“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Efektivitas Global Governance


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Konsep global governance telah muncul bersamaan dengan peristiwa Perang Dingin. Perang Dingin tidak hanya merepresentasikan perang dan ancaman secara bipolar saja, namun juga telah membentuk sebuah model analisis pemerintahan atau organizing, dan prakteknya sistem politik internasional[1]. Isu- isu dengan landasan asumsi tersebut, terus berkembang, sampai pada akhirnya disebut dengan konsep global governance. Global governance lebih dikenal dengan cara pengorganisasian sistem politik internasional yang lebih inklusif dan sesuai dengan tata cara atau aturan yang ada[2]. Setidaknya dengan asumsi dasar tersebut, bisa memunculkan berbagai argumen tentang konsep global governance, baik dari sisi definitif maupun prakteknya. Global governance yang bisa disebut menjadi sebuah cara untuk mengendalikan sesuatu, bisa diartikan sebagai lembaga paling tinggi, dimana dalam konteks hubungan internasional, negara- negara mempunyai hak untuk patuh dan tunduk pada peraturan global governance tersebut. Global governance juga mencerminkan kekuatan atau power yang kuat, dimana konsep tersebut seakan- akan mengikat dengan erat bagi para anggota yang terlibat didalamnya. Tetapi tentu saja negara anggota mempunyai kepentingan yang khusus dalam hal kebutuhan akan bergabungnya didalam sebuah global governance. Di dunia banyak contoh dari global governance yang identik dengan lembaga yang mempunyai peraturan secara internasional dan harus ditaati oleh negara anggota seperti lembaga PBB, WTO, Liga Arab, dll, termasuk kelompok- kelompok khusus yang terbatas anggotanya seperti G-8, G-20, dll.
Untuk mengetahui efektifitas dari global governance dalam mengatasi permasalahan global, tentu saja membutuhkan beberapa indikator. Indikator dalam hal ini sebenarnya bisa dikategorikan menjadi banyak poin, namun disini hanya akan mengambil beberapa dengan pertimbangan yang lebih relevan dan mudah untuk dicapai. Pertama, efektif karena adanya peraturan atau syarat khusus yang diterapkan oleh suatu global governance. Negara- negara calon anggota akan ditunjukkan beberapa poin yang harus dilaksanakan olehnya, apabila masuk menjadi anggota. Negara- negara yang setuju akan memberikan seluruh haknya, dan nantinya pasti diikuti dengan keuntungan yang diperoleh untuk negara tersebut juga. Logikanya adalah negara- negara di dunia ini tidak akan terlibat dalam suatu global governance yang tidak menguntungkan mereka, sehingga hal ini akan menuntut mereka untuk mencari alternatif lebih dari satu organisasi. Dengan pandangan tersebut, tentu saja banyak global governance yang menyesuaikan peraturannya dengan kebutuhan negara. Apabila negara sudah menemukan model dan sistem yang cocok, maka mereka akan bergabung dengan menaati seluruh peraturannya, yang nantinya akan berimbas juga pada keuntungan yang didapat oleh negara.

Faktor Munculnya Global Governance


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Pemerintahan global atau pemerintahan dunia adalah gerakan sosial menuju integrasi politik aktor transnasional bertujuan untuk memecahkan masalah yang mempengaruhi lebih dari satu negara atau wilayah ketika tidak ada kekuatan menegakkan kepentingan nasional. Pemerintahan global bukan berarti suatu bentuk pemerintah yang berskala global. Tidak ada struktur hirarki di dalam global governance. Melainkan global governance adalah suatu bentuk manajemen pengelolaan tanpa adanya otoritas penuh terhadap kedaulatan, dan adanya pola hubungan yang melampaui batas-batas nasional (Finkelstein 1995: 369). Global governance juga dimaksudkan untuk mencapai suatu target keberhasilan dengan strategi-strategi tertentu (Kahler 2004: 5). Di dalam pemerintahan global tidak ada otoritas secara penuh, melainkan terdapat institusi yang memiliki aturan rezim tersendiri.[1]
Di dalam kaitannya dengan lingkungan dan perwujudan konsep pembangunan berkelanjutan, maka muncul istilah global environmental governance. Global environmental governance is the establishment and operation of a set of rules of conduct that define practice, assign roles and guide interaction so as to enable state and non-state actors to grapple with collective environmental problems within and across state boundaries (Young 1997 dalam Baker 2006 : 53)
Bahwa peran negara mulai tereduksi dengan adanya peran dari aktor non-negara seperti institusi-institusi internasional. Bukan berarti negara tidak memiliki peran sentral, namun negara harus mulai mampu untuk mengkolaborasikan kepentingannya dengan aktor-aktor non-negara. Dengan bergabungnya peran dari aktor negara dan aktor non-negara, maka hal ini seiring dengan semakin giatnya G20 di dalam mengadakan pertemuan-pertemuan internasional. Dari setiap pertemuan ini, berbagai elemen aktor internasional hadir untuk menyatakan sudut pandangnya terhadap pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutuan membutuhkan suatu integrasi di antara seluruh aktor-aktor internasional. Integrasi ini dapat diwujudkan melalui global governance

Konsep Global Governance


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Globalisasi mendorong negara-negara baik negara maju dan berkembang untuk melakukan kerjasama dan koordinasi internasional demi tercapainya tujuan dan penyelesaian masalah global yang ada seperti masalah ekonomi, perubahan iklim, proliferasi nuklir, terorisme dimana sebuah negara tidak dapat menyelesaikannya sendiri karena masalah ini terjadi di luar batas kemampuan negara untuk menyelesaikannya sendiri. Oleh karena itu, untuk penyelesaian masalah global ini, dibutuhkanlah global governance yang dapat mengakomodasi dan menyelesaikan masalah yang ada baik itu sifatnya lokal, nasional maupun internasional.
Global governance pada hubungan internasional dapat didefinisikan sebagai sekumpulan peraturan, regulasi, norma, kebijakan dan institusi internasional yang dapat menghubungkan semua aktor-aktor hubungan internasional  baik itu aktor negara dan non-negara seperti NGOs, TNCs, organisasi regional dan rezim internasional yang dibentuk untuk menciptakan kestabilan politik internasional dan sebagai respon dari permasalahan global yang muncul.[1] Selain itu, dapat dikatakan pula bahwa global governance merupakan sebuah sistem yang dapat merespon urusan bersama, kepentingan bersama dan tujuan bersama yang bersifat lintas negara dengan kepentingan nasional, regional maupun global.[2] Seperti misalnya G-20 yang menangani dan membahas masalah perekonomian dunia, WTO sebagai rezim global yang menangani masalah perdagangan dan PBB yang menangani maslah keamanan internasional, hak asasi manusia dan aspek kehidupan manusia lainnya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa global governance menawarkan sebuah konsep yang dapat menghubungkan dan mendorong aktor-aktor dalam hubungan internasional untuk melakukan kerjasama dalam dunia internasional.

Kosmopolitanisme


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Kosmopolitanisme merupakan salah satu perspektif dalam hubungan internasional yang diperkenalkan oleh Immanuel Kant. Mengacu pada kata dasarnya, yakni “cosmos”yang berarti dunia dan “polities”yang berarti masyarakat, perspektif kosmopolitanisme berkomitmen untuk menciptakan sebuah masyarakat dunia yang terinstitusionalisasi dan berpegang teguh pada norma. Hal tersebut dipandang sebagai sebuah kondisi ideal dari masyarakat dunia, sehingga perspektif ini seringkali dikatakan sebagai perspektif idealisme.
Kant mengemukakan suatu gagasan bernama kosmopolitanisme yang diusung guna menyelesaikan permasalahan dunia yang tersekat akibat kesenjangan dari distribusi sumber daya antarnegara. Definisi dari kosmpolitanisme sendiri adalah kepemilikan bersama atas permukaan bumi berdasarkan prinsip-prinsip universal.[1] Kosmopolitanisme juga dapat diartikan sebagai kesetaraan nilai moral seluruh manusia serta tanggungjawab moral yang tidak terbatas pada negara. Menurut Kant, tanggungjawab ini mencakup perlindungan hak asasi manusia, distribusi sumber daya alam secara global dan perwujudan demokrasi.[2]


[1] R.F. John, Immanuel KantIdea for a Universal History from a Cosmopolitan Point of View(1784),inClassical readings in culture and civilization, Routledge, New York, 1998, p.41
[2]John, p.43

Konsep Global Governance


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
           Salah satu  pengertian yang banyak dirujuk dalam memahami global governance antara  lain dari  Rosenau dan Czempiel (1992) yang menerjemahkan global governance sebagai  pemerintahan tanpa pemerintah (governance without government). Hal ini juga sejalan dengan  pengertian dari  Finkelstein (1995) yang menjelaskan bahwa “Global governance is governing,  without sovereign authority, relationship that transcend national frontiers. Global governance is doing internationally what governments  do at home”. Kedua pengertian ini sebenarnya  menjelaskan kondisi minimnya peran pemerintah (negara) dalam global governance. Sedangkan pengertian lain dari Thomas Weiis lebih menjelaskan bahwa global governance tidak lain adalah “...efforts to bring more orderly and reliably responses to social and political issues that go beyond capacities of states to address individually ”, Ini artinya bahwa isu dalam global governance merupakan isu yang tidak mampu lagi diatasi oleh negara dengan kapasitasnya saat ini. Konsekuensinya ialah bahwa global governance memerlukan interaksi lebih dari satu pihak, sebagaimana dalam pengertian dari Gold Mercury International, yaitu “ Global Governance is about the interaction that is required to solve problems that affect more than one state or region when there is no power enforcing compliance”.[1]


[1]Finkelstein, S. Lawrence. 1995. “What is Global Governance?” dalam  Global Governance, Vol. 1, No. 3 (Sept.–Dec. 1995). Lynne Rienner Publishers.

Global Governance dan Globalisasi : (Studi Kasus Peran G20 Dalam Menangani Permasalahan Ekonomi Politik)


Oleh: Astiwi Inayah, Citra Istiqomah, Dian Trianita Lestari, Feriana Kushindarti, Irani Siti N, Muhammad Nizar H, Nofansyah Ibrahim, Novi Rizka A, Reza Triarda, Siti Fadilah 
Pendahuluan
Globalisasi tidak dapat dipungkiri telah menjadikan kehidupan manusia menjadi kian terbuka tanpa batas pengotak-kotakan teritorial (borderless). Hal ini tidak dapat dilepaskan dari dampak perkembangan isu global pasca berakhirnya Perang Dingin yang menjadi titik balik bagi dinamika interaksi antaraktor dalam hubungan internasional. Isu-isu yang semula bersifat state-security-centric bermetamorfosis menjadi human-security-centric. Berbagai persoalan kini menjadi bersifat lintas-batas danintermestic sehingga negara yang mulanya berperan sebagai satu-satunya aktor dalam interaksi hubungan internasional tidak lagi dominan dan dapat menangani semua persoalan sendiri. Muncul aktor-aktor lain, baik MNC, NGO, INGO, individu, maupun aktor-aktor non-negara (non-state actors) lainnya yang turut berperan dan mengambil andil besar dalam penyelesaian permasalahan-permasalahan global.
Jauh sebelum itu, pasca berakhirnya Perang Dunia I, banyak negara menganggap bahwa perang terjadi karena ketidakmampuan negara dalam mengelola konflik, distribusi kekuatan (power distribution), dan distribusi sumber daya. Oleh karena itu, timbul inisatif kerjasama dalam hubungan internasional untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul sebagai dampak perang sekaligus mencegah perang timbul kembali. Untuk mengatasi persoalan-persoalan global tersebut, disepakati pembentukan pemerintahan global (global governance) ataupun rezim internasional. Pada 10 Januari 1920, dibentuk Liga Bangsa-bangsa (LBB) yang diinisiasi oleh Presiden AS kala itu, Woodrow Wilson. Meskipun sempat mengalami kegagalan dalam perjalanannya, LBB menjadi bukti awal bahwa masyarakat dunia mulai merasakan adanya keterikatan (engagement) dengan identitasnya sebagai warga dunia (global citizens) bukan lagi sekedar warga negara.

Beberapa Respon Internasional Tentang Kerusakan Lingkungan


Uni eropa menerapkan pajak emisi penerbangan.
     Peraturan ini diterapkan oleh Uni Eropa untuk mengurangi emisi karbon sebagai dampak dari perindustrian pesawat terbang. Konsekuensi yang harus diterima adalah meningkatnya tiket pesawat, namun hal ini pantas dilakukan, karena emisi dari penerbangan menyumbang 10 kilo ton karbon dioksida pertahunnya, sehingga menjadi polutan udara yang utama. Peraturan ini mengikat keseluruhan 27 negara-negara Uni Eropa, yang kemudian akan mengkalkulasikan jumlah pajak emisi yang harus dibayar pertahunnya, untuk selanjutnya disalurkan sebagai dana upaya perubahan iklim.
Konferensi Stockholm
      Konferensi yang diselenggarakan tahun 1972 ini adalah upaya dari badan PBB yang bertajuk Conference on the Human Environment. Di dalamnya dibahas kerusakan lingkungan hidup dan upaya-upaya pembangunan kerangka kerja yang lebih terlembaga. Pertemuan terbesar tentang lingkungan yang pernah diadakan PBB ini melahirkan 26 prinsip yang berhubungan dengan lingkungan dan pembangunan, serta rencana tindakan dengan 209 rekomendasi dalam enam wilayah sebagai berikut: human settlement, pengelolaan sumber daya alam, polusi, pendidikan dan aspek lingkungan sosial, pembangunan dan lingkungan serta organisasi internasional. Konferensi  ini juga merupakan pelopor terlahirnya konferensi-konferensi tentang lingkungan hidup yang lainnya, seperti  konvensi Vienna dan protocol Montreal.
Konferensi Rio De Janiero

Hubungan Kondisi Politik dan Kemiskinan di Indonesia


Oleh: Bayu Setyawan
Stabilitas politik dan keamanan merupakan syarat kemutlakan dan necessary condition bagi pembangunan ekonomi. Praktis, tidak ada satupun negara di dunia yang mampu membangun tanpa stabilitas politik dan keamanan. Pengalaman di sejumlah negara seperti Mesir, Libya, Tunisia, dan Suriah menunjukkan instabilitas politik dan keamanan menurunkan pertumbuhan ekonomi, meningkatkan pengangguran dan gelombang PHK, tak terkendalinya inflasi, dan peningkatan angka kemiskinan.
Indonesia pernah mengalami krisis multidimensi 1997-1998, di mana pada 1998 pertumbuhan ekonomi mencapai minus 13 persen, inflasi tercatat sangat tinggi dan mencapai angka 77 persen, gelombang PHK dimana-mana, pengangguran meningkat dan melonjaknya angka kemiskinan. Pasca-reformasi, Indonesia mampu memulihkan perekonomian dengan cepat melalui stabilitas makroekonomi, pengendalian inflasi, mendorong sektor riil dan manufaktur, meningkatkan daya beli masyarakat, dan menurunkan angka kemiskinan.      
Instabilitas politik yang tidak terkendali menyebakan suasana ketidakpastian yang ditandai dengan gelombang demonstrasi, huru-hara, kerusuhan, dan konflik horizontal lainnya. Missal, pada Tragedi Mei 1998 sampai pada aksi-aksi demonstasi berikutnya yang berujung pada violence. Bahkan pada beberapa kasus Bahkan dua dari tiga penduduk Indonesia, menurut Organisasi Buruh Internasional (ILO), dalam kondisi sangat miskin pada tahun 1999. Belajar dari pengalaman Indonesia pada 1998 kestabilan politik dan keamanan sangat mendasar agar pembangunan berjalan baik demi mewujudkan kesejahteraan melalui pertumbuhan yang berkualitas dan inklusif. Salah satu yang perlu dijaga bersama terutama pergantian pemimpin.

Upaya Indonesia Dalam Mengatasi Kemiskinan Melalui Ketahanan Pangan


Oleh: Bayu Setyawan
            Sejak swasembada pangan terjadi di pertengahan tahun 1980-an, Indonesia tidak lagi mampu mencukupi sendiri kebutuhan pangannya. Bahkan, selama hampir kurang lebih satu decade sejak reformasi, Indonesia terus-menerus menjadi salah satu pengimpor terbesar bahan pangan di dunia. Liberalisasi sektor pertanian yang diprakarsai oleh IMF pasca kebangkrutan ekonomi pada akhir 1990-an, membuat sektor pertanian dan perkebunan di Indonesia terus mengalami penurunan produktivitas. Bahkan, dapat dikatakan nyaris bangkrut. Dan, sejak saat itu, isu mengenai ketahanan pangan menjadi salah satu isu krusial dalam landscape ekonomi politik Indonesia saat ini. Sebagai Negara agraris, sebagian besar penduduk Indonesia menyandarkan hidupnya dari sektor pertanian. Namun sayangnya, petani justru paling tidak beruntung dalam kehidupan ekonomi Indonesia. Luas lahan yang relatif kecil (kurang dari 0,5 ha) dan nilai tukar produk pertanian yang sangat rendah dibandingkan dengan produk lainnya membuat petani sulit sekali keluar dari lingkaran kemiskinan. Hal ini dapat dilihat dari kecenderungan data statitik di mana penduduk termiskin sebagian besar berada di sektor pertanian pedesaan.
            Kegagalan IMF dalam kebijakan pangan Indonesia melalui SAP yang berperan besar dalam mengarahkan kebijakan makro pemerintahan Indonesia dan melupakan sektor mikro (riil) yang juga penting, paket structural yang dimaksud  berisi point-point berikut.
1.      Pembenahan Struktur Ekonomi Makro
2.      Liberalisasi dan Optimalisasi Mekanisme Pasar
3.      Pembenahan Kebijakan Moneter
4.      Pembenahan Sektor Fiskal dan Finansial
Privatisasi, akar dari masalah ini tidak hanya parsial pada aspek impor dan harga seperti yang sering didengungkan oleh pemerintah dan pers. Lebih besar dari itu, ternyata negara dan rakyat Indonesia tidak lagi punya kedaulatan, yakni kekuatan dalam mengatur produksi, distribusi dan konsumsi di sektor pangan. Saat ini di sektor pangan, kita telah tergantung oleh mekanisme pasar yang dikuasai oleh segelintir perusahaan raksasa. Privatisasi sektor pangan yang notabene merupakan kebutuhan pokok rakyat, tentunya tidak sesuai dengan mandat konstitusi RI, yang menyatakan bahwa “Cabang-cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara dan digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat”. Faktanya, Bulog dijadikan privat, dan industri hilir pangan hingga distribusi (ekspor-impor) dikuasai oleh perusahaan seperti Cargill dan Charoen Phokpand. Mayoritas rakyat Indonesia jika tidak bekerja menjadi kuli di sektor pangan, pasti menjadi konsumen atau end-user. Privatisasi ini pun berdampak serius, sehingga berpotensi besar dikuasainya sektor pangan hanya oleh monopoli atau oligopoli (kartel), seperti yang sudah terjadi saat ini.

Warisan IMF Yang Masih Menjadi Pekerjaan Rumah Bagi Indonesia

Oleh: Bayu Setyawan
International Monetary Fund (IMF) organisasi internasional yang bertanggungjawab dalam mengatur sistem finansial global dan menyediakan pinjaman kepada negara anggotanya untuk membantu masalah-masalah keseimbangan neraca keuangan masing-masing negara. IMF akan memberikan bantuan likuiditas kepada negara-negara yang mengalami masalah moneter atau masalah balance of payments. Pinjaman likuiditas ini diberikan dengan jangka waktu yang pendek. Sumber pendanaan IMF berasalkan dari simpanan negara-negara anggota.
Namun dalam memberikan bantuan, IMF memberikan persyaratan terlebih dahulu kepada negara peminjam atau lebih dikenal dengan istilah Structural Adjusment Programes (SAP), seperti privatisasi BUMN, pengetatan fiskal, liberalisasi perdagangan, serta penghematan APBN. Hal ini menjadi wajar karena IMF berusaha menjaga agar negara peminjam mampu membayar hutangnya kepada IMF. IMF hanya melihat perekonomian negara peminjam secara makro. IMF sendiri sesungguhnya tidak mengetahui kondisi mikro suatu negara peminjam yang sesungguhnya. Tidak mengherankan SAP cenderung mendatangkan masalah baru bagi negara peminjam. Penundukan negara peminjam oleh IMF seperti menunjukkan akan adanya neoimperialisme. Hal ini disebabkan IMF secara tidak langsung mampu mengintervensi urusan domestik negara peminjam.

Upaya yang dilakukan Negara dan Kesulitannya Dalam Memberantas Jaringan Narkoba Internasional



Oleh: Ahmad Anwar, Angela Merici Chrisan, Anisa L. Umoro, Anna C. Suwardi, Bayu Setyawan, Cut Fitri Indah Sari H., Nasikhatun Listya A.F., Novie Lucky A., Novian, Uticha Sally, Yan Abrar
Negara selayaknya menjadi entitas paling berpengaruh dalam menelurkan berbagai kebijakan untuk menangani masalah klasik tentang kejahatan transnasional seperti peredaran narkoba yang tak ada habisnya hingga kini. Agaknya narkoba menjadi permasalahan yang kian akut diberbagai negara, problematika yang ditimbulkan narkoba kian komplek, mulai peredarannya, dampak buruk kesehatan, hingga transaksi kejahatan yang menjadi-jadi.
          Banyak aksi yang dilakukan negara untuk memerangi peredaran narkoba antara lain dengan membuat konvensi yang melarang kejahatan transnasional. Namun sulit untuk berhasil karena adanya keterbatasan pada negara, seperti tidak semua oknum dalam negara yang juga berpartisipasi terlebih lagi jika kemungkinan korupsi transnasional sudah merasuki kedalam negara, semakin sulit untuk memberantasnya. Beberapa perbandingan kekuatan negara dan organisasi kejahatan transnasional seperti kartel narkoba antara lain seperti sulitnya negara bertindak ketika organisasi kejahatan transnasional telah menggunakan batas negara sebagai bentengnya. Kedua, jaringan yang luas dan sulit ditembus menjadi keunggulan lain dari organisasi kejahatan transnasional, sementara negara merupakan komponen yang sulit bergerak sendiri terlebih ketika pihak-pihak tertentu telah terinfeksi korupsi. Ketiga, tidak adanya aturan yang membatasi perilaku organisasi kejahatan transnasional membuat mereka tidak tersentuh, dibandingkan dengan negara yang harus mengikuti beberapa runtutan peraturan sebelum bertindak. Keempat, organisasi kriminal adalah organisasi pembelajar dimana mereka menyesuaikan diri dengan lingkungan dan menghindari kesalahan yang sama di masa lalu[1]. Buruknya bagi negara, pemerintah leboh condong untuk terus menjaga aturan yang sudah ada. Kelima, organisasi kejahatan transnasional memungkinkan dia melobi siapapun terlebih orang-orang yang korupsi untuk mempermudah langkahnya jikalau dia terjaring oleh negara. Sementara negara merupakan komponen yang terpisah dan tidak hanya fokus pada satu masalah luar negeri saja. Kelemahan negara diatas dapat berakibat buruk dan menyebabkan ancaman bagi keberlangsungan negara dalam hubungan internasional. Jadi organisasi kejahatan transnasional terkait baik secara langsung maupun tidak dengan korupsi. Bahkan saling mendukung. Pihak yang sering korupsi antara lain pihak-pihak berwenang seperti polisi atau politisi bahkan. Jika hal tersebut telah terjadi maka semakin sulit peran negara untuk memberantasnya dan semakin memperbesar ancaman terhadap negara.

Respon Organisasi Internasional Terhadap Penyebaran Narkoba Internasional



Oleh: Ahmad Anwar, Angela Merici Chrisan, Anisa L. Umoro, Anna C. Suwardi, Bayu Setyawan, Cut Fitri Indah Sari H., Nasikhatun Listya A.F., Novie Lucky A., Novian, Uticha Sally, Yan Abrar
          Dalam lingkup internasional, terbentuk International Drug Enforcement Conference (IDEC) yang didirikan sejak tahun 1983. IDEC merupakan suatu forum global bagi para pejabat tinggi terkait penanganan masalah narkoba, dengan beranggotakan lebih dari 100 negara yang terlibat dalam partisipasi forum ini. IDEC bertujuan sebagai wahana saling bertukar informasi mengenai isu narkoba dan guna membangun pendekatan terkoordinir bagi upaya penerapan hukum untuk memberantas penyelundup narkoba internasional. Harapannya IDEC mampu menjadi jembatan bagi para negara-negara untuk meminimalisir persebaran jaringan kejahatan drugs internasional. Berikut contoh keberhasilan IDEC dalam upaya pemberantasan drugs;
-       Pada tanggal 11 November 2005, pengungkapan mega cland lab Ekstasi dan Shabu di Cikande – Tangerang. Tersangka yang berhasil ditangkap sebanyak 16 (enam belas) orang. Barang bukti yang disita berupa 138,6 Kg Shabu, 290 Kg Ketamine, dan 316 drum bahan Prekursor

Peredaran Narkoba dan Kemajuan Teknologi


Oleh: Ahmad Anwar, Angela Merici Chrisan, Anisa L. Umoro, Anna C. Suwardi, Bayu Setyawan, Cut Fitri Indah Sari H., Nasikhatun Listya A.F., Novie Lucky A., Novian, Uticha Sally, Yan Abrar
            Jaringan narkoba internasional sangat mengandalkan transportasi dan dalam peredaran narkoba, baik itu melalui jalur darat, laut ataupun udara, di pelabuhan dan bandar udara internasional, pertumbuhan pesat dalam perdagangan internasional juga telah memfasilitasi perdagangan narkotika, karena volume yang diangkut di seluruh dunia membuat sulit bagi pihak berwenang untuk mendeteksi pengiriman narkoba.            Perkembangan besar lain selama beberapa dekade terakhir adalah peningkatan lalu lintas udara. Jumlah pesawat yang beroperasi meningkat lebih dari 80 persen pada 1990-2009 atau 3,2 persen per tahun. Dikombinasikan dengan penjualan tiket yang makin murah, kenaikan ini telah bertindak sebagai insentif bagi kelompok peredaran narkotika untuk mengambil keuntungan dari volume yang lebih besar lalu lintas udara, baik dengan mempekerjakan banyak orang untuk mengangkut obat-obatan terlarang lintas batas di dalam tubuh mereka atau dengan menyembunyikan obat di dalam angkutan udara atau paket pos. Globalisasi telah memberi kemudahkan bagi pengedar narkoba untuk memperluas usahanya. Hal ini dimungkinakan dengan mudahnya transportasi internasional pada era globalisasi, perpindahan manusia yang sangat dinamis, kemudahan fasilitas bank dan komunikasi yang cepat. Semua keunggulan akibat sistem globalisasi ini mampu dimanfaatkan jaringan pengedar narkoba untuk semakin memperbesar dan memperluas jangkauan bisnisnya[1]. Kemudahan in memungkinkan opium yang ditanam di Afghanistan misalnya bisa dengan cepat dinikmati konsumennya yang ada di Eropa maupun Amerika.

Peredaran Narkoba Sebelum dan Sesudah Globalisasi


Oleh: Ahmad Anwar, Angela Merici Chrisan, Anisa L. Umoro, Anna C. Suwardi, Bayu Setyawan, Cut Fitri Indah Sari H., Nasikhatun Listya A.F., Novie Lucky A., Novian, Uticha Sally, Yan Abrar           
         Opium dan ganja merupakan beberapa produk narkotika paling awal dikenal. Pada awalnya, baik opium maupun ganja ditanam untuk diambil manfaatnya sebagai bumbu masak dan keperluan pengobatan.  Selain itu beberapa varietas ganja dikenal memiliki serat yang bagus dan dapat dimanfaatkan sebagai bahan anyaman. Hingga kemudian setelah efek lain dari opium dan ganja ditemukan pemasaran kedua produk tersebut dibatasi. Keduanya dikenal mampu menimbulkan efek halusinasi pada pemakainya sehingga pengaturan penggunaannya mulai dibatasi. Pada perkembangannya, dengan kemajuan teknologi maka ditemukan  jenis-jenis narkoba sintesis dan semi sintesis. Penemuan ini memungkinkan untuk produksi narkoba secara besar-besaran.  Beberapa narkoba jenis sintesis ini disinyalir lebih potent dari yang alami sehingga dinilai lebih berbahaya.

Pengertian dan Jenis-Jenis Narkoba


Oleh: Ahmad Anwar, Angela Merici Chrisan, Anisa L. Umoro, Anna C. Suwardi, Bayu Setyawan, Cut Fitri Indah Sari H., Nasikhatun Listya A.F., Novie Lucky A., Novian, Uticha Sally, Yan Abrar
Narkoba merupakan singkatan dari narkotika, psikotropika, dan bahan aktif lainnya. Dalam pengertian yang lebih luas, narkoba adalah obat, bahan atau zat yang bila masuk ke dalam tubuh manusia, baik melalui mulut, atau dihirup maupun melalui suntikan akan mempengaruhi kinerja otak atau susunan saraf pusat.[1] Narkotika mempunyai daya adiksi (ketagihan), daya toleran (penyesuaian), daya habitual (kebiasaan) yang sangat kuat, sehingga menyebabkan si pemakai tidak bisa terlepas dari pemakaiannya. Contohnya adalah Ganja, Morfin, dan beberapa obat bius yang digunakan oleh kedokteran. Sementara psikotropika merupakan zat atau obat bukan narkotika yang memiliki kasiat psikoaktif melalui pengaruh selektif pada susunan saraf pusat yang menyebabkan perubahan khas pada aktifitas normal dan perilaku. Biasanya ini digunakan dokter untuk mengobati gangguan jiwa. Beberapa contoh antara lain adalah valium, ekstasi, shabu, kecubung dan sebagainya. Bahan adiktif lainnya adalah zat-zat selain narkotika dan psikotropika yang bisa menimbulkan ketergantungan.[2] Contohnya rokok, beberapa alkohol atau minuman memabukan dan membuat ketagihan.
Narkoba mengacu pada senyawa-senyawa yang dapat meberikan rasa ketagihan. Sebagaimana yang sudah disebutkan, dalam dunia kedokteran, senyawa-senyawa ini digunakan untuk kepentingan medis seperti obat bius operasi dan sebagainya. Namun dalam perkembangannya, perspektif tersebut disalah artikan akibat penggunaan senyawa tersebut diluar peruntukan dan dosis yang semestinya. Dalam perkembangannya terdapat beberapa jenis narkoba yang beredar di pasaran. Berdasarkan efek yang ditimbulkan terhadap pemakainya, narkoba dikelompokkan sebagai berikut:

Peredaran Narkoba Dalam Era Globalisasi dan respon Dunia Internasional


Oleh: Ahmad Anwar, Angela Merici Chrisan, Anisa L. Umoro, Anna C. Suwardi, Bayu Setyawan, Cut Fitri Indah Sari H., Nasikhatun Listya A.F., Novie Lucky A., Novian, Uticha Sally, Yan Abrar

            Globalisasi membawa banyak perubahan dalam dunia internasional. Salah satunya globalisasi mengakibatkan garis batas antar negara semakin tipis dan tidak terlihat. Karena itu manusia dan barang dapat bergerak dengan mudah dari negara satu ke negara lainnya. Selain itu masyarakat pun diberi kemudahan untuk mendapatkan informasi mengenai situasi yang sedang terjadi di belahan bumi lainnya. Globalisasi telah mendorong masyarakat tidak hanya menjadi bagian dari komunitas suatu negara melainkan juga telah menjadi warga negara internasional yang hidup di lingkungan global.
            Globalisasi bisa di ibaratkan seperti sebuah koin yang mempunyai dua sisi. Globalisasi telah memberi kemudahan bagi dunia internasional di satu sisi, sementara disisi lainnya globalisasi membawa dampak buruk bagi dunia internasional. Sebab kemudahan yang ditawarkan globalisasi justru semakin memfasilitasi kegiatan ilegal yang terjadi dengan melintasi batas-batas yuridiksi negara. Akibatnya kegiatan illegal yang semula hanya dianggap sebagai tindak kriminal biasa kini dianggap sebagai kegiatan yang mengancam keamanan (security) suatu negara. Kegiatan ilegal ini kemudian disebut dengan kejahatan transnasional.
            Kejahatan transnasional atau kejahatan global pada awalnya dicetuskan oleh United Nations Crime Prevention and Criminal Justice Branch tahun 1976. Hal ini dilakukan untuk mengidentifikasi fenomena kriminal yang melintasi batas negara, melanggar hukum di beberapa negara dan memiliki efek pada negara lainnya. Kemudian, dibuat konsep baku mengenai kejahatan global yaitu pelanggaran di mana eksekusinya, pencegahan dan efek langsung maupun tidak langsungnya mempengaruhi lebih dari satu negara. Dengan kata lain, suatu kejahatan dikatakan sebagai kejahatan global dapat dilihat dari dua sisi. Pertama, pelakunya. Dengan adanya berbagai kemudahan karena globalisasi, para pelaku kejahatan akan mendapatkan peluang untuk membentuk jaringan bahkan hingga melewati batas negara. Kedua, dampaknya. Dampak yang ditimbulkan dari kejahatan global akan dirasakan oleh satu atau lebih pihak yang berada di negara lain atau banyak negara.   

Karakteristik Negara lemah


Oleh: Aan
Secara umum paradigma yang berkembang bahwa negara kuat ialah negara yang mampu menyediakan kebutuhan fundamental bagi negaranya, baik dari segi keamanan militer, sosial, ekonomi, maupun politik pemerintahan yang baik. Asumsi ini memang relatif. Begitu pula dengan pengertian negara lemah (weak state), karena hampir tidak ada kesepakatan yang universal dalam mendefinisikannya. Komisi Negara Lemah dan Keamanan Nasional AS misalnya, memperkirakan ada 50 sampai 60 negara berstatus lemah. Departemen Pembangunan Internasional Inggris misalnya, mengklasifikasikan 46 negara dengan 870 juta penduduknya sebagai negara rapuh (fragile).[1]
Kita melihat beberapa negara di dunia di dalamnya terdapat kelompok-kelompok, etnis-etnis yang berkonflik. Baik yang terjadi di dalam satu wilayah kekuasaan berdaulat atau lebih. Secara status, negara tersebut merdeka, tetapi pada kenyataannya tidak benar-benar berdaulat. Dalam beberapa aspek, tidak hanya keamanan militer, tetapi secara sosial-ekonomi kurang berkembang, bahkan terpuruk. Bahkan di level pemerintahan dipenuhi elit-elit berkepentingan kelompok. korupsi pun merajalela.
Gambaran tersebut tidak bisa memberikan pengertian secara valid tentang negara lemah. Sehingga perlu ada pendekatan melalui kategori tertentu. Namun setidaknya, karakteristik negara lemah dan negara gagal dapat dilihat melalui elemen berikut:[2]

Konflik Senjata dan Arsitektur Keamanan Global



A.Oleh: Adi Rio Arianto Salamun, Arif Muliawan, Arizona Flora Krisandy, Farida Choirunisa, Diakonia Pungkassari, Evita, Frederik Sarira, Meutia Larasati, Muhtar Lutfi, Zulkifli H. Manna
Penyebaran SALW memiliki dampak merugikan pada keamanan global, tersedianya bahan baku menciptakan konflik yang pada akhirnya mendestabilisasi wilayah dan memperburuk keamanan internasional. Perdagangan senjata sering menghambat keberhasilan pelaksanaan operasi penjaga perdamaian dan melemahkan inisiatif pengembangan proses perdamaian internasional, juga mengurangi potensi keamanan di tingkat regional dan global. Banyak ancaman keamanan yang kita hadapi saat ini berbentuk organisasi, dimana negara dan wilayah lainnya dapat dihubungkan dengan masalah penyebaran SALW. Teroris, kelompok kriminal terorganisir, pemberontak dan bahkan bajak laut, sering detemukan bahwa kejahatan mereka lebih mudah untuk dijalankan karena akses mudah mereka ke senjata-senjata ini.
Ketersediaan SALW telah menjadi faktor utama dalam peningkatan jumlah konflik, dan menghambat pembangunan perdamaian pasca konflik. Diperkirakan, dari setengah miliar SALW di seluruh dunia, sekitar 300.000 sampai setengah juta orang di seluruh dunia terbunuh oleh SALW setiap tahun, mereka adalah penyebab utama korban sipil dalam konflik modern. SALW merupakan ancaman besar dan luas terhadap keamanan negara, masyarakat dan individu. SALW adalah senjata utama yang digunakan dalam sebagian besar konflik baru dan kekerasan bersenjata.