“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Proteksionisme Dalam Perdagangan Global Studi Kasus: Country of Origin Labelling (COOL) sebagai Bentuk Proteksionisme Terselubung AS terhadap Kanada




Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Cut Fitri Indah Sari, Dian, Trianita Lestari, Novian Uticha Sally     



Dalam orde ekonomi-perdagangan neo-liberal yang berlaku secara global seperti saat ini, setiap negara seakan diwajibkan mengikuti arus pasar bebas (free trade) dan keterbukaan pasar (open market) tanpa kecuali. Negara dituntut untuk membuka pasar domestik seluas-luasnya bagi masuknya produk-produk asing dengan menghilangkan hambatan-hambatan perdagangan seperti tarif, kuota, dan sebagainya, termasuk negara-negara berkembang yang notabene seringkali dianggap menerapkan kebijakan-kebijakan proteksionisme demi melindungi kepentingan nasionalnya. Negara-negara maju pun berupaya untuk membuka proteksi yang diterapkan pemerintah negara-negara berkembang terhadap pasar domestiknya dengan alasan mendasar bahwa mereka tidak mematuhi prinsip perdagangan bebas. Akan tetapi, kecenderungan negara-negara maju untuk memonopoli keuntungan dari perdagangan global pun tak jarang memunculkan kontradiksi, dimana negara maju justru turut menggunakan kebijakan-kebijakan serupa secara implisit sebagai instrumen untuk “mengamankan” stabilitas pasar domestik dengan melindungi produk dalam negerinya dan melakukan pembatasan impor. Mereka seringkali menggunakan isu-isu non-perdagangan ataupun non-tariff barriers, salah satunya isu kesehatan.
Salah satu kasus yang melibatkan isu proteksionisme non-perdagangan ialah Country of Origin Labelling (COOL) yang melibatkan proteksionisme AS terhadap Kanada. Sebagai bentuk kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada, AS menggunakan alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dari Kanada yang dianggap terjangkit dan terkontaminasi BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi gila (mad cow disease) serta virus H1N1 atau swine flu. Upaya Kanada untuk membawa kasus ini ke dispute settlement body di WTO hingga Agustus 2013 masih berada dalam proses dan masih berlanjut sampai sekarang. Inilah salah satu alasan mengapa isu tersebut menarik untuk dikaji lebih lanjut. Rumusan masalah yang kami ajukan dalam paper ini yaitu: Mengapa COOL dapat dikatakan sebagai bentuk proteksionisme? Bagaimana hal ini mempengaruhi perdagangan antara AS dan Kanada?
Pembahasan
Isu Proteksionisme sebagai Isu Penting dalam Perdagangan Internasional
Terbentuknya World Trade Organization (WTO) pada tahun 1947 sebagai lembaga internasional yang mengatur perdagangan global diharapkan dapat mewujudkan perdagangan yang adil dan bebas. Namun dalam perkembangannya, perdagangan global dewasa ini justru banyak diwarnai oleh isu proteksionisme yang mengganggu kebebasan arus perdagangan antarnegara. Proteksionisme sendiri dapat diartikan sebagai kebijakan ekonomi yang membatasi perdagangan antarnegara melalui tarif bea masuk impor (tariff protection), pembatasan kuota atau pemberian subsidi (non-tariff protection), dan aturan lainnya yang berupaya untuk menekan impor bahkan aturan ekstrim seperti larangan impor.[1] Kebijakan ini bertujuan untuk meminimalkan hambatan terhadap produk domestik dari serbuan barang-barang impor. Kebijakan proteksionis seperti ini dilakukan hampir seluruh negara di dunia, contohnya seperti Korea Selatan ketika baru membuka sektor industri otomotifnya yang kala itu belum dapat bersaing dengan industri serupa di pasar global. Pemerintah Korea Selatan akhirnya memberikan subsidi terhadap industri ini dengan harapan produk yang dihasilkan lebih laku di pasaran. Contoh lainnya ialah kebijakan pembatasan kuota yang pernah dilakukan AS di era 1970-an. Ketika itu terjadi kenaikan harga bahan bakar dan masyarakat AS lebih memilih membeli mobil berukuran kecil yang notabene merupakan produk dari Jepang dengan tujuan melakukan penghematan terhadap bahan bakar. Demi kepentingan melindungi industri otomotif domestiknya, AS mengeluarkan kebijakan proteksionis dengan menetapkan kuota terhadap jumlah mobil Jepang yang diperbolehkan masuk ke AS. Meskipun kebijakan ini bertujuan melindungi pasar domestik, tetap saja hal ini bertentangan dengan prinsip perdagangan bebas, yakni penghapusan segala bentuk hambatan yang mengganggu arus perdagangan antarnegara.

Pertentangan antara perdagangan bebas dan kebijakan proteksionis merupakan masalah yang kompleks dan rumit untuk diselesaikan. Di satu sisi, perdagangan bebas yang mendorong terbukanya pasar tidak dapat dipungkiri telah menyebabkan ketimpangan antara ekspor dan impor, terutama bagi negara-negara berkembang. Pasar domestik yang dikuasai barang-barang impor berbanding terbalik dengan angka produk yang berhasil di ekspor. Namun di sisi lain, negara berkewajiban untuk melindungi dan menyeimbangkan angka impor dan ekspor tadi agar pasar domestiknya tetap berjalan. Negara seolah dihadapkan pada dilema, apakah harus berjalan searah dengan perdagangan bebas atau memilih kebijakan proteksionis untuk menyelamatkan pasar domestiknya. Kebijakan proteksionis dianggap sebagai jalan keluar sekaligus benteng bagi ekonomi negara yang baru tumbuh. Namun demikian, proteksionisme juga dapat ditemukan pada negara yang sudah mapan. Kedaulatan ekonomi nasional tampaknya menjadi justifikasi utama dari proteksionisme. Secara historis, kasus proteksionisme bahkan lebih sering ditemukan daripada implementasi perdagangan bebas itu sendiri.[2]
Kebijakan ini jelas mengganggu sistem perdagangan bebas. Meskipun demikian, proteksionisme tidak pernah benar-benar dapat dihapuskan. Dalam kurun waktu belakangan, bentuk proteksionisme baru justru lahir dalam bentuk hambatan non-tarif ditambah penggunaan isu-isu non-ekonomi seperti kesehatan, lingkungan, perlindungan buruh, dan sebagainya. Isu-isu ini digunakan untuk mengaburkan tujuan sebenarnya, yakni melindungi pasar domestik dari serbuan barang impor. Mirisnya, negara-negara maju menjadi pionir dalam penggunaan isu-isu ini. Kasus terbaru yang sampai saat ini masih dirundingkan oleh WTO adalah tindakan AS yang menggunakan Country of Origin Labelling (COOL) dikaitkan dengan isu kesehatan untuk menghindari produk impor dari Kanada. Produk dari Kanada khususnya produk livestock hewan ternak (sapi, babi) dituding AS terkontaminasi penyakit BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty) atau sapi gila serta virus H1N1. Tindakan AS ini tentu saja memberikan kerugian tersendiri bagi industri Kanada, karena tidak lagi bisa mengimpor produk-produk mereka ke pasar AS. Ini juga menjadi hambatan bagi terciptanya perdagangan yang bebas dan adil.
Perdagangan bebas sebenarnya telah mencapai tahap kulminasi ketika pembentukan WTO sebagai satu-satunya wadah internasional bagi perdagangan global. Sangat jelas agenda yang ingin dicapai adalah perdagangan yang bebas tanpa hambatan dan proteksi yang dianggap merusak dinamika pasar dan kebebasan untuk berkompetisi. Kemunculan isu-isu proteksionisme ini tentu saja menjadi penting karena dapat mematikan persaingan dan kebebasan perdagangan antarnegara. Proteksionisme juga mengakibatkan turunnya pertumbuhan ekonomi secara global[3] dikarenakan setiap negara akan berlomba-lomba dalam memproteksi pasar domestiknya. Pada tahun 2012 saja terdapat sedikitnya 123 kebijakan perdagangan baru di seluruh dunia yang bersifat menghambat dan memperketat perdagangan.[4] Angka tersebut dapat dikatakan cukup besar dan sangat mungkin memberi pengaruh kuat terhadap pertumbuhan ekonomi secara global.
Kebijakan yang bersifat proteksionis juga memberi dampak bagi konsumen yang dapat dirugikan karena keterbatasan pilihan yang ada di pasar.[5] Pada akhirnya, kebijakan proteksionis akan selalu berujung pada fungsinya yang melumpuhkan, memaksakan, dan mengeksploitasi pihak-pihak lain. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya akan berdampak pada produsen lokal saja, namun juga konsumen asing yang akan turut terkena imbas dari kebijakan proteksionis ini. Oleh karena itu, dibutuhkan peran kuat dari WTO dalam menyelesaikan isu-isu proteksionis ini agar tidak mengganggu pertumbuhan arus perdagangan global yang bebas dan adil.

Penggunaan Isu-isu Non-Perdagangan sebagai Bentuk Proteksionisme Baru
Sengketa perdagangan antara AS dan Kanada merupakan masalah yang serius dan perlu segera ditangani agar tidak merusak sistem perdagangan internasional. Ketegangan yang terjadi antara AS dan Kanada di bidang perdagangan menunjukkan bagaimana ketegangan antara motif liberal dengan merkantilis terjadi. Di satu sisi negara-negara menginginkan pasar bebas (free trade) dan keterbukaan pasar (open market) namun di sisi lain negara tidak bisa menjalankannya karena mempertimbangkan kepentingan nasionalnya. Upaya AS untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dan olahannya dari Kanada menunjukkan bagaimana upaya negara maju yang menggunakan kebijakan-kebijakan proteksionisme sebagai instrumen untuk “mengamankan” stabilitas pasar domestik dengan melindungi produk dalam negerinya dan melakukan pembatasan impor.
Penggunaan isu-isu non trade-seperti kesehatan, agama, perlindungan buruh, dan lingkungan-menunjukkan bagaimana proteksionisme masih dan kemungkinan akan terus menjadi underlying issues dalam perdagangan antarnegara. Proteksionisme tidak akan benar-benar hilang karena hal ini sudah menjadi naluri negara untuk melindungi dirinya. Hambatan perdagangan non tarif bisa menjadi bentuk proteksionisme yang terselubung yang berusaha dilakukan oleh negara-negara untuk melindungi kepentingan nasionalnya.
Dalam kasus Country of Origin Labelling (COOL), kita bisa melihat bentuk kebijakan proteksionisme terselubung AS terhadap Kanada. AS menggunakan alasan-alasan kesehatan untuk menghindari impor livestock hewan ternak serta produk-produk daging (terutama sapi dan babi) dan olahannya dari Kanada yang dianggap terjangkit dan terkontaminasi BSE (Bovine Spongiform Encephalophaty) atau yang biasa dikenal sebagai penyakit sapi gila (mad cow disease) serta virus H1N1 atau swine flu. Hal ini menguatkan pendapat yang menyatakan bahwa proteksionisme akan selalu terjadi dalam bentuk-bentuk baru dan akan terus menjadi persoalan, terutama bagi negara-negara yang semakin menggantungkan pendapatannya pada perdagangan internasional.[6] Negara-negara akan selalu tergoda untuk menerapkan regulasi terhadap perdagangan dengan berbagai alasan. Berbagai alasan yang kini tengah digunakan oleh negara-negara adalah alasan kesehatan, perlindungan buruh, agama, maupun lingkungan. Dari kasus sengketa AS dan Kanada ini kita bisa melihat bagaimana upaya AS dalam mengelola perdagangannya secara tegas untuk melindungi kepentingannya dengan menerapkan standar yang ketat di bidang kesehatan.
Dalam sejarahnya, proteksionisme perdagangan pernah merajalela selama Malaise tahun 1930-an. Saat itu, antara tahun 1929 dan 1933, perdagangan di seluruh dunia berkurang hingga 54% akibat berbagai hambatan perdagangan yang diterapkan oleh AS dan beberapa negara lainnya. Hal yang serupa terjadi pada tahun 1970-an dan 1980-an. Saat itu proteksionisme perdagangan menjadi semakin sengit. Terdapat tiga faktor yang bisa menjelaskan mengapa hal ini terjadi.[7] Pertama, proteksionisme berkembang karena AS tidak bersedia menanggung beban kepemimpinan hegemonik. Karena untuk membuat sistem perdagangan internasional tetap terbuka, perlu ada pihak yang bersedia menanggung beban untuk menjamin pemberlakuan aturan main GATT (sekarang WTO). Jika tidak ada pihak yang menjaminnya, maka sistem pun tidak berjalan. Kedua, hegemoni politik dan ekonomi AS telah merosot karena peningkatan pengaruh politik dan ekonomi negara-negara dalam Uni Eropa, Jepang, dan negara-negara industri baru.[8] Negara-negara Eropa Barat menerapkan kebijakan perdagangan proteksionis untuk mendukung perekonomian mereka yang sedang tumbuh. Mereka enggan menerima pasar bebas sebagai acuan dalam praktek perdagangan. Ketiga, meningkatnya harapan di kelompok-kelompok yang diuntungkan maupun dirugikan oleh perdagangan. Misalnya pandangan kelompok merkantilis yang menyatakan bahwa perdagangan harus menjadi isu kebijakan yang dikelola pemerintah secara tegas dan (jika perlu) secara agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dan mempertahankannya dalam lingkungan ekonomi internasional.
Pengaturan sistem perdagangan internasional memang bukan hal yang mudah. Penggunaan isu-isu seperti kesehatan, agama, perlindungan buruh, dan lingkungan menjadikan perdagangan internasional lebih terkait dengan isu-isu yang dulunya nampak tidak ada hubungan dengan perdagangan. Isu-isu baru tersebut merepresentasikan bagaimana isu-isu yang dahulu dianggap tidak ada kaitannya dengan perdagangan internasional akhirnya menjadi bagian yang wajar dari perdagangan masa kini. Dahulu, mungkin pemerintah maupun para pelaku bisnis tidak begitu mempertimbangkan bahwa faktor kesehatan akan begitu berpengaruh terhadap kegiatan produksi dan perdagangan. Kini, tuntutan akan standar kesehatan pada produk-produk yang diperdagangkan menjadi cenderung semakin besar. Agar suatu produk dari negara A dapat masuk ke negara B, produk negara A tersebut harus memenuhi standar yang diterapkan oleh negara B. Permasalahannya, bisa saja standar kesehatan yang digunakan oleh negara A dan negara B berbeda. Dibutuhkan standar umum kesehatan yang bisa ditaati oleh semua negara agar permasalahan seperti ini tidak muncul kembali. Namun harus digarisbawahi kembali bahwa pengaturan sistem perdagangan internasional bukan merupakan hal yang mudah. Sama halnya ketika membentuk standar umum kesehatan secara bersama-sama. Hal ini menjadi sulit karena melibatkan kepentingan banyak negara.

Country of Origin Labelling (COOL) sebagai Bentuk Proteksionisme Terselubung AS terhadap Kanada
Country Of Origin Labeling (COOL) merupakan sebuah peraturan persyaratan pelabelan yang disahkan oleh hukum perundang-undangan AS yang mengharuskan para pengecer untuk mencantumkan label negara asal pada berbagai jenis produk makanan, dengan tujuan memberitahu pelanggan mereka mengenai informasi sumber makanan tertentu, seperti daging sapi segar, daging babi dan domba (kecuali produk olahan). Pada 29 September 2008, badan legislatif AS mengajukan perluasan pada peraturan COOL dengan menyertakan lebih banyak jenis makanan seperti buah-buahan segar, kacang-kacangan, dan sayuran.
Semua ternak yang ada di AS pada atau sebelum 15 Juli 2008, yang tetap berada di negara ini maka akan dianggap sebagai ternak asal AS. Label “produk Amerika Serikat” hanya dinyatakan berlaku untuk hewan yang secara khusus lahir, diternakkan dan dipanen di AS. Terdapat tiga kategori label lainnya, yaitu: Pertama, untuk hewan yang lahir dan atau diternakkan di negara lain yang kemudian dipanen di AS dilabeli sebagai produk multi-asal dimana semua negara yang bersangkutan wajib untuk diidentifikasi terlebih dahulu; Kedua, produk daging yang diimpor dari negara lain dilabeli sebagai produk negara tersebut; Ketiga, untuk hewan yang diternakkan di negara lain dan diimpor ke AS untuk segera dipanen.
Pada 23 Mei 2013, aturan final COOL dikeluarkan dan langsung menjadi efektif hanya dalam kurun waktu pengenalan selama enam bulan kepada para pengecer sampai dengan tanggal 23 November 2013. Singkatnya, peraturan baru ini mengeliminasi pembolehan untuk mencampur potongan urat dari komoditas dengan asal yang berbeda dan membutuhkan tanda untuk potongan urat daging yang dapat menentukan negara mana tempat ternak tersebut lahir, diternakkan dan disembelih.
Pada bulan September 2013, National Grocers Association (NGA) mengirim sebuah surat kepada United States Department of Agriculture (USDA) yang meminta untuk menunda penegakan dan kelanjutan dari masa penyuluhan peraturan COOL yang baru sampai WTO mencapai keputusan akhir dari pengaduan yang tertunda oleh Kanada dan Meksiko atas AS. Pada tahun fiskal 2014, USDA akan mengubah kebijakan penegakan COOL yang berlaku saat ini.
Pada 23 November 2013, label-label pada beberapa toko kelontong daging akan diminta untuk menunjukkan dari mana asal daging tersebut. Sementara aturan mengenai hal ini sedang digugat di pengadilan oleh para pemangku kepentingan industri daging dan pemerintah Kanada, tentang peraturan COOL yang mewajibkan para pengecer untuk mengidentifikasi negara tertentu di mana hewan itu lahir, diternakkan dan disembelih. Aturan pelabelan mencakup pemotongan otot dari daging sapi, ayam, babi, domba dan kambing, serta yang sementara diproses dan di luar daging olahan. Uraian lisan mengenai aturan tersebut dijadwalkan akan digelar pada 9 Januari 2014, bertempat di pengadilan federal. Aturan baru ini melarang kurangnya spesifikasi atas label campuran asal seperti “Produk dari Amerika Serikat dan Kanada.”
Pendukung COOL mengatakan bahwa konsumen memiliki hak untuk mengetahui darimana daging segar mereka berasal. Industri daging AS sebagian besar menentang aturan tersebut dengan mengatakan bahwa hal itu dapat mengundang sanksi internasional terhadap perdagangan daging dengan AS, sebagaimana para pelanggan di negara ini yang mungkin akan menghindari daging yang diternakkan di tempat lain.
Asosiasi ternak dan daging baik di AS dan Kanada sama-sama menolak untuk mencantumkan langkah produksi pada label, khususnya dimana hewan tersebut lahir, diternakkan dan disembelih. Informasi sejenis itu menurut mereka akan membatasi atau justru mengeliminasi praktek perluasan industri dalam hal pencampuran produk, yang malah memisahkan ternak dan produk dari seluruh penyedia pasokan. Akibatnya, mereka berkata, COOL sebagaimana yang tengah diimplementasikan membuat berbagai perusahaan, pabrik dan produsen, beresiko akan keluar dari bisnis ini. Fasilitas pengolahan daging di perbatasan AS-Kanada akan berada pada posisi yang kurang menguntungkan karena ternak tidak lagi bergerak bebas dari satu negara ke negara lain. The American Association of Meat Processors, American Meat Institute (AMI), Canadian Cattlemen’s Association, Canadian Pork Council, National Cattlemen’s Beef Association, National Pork Producers Council, North American Meat Association, and Southwest Meat Association, kemudian mengajukan tindakan peradilan.
Selain melontarkan argumen secara konstitusional, para kelompok pengusaha ternak dan daging berpendapat bahwa COOL telah melanggar prosedur administrasi dengan memilih pemenang dan yang kalah di pasaran, yang secara fundamental mengubah industri daging menjadi tidak bermanfaat. Sementara itu, tuntutan hukum federal berpendapat bahwa aturan COOL telah melanggar UU Pemasaran Pertanian dengan melampaui bahasa yang terdapat dalam undang-undang COOL. Para kelompok pengusaha daging dan ternak mengajukan kepada Kongres, tepatnya menolak "keterbukaan yang terlalu detail."
Setelah aturan baru diberlakukan, Kanada mengatakan bahwa hal itu melanggar perjanjian perdagangan dan mengajukan banding atas aturan COOL milik USDA dengan WTO. Pada tahun 2011, WTO memutuskan untuk mendukung mereka dan badan banding menguatkan temuan tersebut pada tahun 2012. WTO kemudian meminta AS untuk selalu mematuhi peraturan tersebut pada 23 Mei 2013. Organisasi daging dan hewan ternak mengatakan bahwa aturan USDA yang diberlakukan pada Mei 2013 adalah "sangat mirip" adanya dengan aturan aslinya di 2003.

Upaya WTO dalam Menangani Perselisihan Antarnegara terkait Proteksionisme Bentuk Baru
Seperti yang telah dijelaskan dalam pemaparan sebelumnya, efek yang diakibatkan oleh proteksionisme terselubung ini mengakibatkan banyak kerugian. Masalah proteksionisme terselubung ini memang merupakan sebuah dilema bagi suatu negara, karena disamping dituntut keprofesionalannya dalam memenuhi kesepakatan internasional, tapi tekanan kebijakan politik domestik terus memicu bentuk baru dari proteksionisme, inilah yang disebut oleh Jagdish Bhagwati (1988) dengan hukum kekekalan proteksionisme (Law of Constant Protectionism).[9] Akan tetapi jika terdapat kerugian yang besar dan disadari oleh negara partner dagangnya maka masalah ini perlu segera diselesaikan. Itulah sebabnya pada Desember 2008 dan Juli 2009, Kanada dan Meksiko menginisiasi pertemuan dengan AS terkait isu COOL ini. Namun, hasil yang didapatkan dari pertemuan tersebut masih jauh dari harapan, sehingga pada Oktober 2009, Kanada dan Meksiko membawa masalah ini ke WTO, mengharapkan terbentuknya suatu panel penyelesaian masalah (dispute settlement panel) guna menangani masalah ini. Sebenarnya AS sangat menyesalkan keputusan yang diambil oleh Kanada dan Meksiko dengan melibatkan WTO dalam masalah mereka, padahal menurut AS, adanya pelabelan asal barang itu telah ada jauh sebelum WTO sendiri terbentuk. Sedangkan Kanada dan Meksiko bersikeras bahwa AS telah melanggar Kesepakatan Umum dalam Tarif dan Perdagangan (GATT) tahun 1994 yang menyatakan bahwa produk impor seharusnya tidak dibedakan dengan produk lokal. Kemudian pada 19 November 2009 dibentuklah Badan Penyelesaian Masalah atau Dispute Settlement Body (DSB).
Perlu waktu tiga tahun, tepatnya pada 18 November 2011, untuk panel bentukan WTO merumuskan bahwa AS bersalah karena telah melanggar dua artikel dari kesepakatan WTO pada Teknis Pembatasan dalam Perdagangan (TBT) dan ketentuan dasar GATT. Secara lebih rinci, pelanggaran ini dilakukan pada artikel 2.1 dalam TBT yang mengatur larangan memperlakukan produk asing secara timpang dibandingkan dengan produk lokal. Artikel kedua yang dilanggar adalah artikel 2.2, karena AS tidak dapat memberikan legitimasi atas tujuannya memberikan label pada produk daging. AS sendiri sebenarnya memiliki beberapa alternatif untuk menjawab temuan DSB tersebut. Antara lain dengan mengubah susunan komposisi keterangan yang disertakan dalam sistem COOLnya atau menyajikan pada panel laporan yang mendukung pentingnya COOL.
Kemudian pada 23 Juli 2012, DSB menindaklanjuti laporan dari DS tersebut. Namun, meskipun terbukti bersalah, DSB tidak menginformasikan secara spesifik hal-hal yang seharusnya dilakukan oleh AS sebagai bentuk pertanggungjawabannya. Jadi bukan hal yang mengherankan jika setelah keputusan diambil, masih memerlukan waktu yang lama bagi AS untuk memenuhi tuntutan WTO. Walaupun sebenarnya WTO sudah punya sistem yang mengharuskan negara yang terbukti melanggar kesepakatan bersama untuk menindaklanjuti laporan tersebut dalam waktu yang umumnya satu tahun, tapi AS ingin agar diberikan waktu 18 bulan untuk menyelesaikannya, sedangkan Kanada dan Meksiko menganggap 6 bulan cukup bagi AS untuk menerapkan perubahan pada sistemnya. Sehingga WTO pun harus turun tangan dengan menetapkan waktu 10 bulan maksimal bagi AS untuk bertindak. Jika dalam tenggat waktu yang telah ditentukan AS gagal memenuhi perubahan yang diharapkan, maka Kanada dan Meksiko akan memperoleh keistimewaan dari WTO untuk melakukan retaliasi dengan cara menarik investasinya dari AS ataupun menetapkan tarif impor yang tinggi bagi AS.
Tenggat waktu yang diberikan sampai tanggal 23 Mei 2013 telah berakhir dan AS pun telah memodifikasi aturan COOL-nya, namun rupanya Kanada dan Meksiko masih belum puas dengan perubahan yang dilakukan oleh AS. Mereka menganggap tidak ada perubahan signifikan sehingga memutuskan untuk membuat laporan baru bagi DSB untuk meninjau ulang hasil amandemen COOL yang dilakukan oleh AS pada 19 Agustus 2013.[10] Apabila kemudian AS memang terbukti belum secara sempurna mengubah aturan COOL-nya sesuai dengan yang diamanatkan oleh WTO sesuai dengan tenggat waktu yang telah disepakati tersebut, maka Kanada dan Meksiko akan mempunyai hak legal untuk melakukan retaliasi proteksionisme kepada AS.

Kesimpulan
COOL dapat dikatakan sebagai bentuk proteksionisme AS terhadap Kanada karena mengimplementasikan hambatan-hambatan non-perdagangan (non-trade barriers) yang secara simultan diterapkan oleh AS untuk menghindari impor produk livestock dari Kanada. Hal ini tentu mempengaruhi hubungan perdagangan antara kedua negara tersebut karena memicu friksi perdagangan melalui tuntutan-tuntutan sebagai bentuk protes akan pelanggaran terhadap prinsip-prinsip perdagangan bebas yang semestinya selalu diusung dalam orde perdagangan global yang neo-liberal seperti saat ini.



DAFTAR PUSTAKA

Pustaka Literatur
Frieden, Jeffry A., and David A. Lake. 2000, International Political Economy: Perspective On Global Power and Wealth, Fourth Edition. New York: St. Martin’s Press
Gilpin, Robert. 1987. The Political Economy of International Relations. Princeton: Princeton University Press
Gilpin, Robert, and Jean Mills Gilpin. 2002. Edisi Bahasa Indonesia Tantangan Kapitalisme Global. Jakarta: Grafindo Persada
Mas’oed, Mohtar. 1998. Diktat Kuliah Ekonomi Politik Internasional. Yogyakarta: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM
Rothbard, Murray N. 1986. Protectionism and The Destruction of Prosperity. Auburn: Mises Institute

Pustaka Online
Aisbet, Emma, and Lee Pearson. 2012. Environmental and Health Protection, or New Protectionism? Determinants of SPS Notifications by WTO Members. Canberra: Australian National University. www.etsg.org/ETSG2012/Programme/Papers/333.pdf
Jurenas, Remy, and Joel L. Greene. 2013. ‘Country-of-Origin Labeling for Foods and the WTO Trade Dispute on Meat Labelling’. Congressional Research Service. www.fas.org/sgp/crs/misc/RS22955.pdf
Harian Analisa. 2013. Dirjen WTO: Proteksionisme dan pertumbuhan perdagangan global, 21 September 2013. http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/48720/proteksionisme-juga-turunkan-pertumbuhan-perdagangan-global/


1 J.A. Frieden & D.A. Lake, International Political Economy: Perspective On Global Power and Wealth, Fourth Edition, St. Martin’s Press, New York, 2000, p. 306
[2] R. Gilpin & J.M. Gilpin, Edisi Bahasa Indonesia Tantangan Kapitalisme Global, Grafindo Persada, Jakarta, 2002, hal. 84.
[3] Harian Analisa, Dirjen WTO: Proteksionisme dan pertumbuhan perdagangan global, 21 September 2013, <http://www.analisadaily.com/mobile/pages/news/48720/proteksionisme-juga-turunkan-pertumbuhan-perdagangan-global/>, diakses 14 Desember 2013.
[4] Harian Analisa, Dirjen WTO: Proteksionisme dan pertumbuhan perdagangan global.
[5] M.N. Rothbard, Protectionism and The Destruction of Prosperity, Mises Institute, Auburn, 1986, pp. 1-6.
[6] M. Mas’oed, ‘Perdagangan dalam Perspektif Ekonomi-Politik Internasional’, dalam Diktat Kuliah Ekonomi Politik Internasional, Jurusan Ilmu Hubungan Internasional FISIPOL UGM, Yogyakarta, 1998, hal. 20
[7] Mas’oed, hal. 11.
[8] R. Gilpin, The Political Economy of International Relations, Princeton University Press, Princeton, 1987.
[9] E. Aisbet & L. Pearson, Environmental and Health Protection, or New Protectionism? Determinants of SPS Notifications by WTO Members, Australian National University, Canberra, 2012, <www.etsg.org/ETSG2012/Programme/Papers/333.pdf>.
[10] R. Jurenas & J.L. Greene, ‘Country-of-Origin Labeling for Foods and the WTO Trade Dispute on Meat Labelling’, Congressional Research Service, 16 September 2013, <www.fas.org/sgp/crs/misc/RS22955.pdf>.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar