(), maka hal ini wajar jika ()selalu mengejar hak-hak dan kepentingan etnisnya yang merasa tidak dipenuhi.
Disisi lain George Simmel dalam Conflict and the Web of Group Affiliations (1964:15,24) menjelaskan bahwa setiap individu tidak akan mempunyai keutuhan pribadi hanya dengan melalui keserasian belaka, tapi mereka kadang kadang harus mendapatkan keutuhan melalui pertikaian dan konflik konflik.[7] Tipe konflik di Rwanda adalah satu konflik etnis yang berkepanjangan.
2.      Genocide
Secara umum genocide bisa di artikan sebagai tindakan yang dimaksdukan untuk dengan menghancurkan memusnahkan sebagian/seluruh kelompok. Genosida seperti yang didefinisikan oleh PBB pada tahun 1948 adalah salah satu dari tindakan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan, secara keseluruhan atau sebagian, suatu, etnis, ras atau kelompok agama nasional.[8] Istilah genosida ini pertama kali di perkenalkan oleh Raphael Lamkin seorang pengacara Polandia pada tahun 1943.
Menurut Lemkin Genocide itu terdiri dari:
Rencana tindakan terkoordinasi yang berbeda mengarah pada kehancuran fondasi penting dari kehidupan kelompok nasional, dengan tujuan menghancurkan kelompok itu sendiri. tujuan dari rencana tersebut agar terjadi disintegrasi dari lembaga-lembaga politik dan sosial, budaya, bahasa, rasa nasionalisme, agama, dan keberadaan ekonomi kelompok-kelompok nasional dan penghancuran keamanan pribadi, kebebasan, kesehatan, martabat /harga diri, dan bahkan kehidupan individu milik kelompok tersebut. genosida ditujukan terhadap kelompok nasional sebagai suatu entitas, dan tindakan yang terlibat diarahkan terhadap individu, bukan berarti dalam kapasitas  tidak nama mereka, tetapi sebagai anggota kelompok nasional.[9]
3.      Rekonsiliasi

Idealnya rekonsiliasi mencegah penggunaan masa lalu sebagai benih konflik baru. Ini mengkonsolidasikan perdamaian, memutus siklus kekerasan dan memperkuat baru didirikan atau diperkenalkan kembali lembaga demokrasi. Sebagai suatu operasi yang melihat ke belakang, rekonsiliasi membawa tentang penyembuhan pribadi para korban, perbaikan ketidakadilan masa lalu, bangunan atau membangun kembali non-kekerasan hubungan antara individu dan masyarakat, dan penerimaan oleh pihak mantan konflik yang dari visi dan pemahaman tentang masa lalu. Dalam memandang dimensi ke depan, rekonsiliasi berarti memungkinkan antara korban dan pelaku untuk melanjutkan hidup bersama dan, pada tingkat masyarakat, pembentukan partai politik yang beradab, dialog dan pembagian kekuasaan yang memadai.[10]
Rekonsiliasi sebagai bentuk resolusi konflik (conflict resolution) akhir-akhir ini menjadi sangat popular, terutama setelah kasus afrika selatan dengan komisi kebenaran dan rekonsiliasinya (truth and reconciliation commision), dianggap cukup berhasil. Rekonsiliasi dapat di anggap sebagai bagian atau satu cara untuk menuntaskan konflik, dalam hal ini rekonsiliasi diperlukan persoalan persoalan pasca konflik dapat di tuntaskan.[11]
4.      Demokrasi
Demokrasi subsatantif: pendekatan normatife-minimalis
Karena diilhami banyak tradisi pemikira, pendekatan klasik-normatif memaknai dan mngukur demokrasi secara maksimalis dengan memasukan dimensi-dimensi non politik (sosial,ekonomi,dan budaya). Kebebasan  sebagai esensi dalam demokrasi, tidak  hanya diterjemahkan sebagai kebebasan politik (berbicara,memilih, berkumpul,berorganisasi) tetapi juga kebebasan sosia-ekonomi (terbebas dari ketidak adilan, kemiskinan,kemelaratan,kebodohan, keterbelakangan, dan sebagainya.)[12]
Pembahasan

a.      Apa penyebab meletusnya genosida besar besaran terhadap tutsi dan hutu moderat oleh ekstremis HUTU?
 Dua elemen penting yang erat kaitanya dengan keberadaan stabilitas suatu negara biasanya titik fokusnya terletak pada faktor eksternal dan faktor internal. Faktor ekstrenal yang biasanya di pengaruhi baik buruknya hubungan satu negara dengan negara lain juga menjadi hal penting mengingat nilai tawar dan posisi suatu negar di dunia internasional untuk dipertahankan. Disi lain faktor internal dewasa ini juga bisa menjadi hal serius untuk di amati. Juastru faktor internal yang terkadang menjadi sulit untuk di atasi, antara lain ancaman ancaman dari faktor internal yang pada umumnya kurang menjadi perhatian sehingga merusak tatanan stabilitas suatu negara.
Dalam tahun-tahun terakhir jenis konflik baru menjadi semakin mengemuka: konflik yang terjadi di dalam wilayah negara, atau konflik dalam negara, dalam bentuk perang saudara, pemberontakan bersenjata, gerakan separatis dengan kekerasan, dan peperangan domestik lainnya. Perubahannya berlangsung secara dramatis: dalam 3 tahun terakhir, misalnya, setiap konflik bersenjata yang besar berasal dari level domestik dalam negara, dan bukan antara negara. Dua elemen kuat seringkali bergabung dalam konflik seperti ini. Yang pertama adalah identitas: mobilisasi orang dalam kelompok-kelompok identitas komunal yang didasarkan atas ras, agama, kultur, bahasa, dan seterusnya. Yang kedua adalah distribusi: cara untuk membagi sumber daya ekonomi, sosial dan politik dalam sebuah masyarakat.[13]
Berkaitan dengan meletusnya genosida oleh HUTU ektremis, pembahasan kali ini di awali dengan flashback sebelum pecahnya aksi genocide oleh ekstremis HUTU. Sejarah singkat menyatakan bahwa dari awal perebutan kekuaasaan antara hutu dan tusti telah berlangsung lama. Aksi yang di dasari rasa emosional oleh masing masing pihak ini salah satunya dilatar belakangi karena adanya beberapa keburukan yang terjadi ketika pihak pemegang kekuasaan melakukan kecurangan antara lain korupsi. Konflik yang mengakar ini sering memanas aksi pertentangan yang di iringi kekerasan kerap sekali terjadi sampai negara ini memperolah kemerdekaanya
Sejarah perselisihan etnis antara minoritas Tutsi dan Hutu Mayoritas menyebabkan serangkaian konflik sebelum 1994. Sebelum kemerdekaan pada tahun 1962, kekerasan yang parah terjadi pada tahun 1959 antara Tutsi kemudian berkuasa dan mayoritas Hutu. Kekerasan etnis meletus lagi tak lama setelah kemerdekaan pada bulan Desember 1963, dengan diperkirakan 20.000 orang Tutsi dibunuh oleh orang Hutu. Selama awal tahun 1970 konflik etnis muncul kembali dengan Mayor Umum Juvenal Habyarimana memimpin kudeta pada tahun 1973 untuk mendirikan Republik Kedua. Habyarimana menjadi presiden dan menghentikan semua kegiatan politik lainnya.[14] Situasi ini semakin diperparah ketika pendudukan kolonial oleh Belgia.
Belgia mengambil Rwanda dengan kekerasan pada pertengahan 1916, adalah diberikan pemerintahan oleh Perjanjian Versailles di 1919, dan secara resmi dikonfirmasi sebagai kolonial wewenang oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tahun 1924. Dari 1924 sampai 1962, Rwanda diatur sebagai suatu Liga, dan kemudian sebagai protektorat PBB. Belgia menemukan kesulitan untuk memahami dan mengelola organisasi politik pribumi, sehingga mereka mengatur tentang reformasi sistem, mengurangi jumlah kepala, menyederhanakan sistem, dan menyingkirkan penguasa Hutu dari kekuasaan. Yakin bahwa mereka memerintah kasta ras terpisah dikelompokkan berdasarkan bakat, yang Belgia ideologi diumumkan bahwa Tutsi secara rasial penyerbu superior dan alam penguasa Rwanda. Akibatnya, Belgia mengatur tentang mendidik kader administrator lokal Tutsi aristokrat keturunan, dengan menggunakan kriteria ras dan kelas untuk memilih kader ini, dan menyingkirkan penguasa Hutu dari kekuasaan politik.[15] Dan ketika Rwanda mendekati hari kemerdekaanya, Belgia berbalik arah ke HUTU, dan memberikan kekuasaan kepada HUTU, lalu lahirlah Revolusi HUTU.
Revolusi Hutu dari 1959-1960 paksa ratusan ribu Tutsi ke pengasingan di negara-negara tetangga. Pengungsi ini membentuk inti dari kekuatan yang akan terlibat dalam perjuangan 30 tahun terhadap pemerintah Hutu Rwanda. Sementara itu, Presiden Kayibanda dan sekutu-sekutu politiknya Hutu dari Rwanda selatan dan barat bekerja untuk mengkonsolidasikan kekuasaan mereka. Utara Hutu, yang telah dimasukkan ke dalam monarki Tutsi selama era kolonial, diadakan sedikit kekuasaan dalam pemerintahan Kayibanda.[16] Disisi lain Belgia mulai menyimpang dari pro TUTSI dan berganti ke pro HUTU. Sampai di di wilayah pengungsian di negara tetangga pun tutsi masih di kejar oleh hutu, dan salah satu nya terjadi di Burundi (negara tetangga rwanda). Di pihak oposisi menganggap revolusi yang terjadi di bawah kepemimpinan kayibanda ini di anggap tidak di tangani secara baik. Setelah itu Juvenal Habyarima pun tampil menggeser posisi Kayibanda dengan kudeta pada tahun 1973. Pada pemerintahannya Juvenal juga mengalami situasi yang serius. Pada tahun 1989, runtuhnya kopi harga di pasar dunia membawa bencana ekonomi untuk petani kecil Rwanda petani-dan melaju banyak ambang keputusasaan, terutama dalam kepadatan penduduk daerah.[17] Pada tahun 1990 para pengungsi tutsi menghimpun kekuatan untuk melakukan invasi ke Rwanda, himpunan kekuatan yang bernama RPF dibawah pinpinan Paul Kagame mulai mendesak Rwanda dan bergerak dari Uganda. Pada akhirnya upaya mengganti kepemimpinan partai tunggal di upayakan oleh Juvenal Habyarimana atas desakan RPF yang menginkan adanya keterlibatan TUTI dalam pemerintahan.
Akhirnya puncak pemicu konflik besar mulai muncul ketika pada tahun 1994 Presiden Juvenal Habyariman tewas terbunuh lantaran berusaha mewujudkan piagam Arusha, piagam inilah yang berisikan keikutsertaan HUTU dan TUTSI dalam pengelolaan pemerintahan. Upaya Presiden Juvenal Habyariman untuk menanam benih perdamaian dengan menyatukan etnis etnis yang berseteru tersebut tampaknya tidak disukai oleh beberapa pihak. Tidak lama kemudian setelah presiden Juvenal Habyarimana terbunuh, seketika suasana pelik langsung terjadi, berbagai letusan terdengar tak lama setelah Juvenal Habyariman dibunuh.
Daya ekstrimis Hutu menggunakan sistem informasi yang efektif publik, terutama melalui Radio Mille Collines, untuk menghasut penduduk Hutu untuk genosida. [18] Ektremis HUTU pun berusaha membakar semangat semua etnis HUTU untuk mengahabisi seluruh  TUTSI dan HUTU moderat. Melalui salah satu Radio RTLM (Radio Television Libre des Mille Collines) yang biasa mereka sebut hutu power radio. Ektermis HUTU terus berusaha mempengaruhi mayoritas etnis HUTU agar menolak tutsi, dan membenarkan bahwa Juvenal Habyariman meninggal akibat ulah TUTSI. Sebelum terjadi pembunuhan Juvenal Habyarimana pun radio ini sudah menyulut semangat anti tutsi kepada seluruh etnis HUTU. Aksi kekerasan HUTU etremis mulai menyeruak ke beberapa wilayah di Rwanda yang kurang lebih menewaskan 800.000 juta jiwa yang terkenal sebagai genosida Rwanda yang tepatnya terjadi pada tahun 1994.
b.      Upaya penyelesaian konflik pada masa Presiden Juvenal Habyarimana
Fakta bahwa demokrasi dapat membawa kemakmuran dan perdamaian memang tidak diragukan lagi. Sebagai contoh tidak adanya negara negara demokrasi yang saling berperang adalah sisi positif implikasi yang ditimbulkan oleh demokrasi. Namun sebaliknya adanya fakta bahwa demokrasi juga menimbulkan konflik yang berlatar belakang suku, agama, ras, dan antar golongan (SARA) juga bukan hal yang mudah di pungkiri.demokrasi ibarat pedang bermata dua : membawa petaka atau berkah yang di kandungnya.[19] Seperti halnya upaya yang dilakukan di Rwanda oleh Presiden Juvenal Habyarimana yang berusaha untuk menyatukan etnis etnis yang sedang bertikai di Rwanda (HUTU vs TUTSI). Rencana yang salah satunya di picu oleh lobi dan desakan FPR itu akhirnya berusaha untuk dipertimbangkan oleh Habyarimana. Rencana penyatuan ini sebenarnya sudah di rancang pada tahun 1993 yang tertuang dalam piagam Arusha (Arusha Accord), sebelum meletusnya genosida pada tahun 1994 di negara tersebut. alhasil seprtinya uapaya demokrasi yang akan ditorehkan berada dalam kondisi belum terlalu matang.
Petaka terjadi apabila demokrasi berlangsung secara tanggung. partisipasi politik massa meningkat, kebebasan berpendapat luas, dan pers nyaris bebas lepas, sementara lembaga yang mengatur kehidupan sipil belum cukup mapan dan elite politik merasa terancam dengan adanya demokratisasi.[20] Terlihat pada tahun 1994, saat kepemimpinan Juvenal semakin terpuruk dari segi ekonomi, upaya yang dia lakukan untuk proses pengintegrasian etnis etnis Rwanda berada dalam situasi pelik. Mayoritas Ektremis HUTU menyerukan suaranya yang dengan leluasa menghasut para milisi hutu, dan seluruh etnis hutu melalui saluran radio RTML secara bebas lepas. sementara itu disisi lain beberapa elite politik salah satu diantaranya G. Rutaganda mungkin merasa terancam akan keputusan presiden Juvenal Habyariman, yang berusaha mempersatukan hutu-tutsi, dan menghapus sitem pemerintahan satu suku itu. hal ini jelas sekali bahwa hutu ektremis tidak setuju dengan keputusan presiden mereka sendiri. dan pada akhirnya meletuslah genosida di Rwanda pada tahun 1994.

c.       Bagaimana perlindungan HAM dan adakah upaya rekonsiliasi konflik Rwanda, pada masa presiden Paul Kagame?
Datangnya FPR ke Rwanda dan mengambil alih Kigali, membuat sebagian besar sekitar 2 juta hutu melarikan diri keluar Rwanda. Secara resmi paul kagame menjadi presiden pada tahun 2000.
Gelombang lebih tinggi keberangkatan terjadi pada awal tahun 2000. Episode ini bergejolak menahan masyarakat sipil, sementara kelompok hak asasi manusia menjadi subjek tekanan dan kooptasi oleh pemerintah. Selama dekade pertama kekuasaannya, RPF yang dipimpin pemerintah memperkenalkan banyak reformasi, yang spektakuler inovatif. Pada tahun 2002 pemerintah menghidupkan kembali sistem peradilan tradisional partisipatif, dikenal sebagai gacaca, untuk mempercepat persidangan dari mereka yang dituduh berpartisipasi dalam genosida. Ini percobaan ambisius, bagaimanapun juga ternyata percobaan itu lambat, tidak populer, dan terhambat oleh tidak adanya hakim yang terlatih.[21] Disilain untuk proses penyembuhan konflik Rwanda peran perempuan semakin bertambah.
Dalam peranannya sebagai agen peacebuilding pasca Genosida 1994, perempuan berperan besar dalam beberapa bidang utama. Diantaranya dalam bidang Politik, Sosial dan Ekonomi. Usaha mereka dalam merekonstruksi negaranya didukung penuh oleh pemerintahan Presidaen Paul Kagame, yang merupakan ketua RPF. yaitu kelompok yang mempertahankan Rwanda dari serangan massacred ekstrimis Hutu. Pemerintah memberikan kebijakan khusus untuk para perempuan Rwanda yaitu mengikutsertakan 30% suara dan kedudukan mereka dalam lembaga pemerintahan nasional dan regional. Kegiatan perempuan dalam bidang politik pada periode 1994-2004 tersebut terlihat dari hasil yang mereka peroleh. Mereka melobi agar hakhak perempuan dibidang hukum dan warisan dapat dimasukkan kedalam konstitusi baru. Selain itu, mereka juga meyakinkan seluruh anggota parlemen bahwa keterwakilan perempuan dalam pemerintahan merupakan awal yang baik untuk sebuah proses pembangunan perdamaian Negara dimasa yang akan datang. Kini mereka memiliki hak-hak yang sebelumnya merupakan larangan yang tidak boleh dimiliki oleh perempuan. [22]. Secara umum Paul kagame bisa dikatakan mencapai Rwanda yang lebih baik pasca genosida yang menyebabkan kacaunya negara tersebut. tapi disisi lain berkaitan dengan kelangsungan politik di Rwanda agaknya banyak isu isu kritis yang muncul terhadap kepemimpan Paul Kagame.
Sejumlah kritik bermunculan. Di antaranya menyebutkan, tiga calon dari kelompok oposisi tidak diberi kesempatan mendaftarkan diri untuk mengikuti proses pemilihan. Kelompok hak asasi manusia juga menunjuk peristiwa kekerasan menjelang berlangsungnya pemilihan presiden setelah seorang wartawan lokal ditembak mati serta ditemukannya mayat seorang anggota oposisi tanpa kepala, Juli.[23]
Munculnya beberapa isu baru mengenai partai politik, tampaknya menjadi masalah serius yang menyita perhatian kelompok Hak Asasi Manusia Human Rights Watch (HRW).
Kelompok Hak Asasi Manusia Human Rights Watch (HRW) yang berpusat di New York mengecam gangguan terhadap tokoh-tokoh oposisi politik di Rwanda yang mengatakan mereka menghadapi "ancaman-ancaman serangan-serangan dan gangguan" yang meningkat menjelang pemilihan presiden itu. Kelompok itu mengutip satu insiden di mana Joseph Ntawangundi-- seorang anggota FDU-Inkingi, satu partai oposisi baru yang mengecam kebijakan-kebijakan pemerintah -- diserang di depan sebuah kantor pemerintah lokal.[24]
Berkaitan dengan hal tersebut, tampaknya sedang terjadi sedikit kekacauan di Rwanda, isu isu baru terkait adanya pembunuhan beberapa anggota partai oposisi tersebut menguncang stabilitas kehidupan politik di Rwanda, ini menjadi isu besar menjelang pemilu Rwanda.
Di bawah kepemimpinan Kagame, terpilih sebagai Presiden Rwanda pada 2000, pendapatan negara naik dua kali lipat dari dekade sebelumnya. Namun baru-baru ini, organisasi transparansi internasional menyebutkan Rwanda merupakan negara terkorup di kawasan tersebut. Rwanda juga membanggakan diri bahwa negerinya memiliki anggota parlemen perempuan ertinggi di dunia, memberikan kesempatan bersekolah, dan berhasil menurunkan tingkat kematian anak. Kendati memiliki rekam jejak mengesankan, ada isu bahwa selama menjabat sebagai presiden Kagami memiliki beberapa noda hitam. Di antaranya pelangaran hak asasi manusia dan penembakan sejumlah lawan politiknya.[25]
            Ham dan Demokrasi memiliki kaitan yang sangat kuat. Demokrasi memberikan pengakuan secara luas dalam pemerintahan. Dalam perkembangan sejarah awal demokrasi, desakan kea rah hadirnya peran serta public mencerminkan adanya pengakuan kedaulatan. Aktualisasi peran public dalam ramah pemrintahan memungkinkan untuk terciptanya keberdayaan politik[26]. Keadaan Rwanda akhir akhir ini lah tampaknya mampu mengganggu kelancaran upaya yang mungkin dikatakan  sebagai proses demokratisasi dan penyembuhan konflik di Rwanda.













Kesimpulan
                  Konflik Rwanda yang memucxak pada genosida Rwanda pada tahun 1994 pada awalnya merupakan serentatan konflik berkepanjangan pada masa awal berdirinya negara tersebut. genosida yang menewaskan yang kurang lebih menewaskan 800.000 juta tersebut terjadi selama 100 hari. Pelaku utama yaitu Ekstremis HUTU yang merasa terancam akibat kembalinya kekuatan tutsi yang bernama RPF berusaha untuk kembali menyusup ke Rwanda yang di anggap oleh ektremis hutu sebagai pemberontak yang akan mengambil alih kekuasaan. Namun pada akhirnya kemengan pada tahun 1994 memihak RPF di bawah komando Paul Kagame. Setidaknya upaya rekonsiliasi berupa adanya gacaca merupakan salah satu upaya kecil Kagame untuk menutaskan kepelikan dimasa lalu akibat genosida yang menewaskan ratusan ribu tusi dan hutu moderat  walaupun mungkin tidak mampu menyelesaikan seluruhnya. Menyoroti peristiwa yang terjadi akhir akhir di Rwanda, antara lain pembunuhan anggota partai oposisi menjadi titik awal kekacauan di Rwanda. Adanya kondisi yang tidak sehat berkaiatan dengan HAM ini menjadi polemik baru bagi Rwanda yang mampu memecah belah lagi siruasi Rwanda yang di sisi lain mulai di bangun kembali pasca 1994.





[2] Neil Schlager and Jayne Weisblatt, World Encyclopedia of Political System and parties
[4] Wirawan, sarlito, 2010,Teori- teori Psikologi social, Grafindo, Jakarta,hal 54
[5]
[6] Imam Hidajat, 2009, Teori Teori Politik, Setara Pres, hal 95
[7] Ibid, Imam Hidajat Teori Teori Politik
[9] Paul D Williams, Security Studies An Introduction, 2008, Routledge
[12] Dr.Suyatno, M.Si Menjelajahi Demokrasi, 2008, humaniora
[14] Opcit, Neil Schlager and Jayne Weisblatt, World Encyclopedia of Political System and parties

[15] John Middleton, NEW ENCYCLOPEDIA OF AFRICA Volume 4 Nairobi–Symbols

[17] John Middleton, NEW ENCYCLOPEDIA OF AFRICA Volume 4 Nairobi–Symbols
[18] John Middleton, NEW ENCYCLOPEDIA OF AFRICA Volume 4 Nairobi–Symbols
[19] Dr,Suyatno, M.Si. Menjelajahi Demokrasi, 2008, Humaniora
[20] Ibid, Dr.Suyatno, M.Si
[21] John Middleton, NEW ENCYCLOPEDIA OF AFRICA Volume 4 Nairobi–Symbols

[26] Majda El Muhtaj, Dimensi-Dimensi HAM mengurai Hak ekonomi sosial dan Budaya, 2009, Rajawali Pers

Tidak ada komentar:

Posting Komentar