Oleh: Aghnaita Firdayanti 09260010
Tugas ketiga Politik Internasional
Pulau Sipadan dan Lingitan merupakan
objek sengketa internasional antara Indonesia dan Malaysia. Pulau Sipadan
dengan luas 10,4 ha terletak 15 mil laut (sekitar 24 km) dari pantai Sabah
Malaysia dan 40 mil laut atau 64 km dari pulau Sebatik Indonesia. Sedangkan
pulau Lingitan dengan luas 7,9 ha terletak sekitar 21 mil laut atau sekitar 34
km dari pantai Sabah Malaysia dan 57,6 mil laut atau 93 km dari pulau Sebatik
Indonesia.
Persengketaan antara Indonesia dan
Malaysia mencuat pada tahun 1973 ketika dalam pertemuan teknis hukum laut
antara kedua belah negara, masing masing negara ternyata memasukkan pulau
Sipadan dan Lingitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Dengan temuan tersebut Indonesia
merasa berkepentingan untuk mengukuhkan pulau Sipadan dan Lingitan, maka
dicarilah dasar hukum dan fakta historis serta bukti lain yang dapat mendukung
kepemilikan dua pulau tersebut. Di saat yang sama Malaysia mengklaim bahwa dua
pulau tersebut merupakan miliknya sesuai peta unilateral 1979 Malaysia, serta
mengemukakan sejumlah dalil, alasan dan fakta. Namun kedua belah pihak untuk
sementara sepakat mengatakan dua pulau tersebut dalam “status quo” dan pada
tahun 1989 masalah pulau Sipadan dan Lingitan mulai dibicarakan kembali oleh
dua belah negara.
Pada tahun 1992, kedua negara sepakat
menyelesaikan masalah ini secara bilateral yang diawali dengan pertemuan
pejabat tinggi kedua negara. Hasil pertemuan pejabat tinggi menyepakati
perlunya dibentuk Komisi Bersama dan Kelompok Kerja Bersama (Joint Commision (JC), Joint Working Group
(JWG)). Namun dari serangkaian pertemuan JC dan JWG yang dilaksanakan tidak
membawa hasil, kedua pihak berpegang pada prinsipnya masing masing yang berbeda
untuk mengatasi permasalahan ini. Pada pertemuan tanggal 6-7 Oktober 1996 di
Kuala Lumpur Presiden Soeharto dan PM. Mahathir menyetujui rekomendasi wakil
khusus, dan 31 Mei 1997 disepakati “Special
Agreement for The Submission to the International Court of Justice the Dispute
between Indonesia and Malaysia concerning the Sovereignty over Sipadan and
Lingitan Island”. Special agreement tersebut lalu disampaikan secara resmi
ke Mahkamah Internasional pada 2 November 1998. Dengan itu proses ligitasi
pulau Sipadan dan Lingitan di Mahkamah Internasional mulai berlangsung. Kedua
negara memiliki kewajiban penyampaian posisi masing masing melalui “Written Pleading” kepada Mahkamah
Memorial pada 2 November 1999 diikuti “Counter
Memorial” pada 2 Agustus 2000 dan “Reply”
pada 2 Maret 2001. Lalu dilanjut dengan proses “Oral Hearing” dari kedua negara yang bersengketa pada 3-12 Juni
2002.
Special Agreement adalah
persyaratan prosedural yang memungkinkan mahkamah memiliki jurisdiksi terhadap
kasus yang dibawa ke Mahkamah Internasional. Masalah pokok yang dimintakan
dalam Special Agreement adalah Mahkamah Internasional dapat memutus suatu
perkara berdasarkan perjanjian-perjanjian, fakta historis dan dokumen-dokumen
yang diberikan oleh Indonesia dan Malaysia ke pengadilan. Special Agreement
juga mencantumkan tentang kesediaan dua belah negara untuk menerima hasil
keputusan dewan juri dengan lapang dada dan menerimanya sebagai keputusan yang
bersifat akhir dan mengikat.
Putusan
Mahkamah Agung
1. Menolak argumentasi
Malaysia bahwa kedua pulau sengketa pernah menjadi bagian dari wilayah yang
diperoleh Malaysia berdasarkan kontrak pengelolaan privat Sultan Sulu dengan
Sen-Overbeck/BNBC/Inggris/Malaysia. Mahkamah juga menolak argumentasi Malaysia
bahwa kedua pulau termasuk dalam wilayah Sulu/Spanyol/AS/Inggris yang kemudian
diserahkan kepada Malaysia berdasarkan terori rantai kepemilikan (Chain of
Title Theory). Menurut Mahkamah tidak satupun dokumen hukum atau pembuktian
yang diajukan Malaysia berdasarkan dalil penyerahan kedaulatan secara estafet
ini memuat referensi yang secara tegas merujuk kedua pulau sengketa.
2. Menolak argumentasi Indonesia bahwa kedua pulau sengketa
merupakan wilayah berada di bawah kekuasaan Belanda berdasarkan penafsiran atas
pasal IV Konvensi 1891. penafsiran Indonesia terhadap garis batas 4° 10' LU
yang memotong P. Sebatik sebagai allocation line dan berlanjut terus ke arah
timur hingga menyentuh kedua pulau sengketa juga tidak dapat di terima
Mahkamah. Kejelasan perihal status kepemilikan kedua pulau tersebut juga tidak
terdapat dalam Memori van Toelichting. Peta Memori van
Toelichting yang memberikan ilustrasi sebagaimana penafsiran Indonesia
atas pasal IV tersebut dinilai tidak memiliki kekuatan hukum karena tidak menjadi
bagian dari konvensi 1891. mahkamah juga menolak dalil alternatif Indonesia
mengingat kedua pulau sengketa tidak disebutkan di dalam perjanjian kontrak
1850 dan 1878 sebagai bagian dari wilayah Kesultanan Bulungan yang diserahkan
kepada Pemerintah Kolonial Belanda.
3. Penguasaan efektif dipertimbangkan sebagai masalah yang
berdiri sendiri dengan tahun 1969 sebagai critical date mengingat
argumentasi hukum RI maupun argumentasi hukum Malaysia tidak dapat membuktikan
klaim kepemilikan masing-masing atas kedua pula yang bersengketa.
i. Berkaitan dengan pembuktian effectivities Indonesia,
Mahkamah menyimpulkan bahwa tidak ada bukti-bukti kuat yang dapat mewujudkan
kedaulatan oleh Belanda atau Pulai Sipadan dan Pulau Ligitan. Begitu pula
halnya, tidak ada bukti-bukti dan dokumen otentik yang dapat menunjukkan adanya
bentuk dan wujud pelaksanaan kedaulatan Indonesia atas kedua pulau dimaksud
hingga tahun 1969. Mahkamah tidak dapat mengabaikan fakta bahwa UU No.
4/Prp/1960 tentang Perairan yang ditetapkan pada 18 Pebruari 1960-yang
merupakan produk hukum awal bagi penegasan konsep kewilayahan Wawasan
Nusantara- juga tidak memasukkan Sipadan-Ligitan ke dalam wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
ii. Berkaitan dengan pembuktian effectivies Malaysia,
Mahkamah menyimpulkan bahwa sejumlah dokumen yang diajukan menunjukkan adanya
beragam tindakan pengelolaan yang berkesinambungan dan damai yang dilakukan
pemerintah kolonial Inggris sejak 1917. serangkaian upaya Inggris tersebut
terwujud dalam bentuk tindakan legislasi, quasi yudisial, dan administrasi atas
kedua pulau sengketa, seperti :
a. Pengutipan pajak terhadap kegiatan
penangkapan penyu dan pengumpulan telur penyu sejak 1917.
b. Penyelesaian sengketa dalam kegiatan
pengumpulan telur penyu di P. Sipadan pada tahun 1930-an;
c. Penetapan P. Sipadan sebagai cagar
burung, dan
d. Pembangunan dan pemeliharaan mercu
suar sejak tahun 1962 di P. Sipadan dan pada tahun 1963 di P. Ligitan
Cara Penyelesaian :
Untuk
mencegah berulangnya kejadian serupa, maka Pemerintah Indonesia harus menangani
secara lebih serius masalah wilayah perbatasan dan pulau- pulau yang berbatasan
dengan negara tetangga.Bayangkan saja untuk memperjuangkan Sipadan-Ligitan di
Mahkamah Internasional harus keluar dana lebih dari Rp16 miliar. Dan itu bukan
uang yang sedikit terlebih lagi kehilangan satu pulau berarti ancaman terhadap
integritas wilayah Indonesia. Hal ini penting, karena sengketa pulau yang
dimiliki Indonesia bukan saja Sipadan-Ligitan, tetapi banyak pulau lainnya.
Selain itu, ini juga bisa menjadi preseden buruk terhadap pertanggungjawaban
pemerintah untuk mempertahankan eksistensi keutuhan wilayah.
Sumber : http://studiespassions.wordpress.com
diakses pada 14 Juli 2012
thanks ya udah sharing :)
BalasHapussaya izin untuk menjadikan ini sebagai salah satu referensi untuk tugas saya ya..
BalasHapusizin copy buat tugas ya :)
BalasHapusIzin copy juga yah utk analisis tugas :)
BalasHapusjadi itu masalah lama ya ???
BalasHapusjadi itu masalah lama ya ???
BalasHapusIjin buat referensi makalah
BalasHapus