Oleh: Aghnaita Firdayanti 09260010
BAB
I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Dalam tataran dunia Islam
internasional, umat Islam Indonesia dapat disebut sebagai komunitas muslim
paling besar yang berkumpul dalam satu batas teritorial kenegaraan. Karena itu,
menjadi sangat menarik untuk memahami alur perjalanan sejarah hukum Islam di
tengah-tengah komunitas Islam terbesar di dunia.Hukum Islam di
tengah-tengah masyarakat juga terus berkembang dan bahkan makin lama makin
meningkat dan meluas ke sektor sektor kehidupan hukum yang sebelumnya belum diterapkan
menurut ketentuan Hukum Islam. Perkembangan ini, bahkan berpengaruh pula
terhadap kegiatan pendidikan hukum di tanah air, sehingga kepakaran dan
penyebaran kesadaran mengenai eksistensi Hukum Islam itu di Indonesia makin
meningkat pula dari waktu ke waktu.
1.2 Rumusan Masalah
Hukum
Islam perlu dijadikan objek penelaahan,sehingga agenda pembaruan atau hukum
nasional juga mencakup pengertian pembaruan terhadap Hukum Islam itu sendiri.
Tetapi di pihak lain,sistem Hukum Islam itu sendiri dapat pula berperan penting
dalam rangka pelaksanaan reformasi hukum nasional sebagai keseluruhan.Jangan
sampai,karena kesibukan kita memikirkan keseluruhan sistem Hukum Nasional yang
perlu direformasi, menyebabkan kita lalai memperhitungkan faktor sistem Hukum
Islam yang sangat penting.
1.3 Tujuan Penulisan
Tentu
saja tulisan ini tidak dapat menguraikan secara lengkap dan detail setiap
rincian sejarah hukum Islam di Tanah air, namun setidaknya dapat memberikan
gambaran tentang perjalanan hukum Islam, sejak awal kedatangan agama ini ke
bumi Indonesia hingga di era reformasi ini.
BAB II
Pembahasan
Sistem
hukum islam semula dianut oleh masyarakat arab sebagai awal dari penyebaran
agama islam.Kemudian berkembang ke negara lain seperti asia,afrika,eropa,dan
amerika secara individual maupun
kelompok.Sedangkan untuk beberapa negara di Asia dan Afrika perkembangannya
sesuai dengan pembentukan negara itu yang berasaskan ajaran islam.Bagi negara
Indonesia walaupun mayoritas warganya beragama islam pengaruh agama itu tidak
besar dalam bernegara karena asas pembentukan negara bukanlah menganut ajaran
islam.
Sistem
hukum Islam bersumber hukum kepada :[1]
1. Al
Qur’an,yaitu kitab suci dari kaum muslimin yang diwahyukan oleh Allah kepada
Rasul Muhammad SAW
2. Sunnah
nabi,yaitu cara hidup dari Nabi Muhammad atau hadist mengenai Nabi Muhammad
3. Ijma’,yaitu
kesepakatan para ulama besar tentang suatu hal dalam cara bekerja
(berorganisasi)
4. Kias,yaitu
analogi dalam mencari sebanyak mungkin persamaan antara dua kejadian.Cara ini
dapat dijelmakan melalui metode ilmu hukum berdasarkan deduksi dengan
menciptakan atau menarik garis hukum baru dari garis hukum lama,dengan maksud
memperlakukan yang baru itu kepada suatu keadaan karena persamaan yang ada di
dalamnya.
Hukum
Islam dengan sengaja diturunkan oleh Allah melalui nabi Muhammad dengan maksud
menyusun ketertiban dan keamanan serta keselamatan umat manusia.Karena itu
dasar dasar hukumnya mengatur mengenai segi segi pembangunan,politik,sosial
ekonomi dan budaya.Disamping hukum hukum pokok tentang kepercayaan dan
kebaktian atau ibadah kepada Allah SWT.Karena itu berdasarkan sumber sumber
hukumnya,sistem hukum islam dalam “Hukum Fikh” terdiri dari dua hukum pokok
ialah :
1. Hukum
Rohaniah,yaitu cara menjalankan perintah Allah seperti sholat,puasa,zakat dan
naik haji
2. Hukum
Duniawi,terdiri dari :
a. Muamalat,ialah
tata tertib hukum dan peraturan mengenai hubungan antar manusia dalam bidang
jual beli,sewa menyewa,pemburuhan,hukum tanah,hukum perikatan,hak milik,dan
hubungan ekonomi pada umumnya.
b. Nikah,ialah
perkawinan dalam arti membentuk sebuah keluarga yang terdiri dari syarat syarat
hak dan kewajiban,dasar dasar perkawinan dan akibat hukum perkawinan
c. Jinayat,ialah
hukum pidana yang meliputi ancaman hukuman terhadap hukum Allah dan tindak
pidana kejahatan.
Sistem
hukum islam ini menganut suatu keyakinan dari ajaran agama islam dengan
keimanan lahir batin secara individual.Bagi negara negara yang menganut azas
hukum islam dalam bernegara melaksanakan peraturan peraturan hukumnya secara
taat sesuai yang dianggap adil berdasarkan peraturan perundangan yang dibuat
dan tidak bertentangan dengan ajaran islam.
Sejarah
Perkembangan hukum Islam di Indonesia
Ø Hukum Islam
pada Masa Pra Penjajahan Belanda
Akar sejarah hukum Islam di kawasan
nusantara menurut sebagian ahli sejarah dimulai pada abad pertama hijriyah,
atau pada sekitar abad ketujuh dan kedelapan masehi.[2]Sebagai gerbang masuk ke dalam kawasan nusantara,
kawasan utara pulau Sumatera yang kemudian dijadikan sebagai titik awal gerakan
dakwah para pendatang muslim. Secara perlahan, gerakan dakwah itu kemudian
membentuk masyarakat Islam pertama di Peureulak, Aceh Timur. Berkembangnya
komunitas muslim di wilayah itu kemudian diikuti oleh berdirinya kerajaan Islam
pertama di Tanah air pada abad ketiga belas. Kerajaan ini dikenal dengan nama
Samudera Pasai yang terletak di wilayah Aceh Utara.[3]
Pengaruh dakwah Islam yang cepat
menyebar hingga ke berbagai wilayah nusantara kemudian menyebabkan beberapa
kerajaan Islam berdiri menyusul berdirinya Kerajaan Samudera Pasai di Aceh.
Tidak jauh dari Aceh berdiri Kesultanan Malaka, lalu di pulau Jawa berdiri
Kesultanan Demak, Mataram dan Cirebon, kemudian di Sulawesi dan Maluku berdiri
Kerajaan Gowa dan Kesultanan Ternate serta Tidore.
Kesultanan kesultanan tersebut sebagaimana
tercatat dalam sejarah itu tentu saja kemudian menetapkan hukum Islam sebagai hukum
positif yang berlaku. Penetapan hukum Islam sebagai hukum positif di setiap
kesultanan tersebut tentu saja menguatkan pengamalannya yang memang telah
berkembang di tengah masyarakat muslim masa itu. Fakta-fakta ini dibuktikan
dengan adanya literatur-literatur fiqh yang ditulis oleh para ulama
nusantara pada sekitar abad 16 dan 17. Dan kondisi terus berlangsung hingga
para pedagang Belanda datang ke kawasan nusantara.
Ø Hukum Islam
pada Masa Penjajahan Belanda
Cikal bakal penjajahan Belanda
terhadap kawasan nusantara dimulai dengan kehadiran Organisasi Perdagangan
Dagang Belanda di Hindia Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai
sebuah organisasi dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi
fungsinya. Hal ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur. Karena itu
disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili Kerajaan Belanda
dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu saja dengan menggunakan
hukum Belanda yang mereka bawa.
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum
Belanda itu menemukan kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat
menerima hukum-hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan
penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka jalankan.
Kaitannya dengan hukum Islam, dapat
dicatat beberapa “kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
1.
Dalam Statuta Batavia yag ditetapkan pada tahun
1642 oleh VOC, dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk
agama Islam.
2.
Upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah
berlaku di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760. Kompilasi
ini kemudian dikenal dengan Compendium Freijer.
3.
Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah
lain, seperti di Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone. Di Semarang, misalnya, hasil
kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar).
Namun kompilasi yang satu ini memiliki kelebihan dibanding Compendium
Freijer, dimana ia juga memuat kaidah-kaidah hukum pidana Islam.
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung
bahkan hingga menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada
Kerajaan Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai
gubernur selama 5 tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang kekuasaan
terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak Belanda berusaha
keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di wilayah ini. Namun upaya itu
menemui kesulitan akibat adanya perbedaan agama antara sang penjajah dengan
rakyat jajahannya, khususnya umat Islam yang mengenal konsep dar al-Islam dan
dar al-harb. Itulah sebabnya, Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara
untuk menyelesaikan masalah itu. Diantaranya dengan (1) menyebarkan agama
Kristen kepada rakyat pribumi, dan (2) membatasi keberlakuan hukum Islam hanya
pada aspek-aspek batiniah (spiritual) saja.[4]
Bila disimpulkan, maka upaya
pembatasan keberlakuan hukum Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara
kronologis adalah sebagai berikut:
1.
Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda
melaksanakan Politik Hukum yang Sadar; yaitu kebijakan yang secara sadar
ingin menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan hukum
Belanda.
2.
Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud
Haarlem, Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang agama,
lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal persengketaan yang terjadi di
antara mereka, selama tidak bertentangan dengan asas kepatutan dan keadilan
yang diakui umum.Ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah hukum
Belanda
3.
Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck
Hurgronje, Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk komisi
untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa dalam memeriksa
kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum diterima oleh hukum adat
setempat).
4.
Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal
134 ayat 2 Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal
78 Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan
diselesaikan dengan hakim agama Islam
Lemahnya posisi hukum Islam ini
terus terjadi hingga menjelang berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah
Indonesia pada tahun 1942.
Ø Hukum Islam
pada Masa Pendudukan Jepang
Setelah Jendral Ter Poorten
menyatakan menyerah tanpa syarat kepada panglima militer Jepang untuk kawasan
Selatan pada tanggal 8 Maret 1942, segera Pemerintah Jepang mengeluarkan
berbagai peraturan. Salah satu diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1942, yang menegaskan bahwa Pemerintah Jepag meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan baru ini
tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum Islam
sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda.
Meskipun demikian, Pemerintah
Pendudukan Jepang tetap melakukan berbagai kebijakan untuk menarik simpati umat
Islam di Indonesia. Diantaranya adalah:
1.
Janji Panglima Militer Jepang untuk melindungi dan
memajukan Islam sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
2.
Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam)
yang dipimpin oleh bangsa Indonesia sendiri.
3.
Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah
dan NU.
5.
Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan
cadangan yang mendampingi berdirinya PETA.
6.
Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk
mengembalikan kewenangan Pengadilan Agama dengan meminta seorang ahli hukum
adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan tentang hal
itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh Soepomo dengan alasan
kompleksitas dan menundanya hingga Indonesia merdeka.[6]
Dengan demikian, nyaris tidak ada
perubahan berarti bagi posisi hukum Islam selama masa pendudukan Jepang di
Tanah air. Namun bagaimanapun juga, masa pendudukan Jepang lebih baik daripada
Belanda dari sisi adanya pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam
mengatur masalah-masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa Kebijakan pemerintah Belanda telah memperlemah posisi
Islam. Islam tidak memiliki para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid
atau pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka menyadari bahwa
Islam adalah suatu kekuatan di Indonesia yang dapat dimanfaatkan.
Ø Hukum Islam
pada Masa Kemerdekaan (1945)
Meskipun Pendudukan Jepang
memberikan banyak pengalaman baru kepada para pemuka Islam Indonesia, namun
pada akhirnya, seiring dengan semakin lemahnya langkah strategis Jepang
memenangkan perang yang kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk
kemerdekaan Indonesia,Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai
“melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis Indonesia.
Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok nasionalis untuk
memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak mengherankan jika beberapa badan dan
komite negara, seperti Dewan Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu
Zyunbi Tyoosakai) kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei
1945, komite yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang
mewakili kelompok Islam[7].Perdebatan
panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir dengan lahirnya apa
yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat kompromi paling penting Piagam
Jakarta terutama ada pada kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan
kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut
Muhammad Yamin kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara
sekuler dan bukan pula negara Islam.
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya
lahir sebuah implikasi yang mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk
melaksanakan Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis
Piagam Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab hal itu.
Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang menyampaikan keberatan
golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta mengatakan ia mendapat informasi
tersebut dari seorang opsir angkatan laut Jepang pada sore hari taggal 17
Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta Nishijima satu satunya opsir AL Jepang yang
ditemui Hatta pada saat itu- menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan
justru Latuharhary yang menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu
lalu perlu dipertanyakan mengingat Latuharhary bersama dengan Maramis, seorang
tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan kompromi
itu saat sidang BPUPKI
Pada akhirnya, di periode ini,
status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa Ashary mengatakan “Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh umat
Islam sebagai suatu permainan yang masih
diliputi rahasia suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Ø Hukum Islam
pada Masa Kemerdekaan Periode Revolusi Hingga Keluarnya Dekrit Presiden 5 Juli
1950
Selama hampir lima tahun setelah
proklamasi kemerdekaan, Indonesia memasuki masa-masa revolusi (1945-1950).
Menyusul kekalahan Jepang oleh tentara-tentara sekutu, Belanda ingin kembali
menduduki kepulauan Nusantara. Dari beberapa pertempuran, Belanda berhasil
menguasai beberapa wilayah Indonesia, dimana ia kemudian mendirikan
negara-negara kecil yang dimaksudkan untuk mengepung Republik Indonesia.
Berbagai perundingan dan perjanjian kemudian dilakukan, hingga akhirnya tidak
lama setelah Linggarjati, lahirlah apa yang disebut dengan Konstitusi Indonesia
Serikat pada tanggal 27 Desember 1949.
Dengan berlakunya Konstitusi RIS
tersebut, maka UUD 1945 dinyatakan berlaku sebagai konstitusi Republik
Indonesia yang merupakan satu dari 16 bagian negara Republik Indonesia Serikat.
Konstitusi RIS sendiri jika ditelaah, sangat sulit untuk dikatakan sebagai
konstitusi yang menampung aspirasi hukum Islam. Mukaddimah Konstitusi ini
misalnya, samasekali tidak menegaskan posisi hukum Islam sebagaimana rancangan
UUD’45 yang disepakati oleh BPUPKI. Demikian pula dengan batang tubuhnya, yang
bahkan dipengaruhi oleh faham liberal yang berkembang di Amerika dan Eropa
Barat, serta rumusan Deklarasi HAM versi PBB.
Namun saat negara bagian RIS pada
awal tahun 1950 hanya tersisa tiga negara saja RI, negara Sumatera Timur, dan
negara Indonesia Timur, salah seorang tokoh umat Islam, Muhammad Natsir,
mengajukan apa yang kemudian dikenal sebagai “Mosi Integral Natsir” sebagai
upaya untuk melebur ketiga negara bagian tersebut. Akhirnya, pada tanggal 19
Mei 1950, semuanya sepakat membentuk kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia
berdasarkan Proklamasi 1945. Dan dengan demikian, Konstitusi RIS dinyatakan
tidak berlaku, digantikan dengan UUD Sementara 1950.
Akan tetapi, jika dikaitkan dengan
hukum Islam, perubahan ini tidaklah membawa dampak yang signifikan. Sebab
ketidakjelasan posisinya masih ditemukan, baik dalam Mukaddimah maupun batang
tubuh UUD Sementara 1950, kecuali pada pasal 34 yang rumusannya sama dengan
pasal 29 UUD 1945 bahwa “Negara berdasar Ketuhanan yang Maha Esa” dan jaminan
negara terhadap kebebasan setiap penduduk menjalankan agamanya masing-masing.
Juga pada pasal 43 yang menunjukkan keterlibatan negara dalam urusan-urusan
keagamaan.Kelebihan lain dari UUD Sementara 1950 ini adalah terbukanya peluang
untuk merumuskan hukum Islam dalam wujud peraturan dan undang-undang. Peluang
ini ditemukan dalam ketentuan pasal 102 UUD sementara 1950. Peluang inipun
sempat dimanfaatkan oleh wakil-wakil umat Islam saat mengajukan rancangan
undang-undang tentang Perkawinan Umat Islam pada tahun 1954. Meskipun upaya ini
kemudian gagal akibat rintangan kaum nasionalis yang juga mengajukan rancangan
undang-undang Perkawinan Nasional. Dan setelah itu, semua tokoh politik
kemudian nyaris tidak lagi memikirkan pembuatan materi undang-undang baru,
karena konsentrasi mereka tertuju pada bagaimana mengganti UUD Sementara 1950
itu dengan undang-undang yang bersifat tetap.
Perjuangan mengganti UUD Sementara
itu kemudian diwujudkan dalam Pemilihan Umum untuk memilih dan membentuk Majlis
Konstituante pada akhir tahun 1955. Majelis yang terdiri dari 514 orang itu
kemudian dilantik oleh Presiden Soekarno pada 10 November 1956. Namun delapan
bulan sebelum batas akhir masa kerjanya, Majelis ini dibubarkan melalui Dekrit
Presiden yang dikeluarkan pada tanggal 5 Juli 1959. Hal penting terkait dengan
hukum Islam dalam peristiwa Dekrit ini adalah konsiderannya yang menyatakan
bahwa “Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni menjiwai UUD 1945” dan merupakan suatu
kesatuan dengan konstitusi tersebut. Hal ini tentu saja mengangkat dan
memperjelas posisi hukum Islam dalam UUD. Hal lain yang patut dicatat di sini
adalah terjadinya beberapa pemberontakan yang diantaranya bernuansakan Islam
dalam fase ini. Yang paling fenomenal adalah gerakan DI/TII yang dipelopori
oleh Kartosuwirjo dari Jawa Barat. Kartosuwirjo sesungguhnya telah
memproklamirkan negara Islam-nya pada tanggal 14 Agustus 1945, atau dua hari
sebelum proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Namun ia
melepaskan aspirasinya untuk kemudian bergabung dengan Republik Indonesia.
Tetapi ketika kontrol RI terhadap wilayahnya semakin merosot akibat agresi
Belanda terutama setelah diproklamirkannya negara-boneka Pasundan di bawah
kontrol Belanda, ia pun memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada
tahun 1948. Namun pemicu konflik yang berakhir di tahun 1962 dan mencatat
25.000 korban tewas itu,lebih banyak diakibatkan oleh kekecewaan Kartosuwirjo
terhadap strategi para pemimpin pusat dalam mempertahankan diri dari upaya
pendudukan Belanda kembali.
Ø Hukum Islam
di Era Orde Lama dan Orde Baru
Orde Lama adalah eranya kaum
nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit merunduk
dalam memperjuangkan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili aspirasi
umat Islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan pada tanggal 15 Agustus 1960 oleh
Soekarno, dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera
Barat). Sementara NU yang kemudian menerima Manipol Usdek nya Soekarno bersama
dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong Royong yang berjiwa
Nasakom. Berdasarkan itu, terbentuklah MPRS yang kemudian menghasilkan 2
ketetapan yang salah satunya adalah tentang upaya unifikasi hukum yang harus
memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup di Indonesia.[8]
Meskipun hukum Islam adalah salah
satu kenyataan umum yang selama ini hidup di Indonesia, dan atas dasar itu Tap
MPRS tersebut membuka peluang untuk memposisikan hukum Islam sebagaimana
mestinya, namun lagi-lagi ketidakjelasan batasan itu membuat hal ini semakin
kabur. Dan peran hukum Islam di era inipun kembali tidak mendapatkan tempat
yang semestinya.
Menyusul gagalnya kudeta PKI
pada 1965 dan berkuasanya Orde Baru, banyak pemimpin Islam Indonesia yang
sempat menaruh harapan besar dalam upaya politik mereka mendudukkan Islam
sebagaimana mestinya dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia. Apalagi
kemudian Orde Baru membebaskan bekas tokoh-tokoh Masyumi yang sebelumnya
dipenjara oleh Soekarno. Namun segera saja, Orde ini menegaskan perannya
sebagai pembela Pancasila dan UUD 1945. Bahkan di awal 1967, Soeharto
menegaskan bahwa militer tidak akan menyetujui upaya rehabilitasi kembali
partai Masyumi.[9]
Meskipun kedudukan hukum Islam
sebagai salah satu sumber hukum nasional tidak begitu tegas di masa awal Orde
ini, namun upaya-upaya untuk mempertegasnya tetap terus dilakukan. Hal ini
ditunjukkan oleh K.H. Mohammad Dahlan, seorang menteri agama dari kalangan NU,
yang mencoba mengajukan Rancangan Undang-undang Perkawinan Umat Islam dengan
dukunagn kuat fraksi-fraksi Islam di DPR. Meskipun gagal, upaya ini kemudian
dilanjutkan dengan mengajukan rancangan hukum formil yang mengatur lembaga
peradilan di Indonesia pada tahun 1970. Upaya ini kemudian membuahkan hasil
dengan lahirnya UU No.14/1970, yang mengakui Pengadilan Agama sebagai salah
satu badan peradilan yang berinduk pada Mahkamah Agung. Dengan UU ini, dengan
sendirinya menurut Hazairin hukum Islam telah berlaku secara langsung sebagai
hukum yang berdiri sendiri.
Penegasan terhadap berlakunya hukum
Islam semakin jelas ketika UU no. 14 Tahun 1989 tentang peradilan agama
ditetapkan.Hal ini kemudian disusul dengan usaha-usaha intensif untuk
mengompilasikan hukum Islam di bidang-bidang tertentu. Dan upaya ini membuahkan
hasil saat pada bulan Februari 1988, Soeharto sebagai presiden menerima hasil
kompilasi itu, dan menginstruksikan penyebarluasannya kepada Menteri Agama.
Ø Hukum Islam di
Era Reformasi
Soeharto akhirnya jatuh. Gemuruh
demokrasi dan kebebasan bergemuruh di seluruh pelosok Indonesia. Setelah
melalui perjalanan yang panjang, di era ini setidaknya hukum Islam mulai
menempati posisinya secara perlahan tapi pasti. Lahirnya Ketetapan MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan
semakin membuka peluang lahirnya aturan undang-undang yang berlandaskan hukum
Islam. Terutama pada Pasal 2 ayat 7 yang menegaskan ditampungnya peraturan
daerah yang didasarkan pada kondisi khusus dari suatu daerah di Indonesia, dan
bahwa peraturan itu dapat mengesampingkan berlakunya suatu peraturan yang
bersifat umum[10].
Lebih dari itu, disamping peluang
yang semakin jelas, upaya kongkrit merealisasikan hukum Islam dalam wujud
undang-undang dan peraturan telah membuahkan hasil yang nyata di era ini. Salah
satu buktinya adalah Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Qanun Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam tentang Pelaksanaan Syari’at Islam Nomor 11 Tahun 2002.
Dengan demikian, di era reformasi
ini, terbuka peluang yang luas bagi sistem hukum Islam untuk memperkaya
khazanah tradisi hukum di Indonesia. Kita dapat melakukan langkah-langkah
pembaruan, dan bahkan pembentukan hukum baru yang bersumber dan berlandaskan
sistem hukum Islam, untuk kemudian dijadikan sebagai norma hukum positif yang
berlaku dalam hukum Nasional kita.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Era reformasi yang penuh keterbukaan
tidak pelak lagi turut diwarnai oleh tuntutan-tuntutan umat Islam yang ingin
menegakkan Syariat Islam. Bagi kami, ide ini tentu patut didukung. Namun
sembari memberikan dukungan, perlu pula kiranya upaya-upaya semacam ini
dijalankan secara cerdas dan bijaksana. Karena menegakkan yang ma’ruf haruslah
juga dengan menggunakan langkah yang ma’ruf. Disamping itu, kesadaran
bahwa perjuangan penegakan Syariat Islam sendiri adalah jalan yang panjang dan
berliku, sesuai dengan sunnatullah-nya. Karena itu dibutuhkan kesabaran dalam
menjalankannya. Sebab tanpa kesabaran yang cukup, upaya penegakan itu hanya
akan menjelma menjadi tindakan-tindakan anarkis yang justru tidak sejalan
dengan kema’rufan Islam.
3.2 Daftar Pustaka
·
Djamali Abdoel R, S.H, Pengantar Hukum Indonesia, (CV.Rajawali
, Jakarta,1984)
·
Ramly
Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi Indonesia dan
Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional, Pusat Studi Hukum Tata Negara
Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005.
·
Bahtiar
Effendy, Islam dan Negara; Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam
di Indonesia, Paramadina, Jakarta, Oktober 1998.
·
Jimly
Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, , Jakarta,
27 September 2000.
[1].Djamali
Abdoel R, S.H, Pengantar Hukum Indonesia,
(CV.Rajawali , Jakarta,1984)
[2]
. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia dan Peranannya dalam Pembinaan Hukum Nasional Pusat Studi Hukum
Tata Negara Universitas Indonesia, Jakarta, Mei 2005, hal. 61.
[3]
. Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia, op.cit., hal. 61.
[4]
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam Konstitusi-konstitusi Indonesia, op.cit.,
hal. 67-68
[5]
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 93
[6]
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam dalam Konstitusi-konstitusi
Indonesia, hal. 76-79.
[7]
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, op.cit., hal. 84.
[8]
Ramly Hutabarat, Kedudukan Hukum Islam, hal. 140-141.
[9]
Bahtiar Effendy, Islam dan Negara, hal. 111-112.
[10]
Jimly Ashshiddiqie, Hukum Islam dan Reformasi Hukum Nasional, Jakarta,
27 September 2000.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar