“Aku bersyukur dilahirkan di Indonesia, dimana senyum masih menjadi karakter, budaya masih apik terjaga, dan optimisme masih menyulut semangat. Aku berharap, anak-anakku kelak harus lebih bangga dariku dalam memandang dan memperjuangkan Indonesianya. Jaya Selalu Negeriku Indonesia, Jayalah Selama-lamanya”

Penyelesaian konflik di Palu Perlu Pendekatan Keagamaan


Oleh : Haryo Prasodjo-09260012
Studi Perdamaian dan Resolusi Konflik


Republika 06 April 2012,
Bentrok antara dua warga di Palu Sulawesi Tengah kembali meletus Rabu 4 April 2012, Kedua warga yang bentrok tersebut berasal dari dua kelurahan yang bertetangga yaitu kelurahan Nunu Kecamatan Palu Barat dengan Kelurahan Tavanjuka Kecamatan Palu Selatan, kurang lebihnya enam rumah dan dua sepeda motor dibakar massa, serta dua nyawa melayang dalam konflik tersebut, Menurut Kadiv Humas Mabes Polri IrjenPol Saud Nasution beberapa waktu lalu, bahwa kasus perkelahian antara kelompok pemuda dikedua kelurahan tersebut sudah lama terjadi tepatnya sejak tahun 1996 Bahkan kedua belah pihak merupakan saudara adapun pemicunya merupakan hal yang sepele, seperti dendam lama yang menjadi perbincangan pemuda di kelurahan tersebut, “sadara saya dulu pernah di bunuh oleh  si A” kemudian  munculah niatan untuk balas dendam, ataupun dari suara bising knalpot motor dengan terikan-teriakan dengankata-kata kasar, akhirnya kedua pihak akan terpancing dan bentrokan kembali terjadi. Menurut salah satu warga yang bernama Ahmad Ramadhan yang ditemui di posko lokasi bentrik diPalu mengatakan, tokoh-tokoh agama dan tokoh-tokoh masyarakat harus duduk bersama membahas langkah konkret penyelesaian konflik antara warga.

Analisis Teori dan Pendekatan
Jenis Konflik
Konflik yang terjadi antara warga kedua kelurahan tersebut adalah dikarnakan adanya hubungan social yang kurang harmonis dan didukung dengan latar belakang konflik sebelumnya dan juga motif dendam.
Dalam konflik antar warga dipalu ini dapat dijelaskan melalu teori terjadinya konflik yang berupa
Kesalah Persepsi
dimana kesalahan persepsi sering kali muncul karena carapandang yang subyektif, sehingga tidaklah mudah untuk mengetahui mana yang benar, ibarat sebuah bola, inti bola adalah kebenaran itu sendiri sedangkan yang menyelimuti inti adalah persepsi-persepsi yang ditimbulkan oleh subyek, dalam hal ini kebenaran selalu tertutupi oleh persepsi-persepsi  yang belum tentu benar (mirror image perception).
Dalam konflik ini setiap warga kelurahan, masing-masing memiliki persepsi yang berbeda-beda yang ditimbulkan oleh lingkungan dimana individu tersebut tinggal, sehingga persepsi yang dibentuk sedikit banyak dipengaruhi oleh lingkungannya, yang mana persepsi yang didapat adalah negative seperti dalam hal “balas dendam karena dulu saudaranya pernah dibunuh”, merupakan salah satu persepsi yang belum tentu kebenarannya
The Contact Hyphothesis Teories
Sebagaimana yang dijelakan dalam konflik ini yaitu konflik yang terjadi diakibatkan karena kegagalan mengenal pihak lain akibat ketidak tahuan atau tidak adanya informasi yang memadai, hal ini pulalah yang pada akhirnya membawa kedua belah pihak (warga kedua kelurahan) terjebak pada persepsi-persepsi yang ada disekitarnya dan celakanya lagi persepsi tersebut memiliki nilai yang negatif dan memiliki potensi untuk menimbulkan konflik fisik.
Adapun pendekatan yang dapat digunakan
Rasa Ketidak Amanan
Salah satu faktor yang menimbulkan konflik adalah adanya rasa ketidak amanan dalam diri setiap warga kedua kelurahan tersebut, dimana setiap warga merasa dirinya selalu dalam ancaman dari warga kelurahan lainnya, sehingga menyebabkan timbulnya persepsi-persepsi yang negative tersebut, belum lagi ditambah dengan pengalaman-pengalaman dari konflik yang sering terjadi sebelumnya.


Resolusi Konflik
Adapun resolusi konflik yang digunakan dapat dijelaskan melalui beberapa pendekatan dibawah ini
Metode Kearifan Lokal
Pendekatan resolusi konflik semacam ini sangat cocok digunakan dinegara seperti Indonesia, hal ini lebih dikarenakan keberanekaragaman etnik dan budaya dalam masyarakatnya, dan juga masyarakat Indonesia khususnya yang tinggal di wilayah daerah masih menjunjung tinggi budaya dan aturan adat yang berlaku dalam kelompok masyarakatnya jika masyarakat jawa bias dilihat dari acara “Bancaan” atau “ Tumpengan”, yang biasa digunakan sebagai wadah tatap muka dan bermusyawarah, karena suasannya lebih santai dan kekeluargaan, tidak ada lagi batas-batas yang memisahkan warganya secara vertical dan semua berada dalam posisi horizontal yang memungkinkan terjadinya komunikasi yang efektif dan intensif.
Mediasi
Masih sama dengan konsep kearifan local, dimana pendekatan ini juga membuthkan komunikasi dua arah antara pihak yang terlibat konflik tersebut, fungsinya adalah untuk menghilangakn persepsi-persepsi tersebut, sehingga tidak ada lagi hal-hal yang menjadi tanda Tanya, adapun dalam hal mediasi diperlukan adanya intervensi dari phak ketiga, dalam konteks ini, pihak ketiga yang menjadi mediator adalah kiyai atau tokoh setempat yang memiliki pengaruh dan dapat melakukan komunikasi secara intens kepada masyarakat setempat dengan membeikan pengertian dan penjelasan, karena akar dari konflik hamper dipengaruhi oleh adanya komunikasi yang kurang sehingga menimbulkan adanya persepsi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar