(Oleh: Haryo
Prasodjo – 09260012)
Sebagian
golongan berpendapat bahwa, hanya dengan menggunakan sistem yang demokratislah
sebuah negara dapat mensejahterakan rakyatnya. Pendapat dari golongan ini
menyatakan bahwa dalam sistem yang demokratis terdapat elemen-elemen yang belum
ada pada sistem yang lainnya, kerena hanya dengan sistem inilah yang sejauh ini
memberikan ruang untuk adanya koinsoslidasi ataupun melakukan chech and balance
antara pemerintah dengan yang diperintah atau dalam hal ini rakyatnya.
Tidak
hanya berhenti sampai di situ, yang membuat sistem ini dapat tumbuh subur
dengan jangkauan yang luas adalah dan tidak lebih dikerenakan adanya
nilai-nilai ataupn pilar dari demokrasi itu sendiri seperti kebebasan
berpendapat (bersuara), diselenggarakannya
pemilihan umum (pemilu) yang memungkinkan untuk siapa saja dapat memilih
calon yang akan diusungnya guna mengisi kursi pemerintahan, adanya kebebasan
pers, adanya pembagian kekuasaan atau yang lebih kita kenal dengan trias
politika yang mana berfu gsi sebagai kontrol sehingga memungkinkan bagi
penguasa untuk tidak dapat menjadi seorang pemimpin yang diktator.
Meskipun
tidak semua ahli ketatanegaraan setuju dengan demokrsi seperti Karl Marx dan
Hegel yang lebih menilai demokrasi sebagai “panitia dari kaum borjuis”,[1] bahkan
Perdana Mentri Inggris Winston Churchill, mengatakan, ”It has been said that democracy is the worst form of government
except all the others that have been tried”,[2] Demokrasi bukan sistem pemerintahan terbaik,
tetapi belum ada sistem lain yang lebih baik daripadanya.meskipun deikian tidak
dapat kita pungkiri lagi bahwa seiring waktu yang berganti demokrasilah yang
tampil sebagai pemenang, bahkan dalam bukunya “The End of History”, Francis
Fukuyama mengatakan bahwa dunia telah mencapai akhir dari peradabannya, yaitu dengan
meluasnya paham serta nilai akan demokrasi yang dianut oleh negara-negara di
dunia.
Salah
satunya adalah kawasan Asia Tenggara yang mana hampir seluruh negara yang ada
di kawasan tersebut menganut sistem demokrasi ala barat, meskipun demikian
bukan berarti proses demokratisasi tersebut dapat berjalan mulus dan sesuai
dengan apa yang diharapkan, terdapat banyak hambatan-hambatan yang justru
sifatnya adalah subtansial seperti adanya pembatasan kebebebasan pers, adanya
peran negara yang kuat dan lemahnya peran rakyat dalam pemerintahan, serta
masih adanya peran militer dalam kenegaraan seperti yang terjadi diMyanmar di
mana kusi pemerintahannya telah lama berada ditangan militer. Pemilu bulan pada
bulan lau merupakan salah satu bukti bahwa ada keinginan dari Myanmar untuk
berubah, kemengangan Aung San Suu kyi menandakan sudah sedikit terbukanya
gerbang demokrasi di Myanmar setelah berabad-abad lalu dikuasai oleh junta
militer[3].
Kudeta
yang dilakukan oleh junta militer ternyata tidak hanya terjadi diMyanmar, hal
serupapun terjadi di Thailand, puncaknya adalah saat terjadi demonstrasi
besar-besaran oleh kelompok yang mengatas namakan dirinya sebagai “kaos merah”.
Pada tahun 2006 terjadi kudeta militer untuk menguligkan kekuasaan Thaksin
Sinawatra yang mana setelah kejadian tersebut kondisi serta stabilitas politik
di thailand mulai tergangu. Militer yang ada tidak percaya atas kepemimpinan
sipil, hal ini dikarenakan militer melihat pemerintahan oleh sipil belum bisa
mengendalikan stabilitas negara dikarenakan maraknya praktek korupsi dan juga
terjualnya aset negara yang berupa saham The Shin Corp kepada Singapura dan
ditambah penjualan saham perusahaan keluarga itupun dibebaskan dari pajak
penjualan sehingga membawa keuntungan bagi keluarganya.[4] Sehingga
hal tersebut membuat PM Abhisit Vejjajiva menggunakan kekerasan untuk memukul
mundur aksi para demonstran.
Tidak
hanya di kedua negara tersebut, aksi penahanan dan penindasan hak asasi manusia
bagi pejuang demokrasi juga sering terjadi di Vietnam, seperti yang dialami Nguyen Dan Que, 69 tahun
salah seorang pejuang demokrasi dan penegak HAM di Vietnam. Bagi Vietnam apa
yang telah dilakukan oleh Que dapat menganggu stabilitas dan administrasi
masyarakat.[5]
Vietnam sendiri merupakan salah satu negara yang masih memiliki corak komunisme
hal ini tidaklah lain disebabkan oleh sejarah pembentukan kenegaraan yang
panjang serta adanya bayang-bayang China[6].
Pendekatan Tiga Model Demokrasi
Jeff Hayness
(2000) membagi pemberlakuan demokrasi ke dalam tiga model berdasarkan
penerapannya. Ketiganya yaitu demokrasi formal, demokrasi permukaan (façade)
dan demokrasi substantif. Ketiga model ini menggambarkan praktik demokrasi
sesungguhnya yang berlangsung di negara manapun yang mempraktikkan demokrasi di
atas bumi ini.[7]
1. Demokrasi formal ditandai
dengan adanya kesempatan untuk memilih pemerintahannya dengan interval yang
teratur dan ada aturan yang mengatur pemilu. Peran pemerintah adalah mengatur
pemilu dengan memperhatikan proses hukumnya.
2. Demokrasi permukaan (façade)
merupakan gejala yang umum di Dunia Ketiga. Tampak luarnya memang demokrasi,
tetapi sama sekali tidak memiliki substansi demokrasi. Pemilu diadakan sekadar
para os inglesses ver, artinya
"supaya dilihat oleh orang Inggris". Hasilnya adalah demokrasi dengan
intensitas rendah yang dalam banyak hal tidak jauh dari sekadar polesan pernis
demokrasi yang melapisi struktur politik.
3. Demokrasi substantif
menempati rangking paling tinggi dalam penerapan demokrasi. Demokrasi
substantif memberi tempat kepada rakyat jelata, kaum miskin, perempuan, kaum
muda, golongan minoritas keagamaan dan etnik, untuk dapat benar-benar
menempatkan kepentingannya dalam agenda politik di suatu negara. Dengan kata
lain, demokrasi substantif menjalankan dengan sungguh-sungguh agenda
kerakyatan, bukan sekadar agenda demokrasi atau agenda politik partai semata.
Dalam melihat
berbagai macam kasus yang terjadi dikawasan Asia Tenggara ini, khususnya dengan
apa yang terjadi pada tiga negara tersebut, tidak urungnya demokrasi masih
menduduki posisi ke-2 pada tiga model tersebut. Demokrasi hanya dijadikan wajah
bagi beberapa negara agar lebih tampak mempesonabagi siapa saja yang
memandangnya khususnya bagi negra-negara internasional seperti Amerika Srikat. Negara-negara
seperti Vietnam, Thailand, dan Myanmar menggunakan demokrasi sebagai kedok,
namun apabila kita mengukutrnya dengan instrumen subtansi demokrasi dapat
dikatakan bahwa masih adanya pilar-pilar penting yang belum ada dan harus ada
dalam sistem serta pelaksanaan ketatanegaraan pada negara tersebut.
Pada dasarnya
tidak ada negara yang benar-benar demokratis di dunia ini, bahkan negara
sekaliber Amerika Serikat sekalipun bukanlah negara yang benar-benar
demokratis, bahkan sebagai negara super power tersebut sering menggunakan
standar gandanya untuk melancarakan kepantingan serta melakukan intervensi
terhadap suatu negara yang cendrung justru menodai nilai-nilai HAM tersebut.
Dasar-dasar
nilai demokrasi yang ditanamkan oleh barat sering kali bertentangan dan tidak
menemokan kecocokan saat nilai tersebut diterapkan pada negara-negara selatan
yang notabene merupakan negara dalam katagori dalam perekonomian yang sedang
berkembang. Pemilu yang dilaksanakan hanya sekedar sebagia formalitas untuk
mennglegtimasi posisi penguasa bahkan arti kata “kebebasan” itu sendiripun
mengalami pendangkalan makna menjadi bebas sebebas-bebasnya, bahkan dalam hal
ini terkadang peran negara menjadi lemah seperti apa yang dialai oleh Indonesia
saat ini.[8]
Problematika
seacam ini kemudian menyebabkan konflik sendiri pad amasyarakatnya baik yang
pro maupun yang kontra, dimana negara-negara kawasan Asia Tenggara masih sangt
kental sekali menjunjung tinggi adat serta nilai ketimuran, seperti kesopanan,
kepatuhan, nilai moral agama, serta nilai-nilai dalam masyyarakatnya. Berbeda
saat kita melihat dengan kacamata nilai demokrasi yang utuh, makan niali
demokrasi akan melunturkan nilai-nilai lokal tersebut. Maka pada akhir tulisan
ini sudah semestinya negara-negara di kawasan Asia Tenggara tidak hanya menjadi
gerbong dari rangakaian kereta demokrasi, tapi harus lebih bisa bermain sebagai
lokomotif sehingga tidak hanya mengedepankan nilai demokrasi ala barat yang
selama ini banyak disanjung, namun juga memoerhatikan nilai-nilai yang ada
dalam masyarakatnya adar menjadi negara bangsa yang memiliki identitas serta
berdaulat penuh atas wilayah dan kekuasaannya, dan yang lebih ahrus kita
tekankan adalah, demokrasi bukanlah sebuah obat mujarab yang dapat menyembuhkan
segala macam penyakit.
Daftar Pustaka
Sorensen,
Gorge. “Demokrasi dan Demokratisasi”. Pustaka Pelajar. Yogyakarta 2003.
http://www.centroone.com.
kiprah-suu-kyi-bawa-demokrasi-di-myanmar diakses tanggal 24 Mei 2012.
http://www.politik.lipi.go.id, politik-internasional
jalan-panjang-demokrasi-thailand diakses tanggal 24 Mei 2012.
http://www.tempo.co/read/news.
Vietnam-Tahan-Pejuang-Demokrasi diakses pada tanggal 24 Mei 2012.
http://sejarah.kompasiana.com
vietnam-konsolidasi-demokrasi-1945-1975 diakses tanggal 24 Mei 2012.
http://www.averroes.or.id
perkembangan-pemikiran-dan-praktik-demokrasi-dari-era-klasik-sampai-kontemporer.html
diakses pada tanggal 24 Mei 2012
http://www.saidwhat.co.uk/articles/government.php
diakses tanggal 24 Mei 2012.
http://www.slideshare.net/reedwaan/demokrasi-dan-pemilu.
diakses tanggal 24 Mei 2012.
[1]Dalam http://www.averroes.or.id
perkembangan-pemikiran-dan-praktik-demokrasi-dari-era-klasik-sampai-kontemporer.html
diakses pada tanggal 24 Mei 2012
[3] Dalam http://www.centroone.com.
kiprah-suu-kyi-bawa-demokrasi-di-myanmar diakses tanggal 24 Mei 2012.
[4] Dalam http://www.politik.lipi.go.id, politik-internasional jalan-panjang-demokrasi-thailand
diakses tanggal 24 Mei 2012.
[5] Dalam http://www.tempo.co/read/news.
Vietnam-Tahan-Pejuang-Demokrasi
diakses pada tanggal 24 Mei 2012.
[6] Dalam http://sejarah.kompasiana.com
vietnam-konsolidasi-demokrasi-1945-1975 diakses tanggal 24 Mei 2012.
[8] Dalam http://rumahfilsafat.com/2011/05/10/kebebasan-dalam-demokrasi diakses tanggal 24 Mei 2012.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar