Oleh: Wadatun Hasanah
PENDAHULUAN
LATAR
BELAKANG
HUBUNGAN
INDIA CINA
Kebangkitan Cina dalam bidang
ekonomi dan persenjataan sepanjang dekade 1990-an menimbulkan berbagai macam
tanggapan dikalangan ASEAN. Walaupun secara ekonomi Cina menjadi semakin
menantang, pada saat yang sama cina juga muncul sebagai ancaman bagi ASEAN.
Hubungan China dan ASEAN ditandai dengan kecurigaan satu sama lain pada
awalnya. Cina menganggap kehadiran ASEAN dalam politik regional sebagai bentuk
lain dari ancaman barat. Negara negara ASEAN mecurigai cina sebagai induk dari
gerakan komunis di Asia Tenggara. Lebih dari itu, mayoritas penduduk
negara-negara ASEAN adalah muslim dan kristen sementara penduduk China komunis
ateis. Banyaknya cina perantauan yang sukses dinegara-negara ASEAN menambah
daftar kecurigaan terhadap Cina atas kemungkinan gerakan politiknya.[1]
Sebenarnya
China telah lama melakukan perubahan dalam kebijakan luar negerinya. Dimulai
sejak tahun 1978, China berusaha menjadi salah satu dari negara yang mapan.
Dibawah komando Deng Xiou Ping cina melancarkan reformasi politik ekonominya.
Hal itu berlanjut hingga kini China benar-benar menjadi negara yang bisa
dianggap maju dalam bidang ekonomi.
Karena kepentingan ekonomi merupakan
poros utama politik luar negerinya, China mengalihkan sumber ideologis dan
orientasinya, yaitu dari komunisme militan menjadi nasionalisme pragmatik.
Untuk itu China telah menyusun Comprehensive National Power untuk perumusan
nasionalisme dalam praktik. Konsep power mengacu kekuatan bangsa mencakup
seluruh sumber daya aktual maupun potensial yang dimiliki China
(comprehensive), baik kultural, ekonomi, militer, geografi, jumlah penduduk,
dan sebagainya yang, setelah dikalkulasi, diharapkan bisa mengetahui kekuatan
tawar China.
Sehingga China mulai mendekati ASEAN
dengan mengurangi dukungan terhadap gerakan komunis, dengan berbagai upaya
seperti menutup radio rakyat thailand pada tahun 1979 di Yunan, lalu pada tahun
1983 Cina kebali menutup siaran radio komunis (suara demokrasi Malaya)[2].
Kunjungan perdana menteri Li Peng ke thailand tahun 1988 menandai babak baru
hubungan Cina –ASEAN. Dalam kunjungan ini Li Peng menjelaskan kebijakan dasar
Cina terhadap ASEAN yang berupaya untuk memperbaiki dan mengembangkan hubungan
Cina-ASEAN. Lalu seiring berjalannya waktu sebagai realisasi dari konsepsi baru
kebijakan luar cina terhadap ASEAN, cina menjadikan dekede akhir abad ke-20an
sebagai pembinaan hubungan baik dengan ASEAN, sehingga Cina mulai meningkatkan
investasinya di ASEAN,yang tentunya hal itu mendorong pada kemajuan ekonomi
Cina.
Untuk memulai, dalam
menanggapi kemajuan ekonomi China yang terus meningkat, suatu perjanjian dapat
dirancang guna menciptakan lingkungan keamanan kawasan yang damai. Untuk
menanggapi kekhawatiran yang muncul di kawasan terhadap tumbuhnya kekuatan
China adalah dengan cara mengintegrasikan diri dengan ASEAN, sehingga
meminimalkan potensi konflik. Analis China menyarankan bahwa CAFTA harus
dilihat dari perspektif strategis dan bagian dari penciptaan perdamaian.
Geo-ekonomi dan interaksi ekonomi yang lebih luas dengan ASEAN akan mendukung tujuan-tujuan
ini. Untuk mendahului strategi Taiwan yang melirik ke Asia Tenggara, China
harus memberikan perhatian yang lebih besar bagi pengembangan wilayah barat
daya (Yunnan dan Guangxi khususnya) untuk mengembangkan dan memperkuat hubungan
ekonomi dengan negara-negara
Dengan mengambil peran
utama dalam membentuk FTA, China juga berharap untuk dapat memainkan peran yang
lebih menonjol sebagai pusat kawasan pertumbuhan ekonomi. Dan dengan
berinvestasi lebih banyak di kawasan dan penerapan "Early Harvest Program,"
dapat memberikan perlakuan istimewa pada produk pertanian negara-negara Asean
dalam hal penurunan tarif dan akses pasar- Beijing berupaya untuk mengatasi
anggapan "ancaman China," tidak di area keamanan, tetapi dalam
konteks persaingan ekonomi. Dan akhirnya, dengan memasukkan pengaturan
perdagangan bebas berbasis-aturan, China juga ingin menunjukkan sikap
penerimaan atas multilateralisme, menghormati normanormada n aturan[3].
Selain
China, Negara India juga merupakan ancaman kedua yang membayangi masa depan
ekonomi bagi Asia Tenggara. Sama halnya dengan hubungan Cina dan Asia Tenggara
yang pada mulanya dimulai dari hubungan tidak baik, begitu pula dengan hubungan
antara India dan Asia Teggara. Selama tahun 1980-an, hubungan antara India dan
ASEAN mengalami ketidakpastian dan diganggu oleh berbagai perbedaan politik dan
diplomatik namun lambat laun india dan Asteng mulai menghasilkan kompromi
hubungan ekonomi antara mereka. Namun, dengan runtuhnya Uni Soviet, India mulai
mengorientasikan kembali prioritas kebijakan luar negerinya. India memulai Look
East Policy dan membina kembali hubungan ekonomi dengan Asia Tenggara.
Dengan meningkatnya
pertumbuhan ekonomi dan kemunculan India sebagai salah satu aktor yang
berpengaruh di kawasan itu, India juga menerapkan kebijakan untuk membentuk hubungan ekonomi
dan strategis yang lebih erat dengan ASEAN. Pada KTT ASEAN-India kedua di Bali
pada bulan Oktober 2003, India dan ASEAN menandatangani kesepakatan untuk
membentuk Kawasan Perdagangan Bebas. Kehadiran India pada Pertemuan KTT Asia
Timur pada Desember 2005 dan dimasukkan dalam Komunitas Asia Timur, telah
menjadi bukti terhadap tumbuhnya sinergi di antara mereka dan menunjukkan
prospek yang cerah terhadap terwujudnya integrasi yang lebih besar di kawasan
di masa yang akan datang[4].
Tentu saja hubungan yang dibina oleh India dan Asteng selama ini mempunayi
tujuan yang konkrit.
Rumusan
Masalah
Dari uraian diatas kita bisa
melihat bahwasanya perkembangan ekonomi yang dicapai oleh negara Cina dan India
memberikan banyak pengaruh dan tanggapan,lalu yang menjadi pertanyaan disini
adalah mengapa china politik atau strategi yang dilakukan oleh China dan India
terutama di kawasan ASEAN?
PENDEKATAN
NEO
LIBERAL
Pemikiran
ekonomi liberal menjadi terkenal ketika Adam Smith, seorang skotlandia
menerbitkan buku pada 1776 berjudul THE WEALTH OF NATIONS. Dimana ia
mengadvokasikan penghapusan intervensi pemerintah dalam masalah perekonomian.
Tidak ada pembatasan dalam manufaktur, tidak ada sekat perdagangan, tidak ada
tarif, dia juga menyatakan bahwa perdagangan bebas adalah cara terbaik
bagi perekonomian suatu bangsa untuk berkembang. Saat ini ekonom seperti
Friedrich von Hayek dan milton Friedman mengulang argumentasi klasik dari Adam
Smith dan JS Milton, yaag menyatakan bahwa masyarakat pasar kapitalis adalah
masyarakat yang bebas dan produktif.
Liberalisme
yang kemudian hari berenkarnasi menjadi sebuah paham baru dengan nama
Neoliberalsme. Neo liberalisme muncul dalam panggung ekonomi internasional. Neoliberalisme mengindikasikan
penguatan dalam arus modal dan perdagangan dunia sehingga mengakibatkan
beralihnya perimbangan kekuasaan dari negara kepada pasar. Neo liberal memberi
kepercayaan yang demikian besar kepada perusahaan-perusahaan untuk berinvestasi dan “memperluas”
usaha.
Hal ini pula yang dilakukan oleh
negara Cina dan India. 2 negara ini mencoba melihat peluang ini dalam
mengepakan sayapnya di dunia internasionla, terutama dikawasan Asia Tenggara. Cina
misalnya hal ini bisa dilihat dari berbagi macam kebijakan yang
ada seperti ada KTT ASEAN ke-delapan di Phnom Penh, Kamboja, pada bulan
November 2002, pada kesempatan ini China dan ASEAN menandatangani the
Framework Agreement on Comprehensive Economic Cooperation. Jika hal ini
diimplementasikan, akan merupakan pasar umum bagi 1,7 miliar orang, dengan
produk domestik bruto gabungan (PDB) sebesar US $ 1,5-2 milyar. Kedua belah
pihak berusaha membangun kawasan perdagangan bebas (FTA) dalam waktu 10 tahun, pertama
dengan ASEAN asli-6 pada tahun 2010, diikuti oleh seluruh ASEAN-10 pada tahun
2015. Inisiatif sebagian besar berasal dari China, seperti diakui bahwa selama
ini negara anggota ASEAN merasa khawatir terhadap pertumbuhan ekonomi China,
efek crowding-out arus investasi ke Asia Tenggara dan peningkatan
persaingan ekonomi.
Setelah
Perdana Menteri Zhu mengusulkan ide FTA, an ASEAN-China Expert Group on
Economic Cooperation didirikan untuk menindaklanjuti proposal Zhu, serta dampak
dari bergabungnya China kedalam World Trade Organization (WTO) pada tahun 2001.
Hal ini juga merupakan respon terhadap krisis keuangan Asia 1997 dan oleh
karena itu perlunya pendekatan yang lebih regional untuk menghadapi tantangan
ekonomi di masa depan. Kerjasama juga meliputi proyek pembangunan Sungai Mekong
Basin yang telah didukung oleh Asian Development Bank dan disahkan oleh ASEAN
senilai US $ 2,5 miliar untuk pembangunan jalur kereta api Trans-Asia Kunming
dan Singapura.
Lalu
india, seperti yang kita tahu kini India merupakan pilihan empuk bagi investor
asing, bahkan bagi sebuah produk Unilever misalnya india dijadikan sebagi basis
industri tapal gigi. India berhasil menarik Amerika dan negara Eropa dalam
melayani kebutuhan konsumen di 2 kawasan tersebut. Hal ini malah semakin
menjadi peluang bagi india untuk masuk dalam kawasan Asia Tenggara dalam
penguatan ekonomi.
India menganggap ASEAN
sebagai inti kawasan Asia Timur dan percaya dalam meletakkan penekanan pada
interaksi dengan ASEAN. Dengan kekhawatiran yang mendalam mengenai pengaruh
Cina di kawasan, India mengajak ASEAN untuk membina keamanan multilateral di
kawasan Asia-Pasifik[5].
Pada
saat yang sama, seperti yang dijelaskan oleh Hong, "dari perspektif ASEAN
dan Jepang, India dianggap sebagai penyeimbang terhadap dominasi China di Asia
Tenggara, namun secara publik, India menghindari peran itu."Sebenarnya
daripada bersaing, India ingin mengembangkan hubungan komplementer dengan
China. Ada perasaan bahwa India tidak harus bersaing dengan China, tapi harus
mempersiapkan diri untuk menghadapi persaingan yang ketat dan kemungkinan
konflik di masa mendatang dengan cara bekerja sama.[6]
NATIONAL
INTEREST/KEPENTINGAN NASIONAL
Kepentingan China terhadap ASEAN
Di balik retorika
alih-alih kerjasama multi-polar, pemerintah China sekarang berbicara tentang
integrasi multilateral, dengan slogan "peaceful rise" menjadi "peaceful
development"-tidak lebih dari sekadar kamuflase atas kebijakan yang
tidak berubah secara mendasar. Ketergantungan terhadap investasi asing
langsung, dan meningkatnya ketergantungan dengan struktur ekonomi
internasional, dan pada impor sumber daya dan energi, China telah
berangsurangsur berubah menjadi hampir autarkic, ekonomi mandiri dengan ketergantungan
ekonomi terbesar di dunia. Hal ini berdampak ganda terhadap kebijakan
pemerintah China[7].
Dimana pemerintah harus memastikan kerangka politik sedinamis mungkin untuk
mencegah jatuhnya ketergantungan terhadap sistem ekonomi luar, tetapi pemerintah
juga bergantung pada sistem ini untuk mempertahankan kekuatan dan legitimasinya
sebagai partai yang berkuasa. Efek ganda ini mempengaruhi perilaku China dalam
hubungan eksternalnya.
Chinaberusaha mencari ruang baru untuk
memperluas pasar dan kemitraan baru untuk pengembangan, dengan tujuan ganda:
untuk memastikan terus masuknya sumber daya dan modal, dan untuk melindungi
kepentingan pasar dalam produksi ekspor. Namun, kebijakan pemerintah China juga
waspada terhadap usaha-usaha "campur tangan luar dalam urusan
internal." Kebijakan-kebijakan ini diarahkan pada setiap inisiatif atau
kegiatan di mana kepemimpinan melihat potensi ancaman terhadap dominasi,
kekuasaan atau legitimasi. China terus-menerus mempertahankan statusnya sebagai
negara berkembang, dan mengatakan bahwa sebagai proses dari transformasi, China
akan mau menerima bantuan lebih lanjut.
Retorika ini
berkorelasi langsung pada kepentingan strategis China terhadap negara-negara
mitranya di kawasan Asia dan Afrika. Secara eksternal, China berusaha keras
untuk meningkatkan reputasi dan image-nya sebagai agen yang bertanggung
jawab dan dapat diandalkan aktor dalam kerjasama antar negara. Dengan demikian,
di bawah premis noninterference, China sedang bergerak menuju kerjasama
multilateral, yang lebih atau kurang jelas-jelas diikat pada harapan-harapan
tentang negara mitranya untuk memajukan tujuan-tujuan termasuk pembangunan
ekonomi dan mempertahankan kelanjutan dari sistem politik sendiri. Secara umum
taktik China untuk melakukan kerja sama, termasuk dengan menggunakan kebijakan
yang lebih lunak (soft power policy) adalah untuk memperingatkan dunia
tentang konsekuensi dari masalah transnasional yang tidak menguntungkan yang
timbul dari dalam Chinamisalnya dalam sektor lingkungan-tapi pada saat yang sama,
China menantang negara-negara mitra untuk ambil bagian dalam memecahkan masalah
ini.
Beberapa mendorong
peningkatan kerja sama yang erat dengan China dengan tujuan untuk dapat menekan
kekhawatiran atas ekspansi imperialis China di Asia Timur. Pemikiran lainnya
menunjukkan bahwa pragmatisme tentang China secara negatif dapat mempengaruhi
kepentingan negara-negara kecil di kawasan, seperti dalam kasus Myanmar. Tentu
saja hal ini akan merusak atau melemahkan upaya ASEAN untuk menciptakan pondasi
politik yang satu dengan (misalnya) mendukung kolaborasi bilateral. Oleh karena
itu timbul kecurigaan yang mendalam bahwa membangun kerjasama dengan China yang
pragmatis ternyata bisa menjadi keputusan tergesa-gesa, misalnya jika krisis di
Taiwan bergejolak, hubungan China dengan Amerika Serikat memburuk, pasokan
energi terputus, atau stabilitas politik dalam negeri yang membahayakan.
Dengan demikian, dari
sudut pandang eksternal, setiap negara pasti akan ragu dengan tidak adanya
transparansi pada konsep jangka panjang kebijakan luar negeri dan regional
China. Beijing mengumumkan kriteria yang sangat retorik tentang "hidup dan
biarkan hidup," keadilan, tanggung jawab aktif, menahan diri dan tidak
campur tangan-untuk beberapa nama-adalah sangat bertentangan terhadap tindakan
China yang sewenang-wenang untuk sebagian besar negaranegara di kawasan,
kebijakan China saat ini dari selektif membuka atau menutup mata tergantung
pada kepentingannya sendiri dan secara mendasar tidak sesuai dengan harapan
eksternal.
Perwujudan peran
kebijakan regional China yang bermacam-macam, dalam spektrum yang meragukan
antara mempertahankan atau mengubah status quo di kawasan. Dalam setiap kasus,
untuk setiap konvergensi antara peningkatan ekuatan China dan negara-negara
ASEAN terletak pada sistem regional kolektif; kemampuan dalam bernegosiasi dan
tanggung jawab yang berkelanjutan.
Ada beberapa faktor
yang menyebabkan China membangun hubungan dengan ASEAN, khususnya dibidang
ekonomi, yaitu:
1. Kebijakan reformasi yang dijalankan
oleh pemerintah China.
2. Kebijakan China dalam hal berhubungan
dengan tetangga secara bersahabat.
3. Kedekatan geografis dan sejarah serta
budaya dengan ASEAN.
4. Keterbatasan bahan mentah di China
dan kepentingan nasional China yang ingin menggantikan posisi hegemoni dalam
perekonomian dengan jepang.
5. Dan karena orientasi kebijakan
ekonomi ASEAN yang memang berkeinginan kuat untuk menjalin hubungan ekonomi
dengan China.
Namun faktor yang
paling penting adalah perdagangan luar negeri. Perdagangan luar negeri adalah
pendorong bagi pembangunan ekonomi China- ASEAN. Oleh karena itu China dan
ASEAN berusaha untuk meningkatkan hubungan perdagangan luar negeri diantara
mereka sejak memasuki tahun 1990- an. Pola perdagangan China-ASEAN memasuki
dimensi baru dimana berkembangnya gejala interdependensi ekonomi membawa dampak
pada meningkatnya hubungan ekonomi China-ASEAN. Sejak China resmi menjadi mitra
dialog penuh ASEAN pada tahun 1996 dan keanggotaan China dalam ASEAN+3 sejak
tahun 1997 semakin mempererat hubungan bilateral China- ASEAN yang secara
otomatis semakin meningkatkan hubungan ekonomi khususnya perdagangan dan
investasi antar kedua pihak.
Kepentingan India terhadap ASEAN
Sejak awal dari
liberalisasi ekonomi, ekonomi India telah ditandai dengan tingkat pertumbuhan
stabil sekitar tujuh persen, tak kurang dari tingkat pertumbuhan di China.
Tidak seperti China, bagaimanapun, transformasi ekonomi India belum dipenuhi
oleh euforia global yang dramatis seperti kebangkitan China. Alasan yang paling
penting untuk fenomena ini adalah kenyataan bahwa India telah menjadi negara
demokrasi yang disegani dan pemain global sebelum memulai liberalisasi ekonomi[8].
Karena transformasi menjadi kompetitif, teknologi tinggi ekonomi, pertumbuhan
penduduk yang berkelanjutan, dan yang paling baru-baru ini, tergabung sebagai
anggota resmi dari "klub nuklir", posisi global India yang semakin
menguat tidak muncul dengan begitu saja. Konsekuensi dari proses liberalisasi
bisa lebih baik dibandingkan secara global, bukan di kawasan Asia Timur, karena
secara kawasan-ketika berbicara tentang kepentingan keamanan India, banyak
negara-negara di Asia masih sangat concern dengan kepemilikan nuklirnya
(bersama dengan Pakistan) dan memicu terjadinya beberapa disintegrasi yang
mengarah pada kekerasan dan terorisme.
Strategi "Look
East" baru, yang telah dilaksanakan sejajar dengan posisi India
sebagai satu aktor global, belum secara jelas didefinisikan. Pada kenyataannya,
India tidak dinyatakan dalam memproyeksikan kepentingan kekuasaan atau
pengaruhnya pada negara di sekitarnya. Harus disadari bahwa posisi geopolitik
India- sebagai quasi-pulau di sub-benua - adalah kerugian strategis India pada setting-an
kelembagaan ASEAN karena posisi India berada di pinggiran, dan tidak termasuk
dalam kawasan ASEAN.
Aspek lain adalah terkait dengan potensi
kekuatan eksplosif konflik sosial di negara yang akan segera memiliki populasi
terbesar di bumi. Potensi konflik tidak hanya ada di Kashmir, tetapi sekarang
juga tidak kurang dari empat titik masalah lain (provinsi) di daerah timur,
dengan kemungkinan akan menyebar ke provinsi yang lain di masa depan. Masalah
ketiga untuk India, tentu saja, adalah China. Meskipun terlihat tandatanda
kemajuan (yaitu, penyelesaian sengketa perbatasan, peningkatan perdagangan),
hubungan India dengan tetangga terbesar itu dianggap sangat penting, walaupun
masih sangat sensitif dan rapuh. India lebih berharap untuk lebih
mengkonsolidasikan hubungan, karena India tidak ingin dan tidak akan mampu
bersaing dengan China untuk memperebutkan hegemoni di Asia Tenggara. namun
hubungan ini jauh dari harapan untuk menjadi aliansi strategis yang saling
menguntungkan bagi kedua negara ini di panggung dunia. Hasil yang lebih
mendesak dari "Look East" strategi India adalah akses ke forum
multilateral ASEAN dan ASEM. India sangat memperhatikan hal ini, karena India
digunakan oleh lembaga ASEAN sebagai penyeimbang China.
Tidak seperti China,
India menunjukkan minat yang kurang untuk aktif terlibat dalam kerjasama
politik. Sejauh menyangkut kerjasama keamanan, India fokus pada keamanan maritim
untuk jalur laut di semenanjung Samudera Hindia (yaitu Hormuz dan Malaka).
Perubahan yang paling penting dalam kebijakan regional India adalah kurangnya
peranan untuk lebih berbicara di kawasan Selatan atau negara berkembang. India
berbicara dan bertindak dalam kapasitas sendiri, mengacu pada kepentingannya
sendiri dan memilih peran yang berpusat untuk semua kegiatan. Ironisnya,
kebijakan India telah demikian menjadi lebih "China": sedikit
mengandalkan nilai, lebih pragmatis dan lebih mengedepankan pencapaian
kepentingan. Tentu saja ini mungkin termasuk perilaku yang kurang bertanggung
jawab di bidang hubungan internasional pada tahun-tahun yang akan datang.
Tidak seperti China,
yang telah memilih untuk lebih dekat dan juga kerjasama politik, India
menganggap perannya lebih ad-hoc, lebih tergantung pada kepentingan tertentu,
lebih di satu bidang. Hal yang paling penting bagi India adalah harapannya
untuk pemenuhan pasokan energi dan kebijakan ekspor yang menguntungkan ke pasar
berkembang, Asia Tenggara. Berkenaan dengan pendekatan baru ini, India
menghadapi masalah serius.
Hubungan ekonomi dengan
ASEAN relatif lemah; India bergantung pada peningkatan ekspor (hampir 50 persen
per tahun). Anggota ASEAN merasakan tekanan ekspor ini dari India, merasa tidak
mendapat balasan yang menjanjikan, begitu juga dengan Kekecewaan tentang
kebijakan "economisasi" regional India. Beberapa ahli khawatir bahwa target India di
Asia Tenggara bukan didasarkan pada kepentingan yang nyata, tetapi lebih
sekedar untuk mendapatkan posisi yang lebih kuat vis-à-vis China.
Alasan kepentingan
India untuk menjalin kemitraan yang lebih dekat dengan ASEAN disebabkan karena:
1. Pendapatan per kapita ASEAN dua kali
lipat dari India dan memiliki peluang pasar yang cukup terbuka.
2. ASEAN memiliki basis sumber daya alam
yang kaya. India melirik kesempatan untuk dapat mengintegrasikan perusahaan
multinasionalnya untuk dapat berkembang di ASEAN.
3. Selain itu, negara-negara seperti
Malaysia, Singapura dan Thailand menjadi investor utama di India, khususnya
dalam kegiatan pembangunan infrastruktur dan modal ventura.
Dengan meningkatnya
persaingan, kebutuhan untuk tetap maju dalam era ekonomi global yang berbasis
pengetahuan, ASEAN-India harus memperluas dan memperdalam hubungan ekonomi
mereka. ASEAN-India harus bekerja sama di bawah Perjanjian Kerangka
Komprehensif Kerjasama Ekonomi dan merealisasikan potensi ekonomi mereka di
bidang perdagangan barang dan jasa dan investasi secepat mungkin. Dengan
demikian, ASEAN dan India dapat meningkatkan daya tarik masing-masing sebagai
tujuan FDI dan meningkatkan
daya saing mereka sebagai produsen,
eksportir dan penyedia layanan di pasar global.
Posisi China dan India di Asia Tenggara
Sebagian besar Negara
di Asia Tenggara mempunyai pandangan yang berbeda terhadap India. Pada satu
sisi, citra India diuntungkan dengan wilayah yang tidak terbebani oleh warisan
kolonial atau dengan persaingan untuk perebutan pengaruh hegemoni. Di sisi
lain, India tidak memainkan peran penting di kawasan Asia Selatan sampai saat
ini. Jumlah perdagangan timbal balik yang dapat diabaikan sampai satu dekade
yang lalu telah berubah sejak awal pertumbuhan ekonomi India pada akhir
1990-an. Tidak hanya ASEAN yang memiliki defisit perdagangan luar negeri dengan
pertumbuhan India dari tahun ke tahun, tapi kenaikan impor India dari daerah
lain di dunia juga telah berkembangkan lebih cepat daripada peningkatan impor
dari Asia Tenggara. Namun, situasi terlihat berbeda dari satu negara ke negara.
Program Pengembangan Kapasitas untuk negara-negara CLMV (Kamboja, Laos,
Myanmar, dan Vietnam) dianggap berguna, karena India kontribusi kepada Dana
Pembangunan ASEAN dan investasinya ke dalam infrastruktur dari negara-negara
CLMV.
Anggota ASEAN
mengeluhkan tentang proteksi India terhadap barang-barang impor dari Asia
Tenggara. Sementara kisaran tarif impor ASEAN, rata-rata, antara sepuluh dan
dua belas persen, India mengenakan tarif hingga 29 persen terhadap
barang-barang impor dari Asia Tenggara. Ketidakseimbangan ini telah meletakkan
beban yang luar biasa terhadap kinerja ekspor yang sangat bergantung pada usaha
BUMN dan juga menjadi sulit karena India telah memperlambat dan menunda
perundingan mengenai pelaksanaan pelaksanaan Free Trade Area hingga pada
tahun 2011. Kenyataan bahwa India telah memperluas perdagangan timbal-balik
dengan Myanmar namun kurang terlibat dengan anggota ASEAN lainnya secara umum
dianggap sebagai tanda kurangnya prioritas kepentingan India di wilayah ASEAN secara
keseluruhan.
Tapi tidak seperti
China, yang dianggap oleh ASEAN secara skeptis dengan berbagai harapan, para
anggota tidak begitu peduli dengan aktifitas politik yang lebih aktif yang
dilakukan oleh India. India tidak dianggap sebagai ancaman, melainkan
berpotensi sebagai aktor penyeimbang dan stabilisator. Kebangkitan China
dianggap sebagai kesempatan yang penuh dengan risiko. Semua anggota ASEAN
berusaha untuk mendapatkan keuntungan sebanyak mungkin dari keterbukaan ekonomi
China. Di sisi lain, dalam hal keamanan, negara-negara ASEAN sangat ingin
pro-aktif memelihara atau memperbaharui hubungan koalisi dengan Amerika Serikat
untuk proses destabilisasi. Secara simultan, negara-negara ASEAN berusaha
mencoba untuk tidak terjepit dan tidak mau menjadi subjek persaingan bilateral
di antara rivalitas China dan India.
Sebenarnya, inti
rasional kebijakan ASEAN tidak berada dalam posisi netral melainkan dengan
harapan untuk mendapatkan yang terbaik dari hubungan dengan keduanya. Anggota
ASEAN melihat China sebagai tantangan, bukan ancaman. China yang paling
baru-baru ini menunjukkan kebijakan konstruktif dalam menyelesaikan sengketa
wilayah di Laut China Selatan (di atas Kepulauan Spratley) telah mendorong
penilaian positif di antara negara anggota ASEAN, meskipun keprihatinan
mengenai keberlanjutan ofensif ancaman China hampir tidak memudar. Dalam rangka
untuk meminimalkan berbagai keprihatinan ini, bertujuan sebagai langkah
pembendungan, ASEAN memperluas kerjasama multilateral dengan China pada level
regional dan sub-regional serta memasukkan China ke dalam mekanisme lintas
sektoral regional ASEAN.
Dalam analisis
kasus-per-kasus, perspektif anggota ASEAN vis-à-vis China tidaklah sejalan,
namun lebih banyak didasarkan atas faktor kedekatan geografis dan kepentingan
ketergantungan ekonomi. Semakin dekat jarak dan semakin besar ketergantungan
ekonomi berarti akan semakin besar harapan ekonomi dan perhatian politik.
Geopolitik dan asimetri strategis menyebabkan sikap yang berbeda untuk
pembangunan kerangka kerjasama antara China dengan anggota ASEAN. Misalnya,
kebijakan Malaysia dan Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh keberadaan
mayoritas Muslim. Kedua Negara mempertimbangkan keberadaan China sebagai aktor
penyeimbang yang berpotensi untuk mengurangi tekanan dari Amerika Serikat dalam
perang melawan teror. Keduanya juga melihat China sebagai pasar dan sebagai
mitra untuk investasi, perdagangan dan kerjasama. Mereka mencoba untuk
menggunakan kerjasama yang lebih erat
untuk melindungi kepentingan mereka urusan internasional. Untuk Filipina dan
Singapura, yang tertarik untuk membina hubungan yang stabil dengan China,
memilih koalisi militer mereka dengan Amerika Serikat sebagai tameng dari
kebijakan keamanan mereka. kedua negara ini sangat kuat sebagai penyeimbang dari
peningkatan kekuatan China
Tabel 2.1
Matriks Perbandingan Sejarah Hubungan
ASEAN Dengan China-India
CHINA
|
INDIA
|
NORMALISASI
|
NORMALISASI
|
1. Indonesia dan Burma pertama kali
mengakui kemerdekaan RRC pada tahun 1950
2. Mempertahankan hubungan dekat
dengan rezim komunis di Vietnam Utara dan memberikan dukungan yang signifikan
atas perlawanan mereka terhadap Perancis dan Amerika Serikat (1950-70)
|
India telah menjalin hubungan dekat
dengan ASEAN sejak masa kemerdekaan dan mulai memperluas pengaruhnya di kawasan
Asia Tenggara selama tahun 1950 dengan mendukung perjuangan kemerdekaan
Indonesia dan melibatkan diri dalam krisis Indocina pada tahun 1960-an.
|
KETIDAK
HARMONISAN
|
KETIDAK
HARMONISAN
|
Ketidak harmonisan hubungan China
dengan negara-negara Asia Tenggara yang non-komunis, karena Beijing mendukung
pemberontakan komunis di Asia Tenggara.
|
Namun mengalami penurunan ketika India
menandatangani perjanjian ‘Kerjasama Perdamaian dan Persahabatan’ dengan Uni
Soviet.
|
NORMALISASI
|
NORMALISASI
|
Kebijakan China ke Asia Tenggara mulai
mengalami perubahan penting dalam dua hal:
1. Pada tahun 1980-an, Beijing
menghentikan dukungannya terhadap gerakan pemberontakan komunis di kawasan.
2. Pada tahun 1989, mengeluarkan
undangundang tentang kewarganegaraan China terhadap warga negaranya yang
tinggal diluar negeri yang butuh pengadopsian kewarganegaraan.
|
Dengan runtuhnya Uni Soviet, India
mulai mengorientasikan kembali prioritas kebijakan luar negerinya. India
memulai Look East Policy dan membina kembali hubungan ekonomi dengan Asia
Tenggara.
|
Kesimpulan
China dan India sedang
berusaha untuk memperluas kehadiran strategis dan pengaruh mereka di sekitar
sebagai konsekuensi atas kekuatan ekonomi mereka. Kedua negara berusaha mencari
keterlibatan yang lebih luas dengan negara-negara lainnya baik secara regional
maupun global. Dalam hal ini, perlu dicatat bahwa baik China dan India telah
mengambil langkah-langkah penting untuk meningkatkan kerjasama satu sama lain.
Kebanyakan dari kepentingan China dan India di Asia Tenggara didorong
berdasarkan kepentingan mereka dan berdasarkan prinsip saling menguntungkan
dibidang ekonomi.
China menemukan cara
yang lebih mudah untuk terlibat dengan ASEAN dibandingkan dengan India. Karena
China dipandang dengan ketakutan yang lebih besar di Asia Tenggara dibandingkan
dengan India karena berbagai faktor, diantaranya sejarah kekuasaan dan pengaruh
China di wilayah ini; image negatif yang berkaitan dengan kekuasaan
komunisme, dukungan China terhadap pemberontakan komunis di Asia Tenggara
dimasa lalu, klaim teritorial dan sengketa dengan negaranegara regional, dan
karena ukuran wilayah China yang lebih besar serta kedekatan wilayah dengan
kawasan Asia Tenggara.
DAFTAR
PUSTAKA
Wang Gungwu,
“China and Southeast Asia: The Context of a New Beginning,” in David Shambaugh,
ed., Power Shift: China and Asia’s New Dynamics,2005, Berkeley, CA: University of California Press,
N.gansen,”ASEAN’s
relations With Major Exsternal powers”, Contemporery Southest Asia: Ajournal of
Internasional & strategic Affair, Vol.22Issue 2,August 2000
Cipto, Bambang, 2007, Hubungan Internasional Di Asia
Tenggara, Pustaka Pelajar, Yogyakarta
Sorense, georg, Introduction to internasional
relations, 1999, oxford university press, new york
Chicote, Ronald, Teori perbandinagn politik,2007,
raja Grafindo Persada, Jakarta
Medeiros, E.S. & Frevel, M.T.,
‘China’s New Diplomacy’, Foreign Affairs, vol. 82, no. 6,November/December
2003,
Cabestan, J-P., ‘Introduction: China’s
new diplomacy: old wine in a new bottle?’,
Breslin, S. (ed.), Handbook of China’s
International Relations, Routledge, London, 2010,
http://hannamarinda.blogspot.com/2008/07/politik-luar-negeri-china.html
diakses 20;35 tanggal 2 mei2012
http://luar-negeri.kompasiana.com/2010/09/25/china-jepang-serupa-tapi-tak-sama-ri-malaysia/
diakses 06;12 tgl 2 mei 2012
http://belfercenter.ksg.harvard.edu/publication/18192/indias_key_foreign_policy_issues.html
diakses 06;18 tgl 2 mei 2012
[1]
Cipto, Bambang, 2007, Hubungan Internasional Di Asia Tenggara, Pustaka Pelajar,
Yogyakarta
[2]
N.gansen,”ASEAN’s relations With Major Exsternal powers”, Contemporery Southest
Asia: Ajournal of Internasional & strategic Affair, Vol.22Issue 2,August
2000, hal 8
[3]
Wang
Gungwu, “China and Southeast Asia: The Context of a New Beginning,” in David
Shambaugh, ed., Power Shift: China and Asia’s New Dynamics, Berkeley, CA:
University of California Press, 2005, hal, 187-204
[4]
Moner, Hayyu darwan, 2010, Sejarah hubungan India China,universitas Indonesia,
Jakrta, hal 39,
[5]
Amitabh
Mattoo, “ASEAN in India’s Foreign Policy,” in Frédéric Grare and Amitabh Mattoo
(eds.),India and ASEAN: the politics of India's look east policy. New
Delhi: Manohar. 2001
[6]
Ibid;
[8]
AB
Vajpayee, “India’s Perspectives on ASEAN and the Asia Pacific Region”, 9 April
2002. India’s Ministry of External Affairs Website,
http://www.mea.gov.in/sshome.htm (diakses pada tanggal 5April 2012)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar