Diajukan Oleh: Haryo Prasodjo, Budiyanto, Kholili, Lisvi Naelati
Fadlilah
A. Latar Belakang
Munculnya istilah globalisasi yang didefinisikan
dengan beberapa ciri yang diantaranya adalah terhapus atau mengkaburnya
batas-batas territorial negar. Ditambah dengan semakin minimnya peran negara
dalam aspek hubungan internasional maupun politik internasional yang
dimungkinkan dengan banyaknya aktor non pemerintahan yang muncul, telah membawa
implikasi tersendiri dalam bidang ekonomi. Globalisasi turut serta menyeret
berbagai negara yang telah menanggalkan sistem dan bentuk pemerintahan komunis
sosialis ke bentuk dan sistem yang lebih demokratis dan liberal.
Kemunculan globalisasi ini pula telah menyeret
berbagai negara untuk dapat memanfaatkan keterbukaan dan perkembangan revolusi
tiga T (triple T revolutions) yaitu:
1) teknologi, 2) telekomunikasi, dan 3) transportasi. Dalam kenyataanya
kemajuan telekomunikasi telah memudahkan untuk menyambungkan berbagai negara
dengan negara lain -begitupun dalam tataran masyarakat sosial maupun individu-
yang dapat kita sebut dengan istilah interkonektifitas. Kemudian dari
interkonektifitas ini memunculkan pula kemudahan keterhubungan untuk membuka
pasar yang lebih lebar yang menggunakan kemajuan transportasi untuk
mendistribusikan hasil produksi serta pemanfaatan terhadap teknologi yang
berkembang sangat cepat pula.
Perkembangan globalisasi pula yang kemudian membawa
negara-negara kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam ASEAN (Association of South Asia Nations) untuk
mendirikan pasar bebas tunggal regional ASEAN yaitu AFTA (ASEAN Free Trade Area). Dengan hadirnya AFTA
diharapkan akan mampu meningkatkan percepatan pertumbuhan ekonomi negara-negara
anggota FTA. Namun, banyak kalangan yang menilai langkah ini justru
menjerambapkan Indonesia kedalam lumpur, yang malah membust industri lokal
terseok-seok menghadapi persaingan pasar bebas. Tetapi disisi lain banyak pula
pihak yang menyambut langkah besar Indonesia untuk bergabung dalam AFTA.
Thomas Malthus menyatakan mengenai rasio pertambahan
populasi dan ketersediaan pangan. Menurut Malthus pertumbuhan manusia itu
digambarkan dengan deret ukur, sedang ketersediaan pangan dirasiokan seperti
deret hitung.[1]
Pangan saat ini menjadi perhatian bagi setiap negara. Diamana ketahanan pangan
juga berkaitan erat dengan keamanan non-tradisional yang mengancam keselamatan
jiwa.
Melihat pada fenomena keterbukaan arus perdagangan
regional ASEAN ini yang mana terjadi proses impor barang-barang bahan maupun
produksi olahan pangan yang masuk ke Indonesia dari beberapa negara anggota
ASEAN yang lain yang berdampak pada produksi pengusaha swasta lokal. Sarat yang
kemudian terjadi didalam pasar tunggal adalah adanya persaingan atau kompetisi
yang sehat diantara para pemilik modal atau swasta. Contoh yang paling riil
dari fenomena perdagangan bebas dalam produk agrikultur atau pangan seperti
impor beras yang dilakukan pemerintah Indonesia dari Thailand maupun Vietnam,
maraknya buah-buahan dari luar seperti durian Montong dari Thailand,
Jeruk-jeruk maupun apel dan berbagai macam buah-buahan yang kini membanjiri
pasar domestik (Batu khususnya) baik didalam pasar tradisional maupun
tempat-tempat perbelanjaan modern yang kemudian menggeser popularitas
buah-buahan lokal seperti apel Batu atau Sawo yang dianggap lebih mahal dan
“kurang” prestige.
Eksistensi produk-produk pangan lokal menjadi
terancam dengan adanya pasar bebas tunggal regional bidang pangan, dan
pertanian. Batu sebagai kota kota Wisata, tentu sangat mengandalkan
pariwisatanya yang bukan hanya dalam bentuk tempat wisata, melainkan juga
memungkinkan dalam bentuk wisata kuliner atau makanan. Perdagangan bebas yang
mendorong masuknya buah-buahan impor yang dianggap jauh lebih murah dan
mengakibatkan buah lokal mendapat saingan, ditamabah dengan visi kota Batu
sebagai kota wisata, mendorong masyarakat kota Batu untuk berinovasi khususnya
dalam hal pengolahan pangan. Kota Batu dalam produk pangan memiliki beberapa
hasil olahan pangan seperti kripik buah. Olahan buah menjadi kripik ini
merupakan inovasi yang dilakukan oleh masyarakat Batu yang merupakan upaya
pertambahan nilai dari buah menjadi kripik buah yang berimplikasi pada
pertambahan nilai jual pula. Melihat pada potensi kripik Batu yang bisa dijadikan sebagai komoditas unggulan
ditengah komoditas produk bahan maupun olahan pangan didalam pasar bebas AFTA baik dalam arena lokal hingga ke pasar
regional, maka kami member judul dalam penelitian ini ”PROSPEK KRIPIK BUAH DALAM ARUS PERDAGANGAN BEBAS REGIONAL AFTA BIDANG
AGRIKULTUR”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakag yang telah dipaparkan
diatas, maka rumusan masalah yang kami susun dan hendak dijawab lewat
penelitian ini adalah mampukan kripik buah sebagai produk unggulan asli kota
Batu menjadi icon
dan bersaing dengan produk pangan atau produk agrikultur impor dalam pasar
bebas tunggal agrikultur regional ASEAN di kota Batu?.
C. Tujuan dan Manfaat
Penelitian
Merujuk pada latar belakang dan rumusan masalah yang
telah dipaparkan sebelumnya maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui seberapa besar kemampuan kripik buah sebagai produk pangan
agrikultur unggulan bersaing dengan produk pangan atau agrikultur dari luar (negara-negara
anggota AFTA) didalam pasar bebas tunggal agrikultur regional, serta peran
pemerintah dalam melindungi dan memajukan atau mempromosikan kripik buah
sebagai komoditas dalam pasar bebas AFTA diwilayah lokal.
Adapun manfaat yang kami harapkan dapat dihasilkan
dari penelitian ini adalah dapat memberikan data atau informasi yang berbasis
empirik yang dapat dimanfaatkan baik untuk kepentingan akademis, atau sebagai
bahan pertimbangan bagi pemerintah kota Batu khususnya dalam mengambil
kebijakan. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat member manfaat berupa
dorongan moril bagi para pengusaha kripik buah kota Batu untuk lebih
meningkatkan kualitas produknya.
D. Tinjauan Pustaka
1.
ASEAN
Free Trade Area (AFTA)
Pada tahun 1967 lima negara kawasan Asia Tenggaraa
berkumoul di Bangkok dan berhasil melahirkan organisasi yang bertujuan untuk
mewadahi kepentingan mereka, yaitu guna menunjan percepatan pertumbuhan ekonomi
atau secara umum kesejahteraan negara anggota. Salah satu usaha yang dilakukan
adalah pada tanggal 1 Januari 2002 dimulailah mekanisme erdagangan bebas ASEAN.
Perjalanan AFTA sendiri dimulai pada KTT (konferensi
tingkat tinggi) ASEAN IV 1992 di Singapura.[2]
Istilah AFTA ini merujuk pada kepanjangan dari ASEAN Free
Trade Area yang terkadang salah sebut menjadi ASEAN Free Trade Agreement, dan malah sering dikacaukan dengan istilah
NAFTA (North Atlantic Free Trade Area).
Perjalanan AFTA ini kemudian berlanjut dengan peluncuranya yang pertama kali
yaitu pada 1 Januari 1993 atau satu tahun pasca dicetuskanya. Dalam perjanjian
untuk melaksanakan AFTA ini disepakati dalam jangka 15 tahun negara-negara
anggota ini harus mau menurunkan tariff bea masuk untuk semua jenis barang
hingga 0%-5% pada Januari 2008 yang tercatat sebagai perjanjian Peningkatan
Kerja Sama Ekonomi ASEAN (Framework
Agreement on Enhancing ASEAN Economic Coorporation).
Pada tahun 1994 terjadi perubahan rencana dalam
penetapan target 15 tahun atau tahun 2008 untuk mengurangi bea masuk barang
0%-5% dipercepat menjadi tahun 2003. Kemudian pada 14 September 2001 dalam
pertemuan di Hanoi disepakati untuk percepatan mekanisme yang semula dimulai
tahun 2003 menjadi 2002.[3]
Demi meningkatkan daya saing ASEAn dalam pasar bebas
dunia, maka Asia Tenggara perlu melakukan produksi berbasis teknologi. Ini
mengapa AFTA didirian, yaitu untuk menciptakan pasar bebas atau liberalisasi
perdagangan yang dilakukan dengan mekanisme penghapusan bea masuk barang
produksi dan jasa diwilayah regional ASEAN.[4]
2.
Agribisnis
(Agribusiness)
Istilah agribisnis sering diartikan secara sempit
yaitu perdagangan atau pemasaran hasil pertanian. Konsep agribisnis sendiri
merupakan konsep yang utuh. Konsep yang utuh ini dimulai dari proses produksi,
pengolahan atau mengolah hasil, pemasaran dan aktivitas lain yang berkaitan
dengan pertanian.[5]
Menurut Arsyad dkk (1985), yang dimaksud dengan agribisnis yaitu:
“suatu
kesatuan kegiatan usaha yang meliputi salah satu atau keseluruhan dari mata
rantai produksi, pengolahan hasil dan pemasaran yang ada hubunganya dengan
pertanian dalam arti luas. Sedang yang dimaksud dengan ‘ada hubunganya dengan
pertanian dalam artian luas’ adalah kegiatan usaha yang menunjang kegiatan
pertanian dan kegiatan usaha yang ditunjang oleh kegiatan pertanian.
Kekuatan sector pertanian ini pun dianggap vital
bagi negara-negara anggota AFTA. Karena sector pertanian berkaitan erat dengan
masalah ketahanan pangan. Didalam ASEAN sendiri terdapat perjanjian sektoral
dibidang pangan dan pertanian ini seperti Persiapan dan Penanganan Makanan
Halal (ASEAN General Guide Lines on the
Preparation and Handling of Halal Food). Sedangkan nota kesepakatan yang
bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk pertanian dan kehutanan ASEAN
dibuatlah Nota Kesepemahaman tentang Skema Kerjasama ASEAN dan Kesepakatan
Bersama untuk Peningkatan Produk Hasil Pertanian dan Perikanan (ASEAN Coorporation and Joint Approaches in
Agriculture and Forest Producs Promotion Scheme).[6]
Dengan adanya skema ini jelas dalam ASEAN sektor pangan dan pertanian atau
agribisnis pun sangat dikedepankan karena pentingnya masalah pangan.
E. Metode Penelitian
1.
Jenis
Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan skema penelitian
induktif, dimana peneliti akan mengumpulkan data dari lapangan yang kemudian
diolah. Dimana data-data yang berupa fakta yang didapatkan dilapangan menjadi
titik tolak bagi peneliti untuk kemudian menarik kesimpulan dari fenomena atau
data empirik yang dijumpai dilapangan.[7]
Selain itu juga penelitian ini bersifat observasi
dimana peneliti mencoba menangkap dan mengumpulkan fakta-fakta dilapangan
sehingga dapat dijadikan sebagai bahan penarikan kesimpulan. Dari data yang
diperoleh baik lewat proses induktif dan observasi ini kemudian diolah sehingga
mendapatkan input berupa teori atas fenomena yang ada.
2.
Teknik
Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan beberapa
proses diantarnaya proses observasi kelompok, dan wawancara (Interview). Metode observasi ini
merupakan metode pengumpulan data dengan melakukan upaya penginderaan atau
pengamatan menggunakan indera. Sedang
proses observasi kelompok ini merupakan observasi yang dilakukan secara berkelompok
terhadap objek penelitian.[8]
Selain dengan teknik observasi kelompok, penelitian
ini juga menggunakan metode wawancara atau interview
dalam menggali data dilapangan. Metode
wawancara yang akan kelompok kami gunakan adalah metode wawancara
betahap. Dalam metode wawancara bertahap ini akan dilakukan proses pengumpulan
data dengan cara wawancara yang terstuktur, lebih formal dan lebih sistemik.
Namun bukan wawancara sistemik, yang mana dalam proses wawancra bertahap ini
akan dilakukan secara bertahap yang tidak mengharuskan pewawancara terlibat
secara dalam kehidupan sosial informan. Wawancara jenis ini dilakukan baik
secara terbuka maupun tertutup, serta sifatnya “datang dan pergi” sesuai dengan
kebutuhan peneliti dan secara in-depth.[9]
Sehingga tidak menggunakan kuisioner
yang disebarkan pada sample dalam jumlah besar tetapi hanya merujuk pada
beberapa objek yang diangap representative dalam penggalian data ini.
Dalam pengumpulan data lewat metode wawancara
bertahap ini peneliti akan menggali informasi dari instansi-instansi pemerintah
terkait seperti dari Dinas Koperasi, UKM Perindustrian dan perdagangan, juga para pelaku dalam usaha bidang
pengembangan dan pengelolaan atau produksi kripik buah di kota Batu seperti
koperasi Brosem di jalan Bromo, serta para pelaku dipasar.
Selain dengan
menggunakan metode observasi dan wawancara, penggalian informasi juga dapat
melalui hal-hal yang merujuk pada informasi yang mengarahkan pada fenomena
dilapangan seperti dari berbagai media informasi massa cetak dan elektro
seperti buku, jurnal, internet, surat kabar, dan media terkait lainya.
3.
Teknik
Analisa Data
Data yang diperoleh dari berbagai metode yang telah
disebutkan diatas kemudian diolah untuk menjelaskan fenomena yang ada
dilapangan dengan menggunakan system kualitatif. Dalam hal ini peneliti akan
menyimpulkan fenomena dilapangan dari data-data yang diperoleh kedalam bentuk
sederhana dan tanpa menyertakan data-data statistic atau aritmatik yang mana
informasi dan kesimpulkan ini bukan disajikan dengan beragam angka-angka.
Namun, terbatas pada penyajian secara deksriptif kualitatif.
F. Waktu dan Lokasi
penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan dalam bulan
Desember 2011 hingga Januari 2012. Penelitian ini akan berpusat di Kota Batu,
tepatnya di beberapa sentra industry pengelolaan kripik buah serta pasar atau
tempat kripik buah ini didistribusikan dan dipasarkan di Kota Batu.
G. Tahap Pelaksanaan
Penelitian
Tahap pelaksanaan penelitian secara sederhana dapat
dilihat dalam table monitoring dibawah:
No.
|
Tahap
Pelaksanaan
|
Minggu Pelaksanaan
Ke-
|
||||
I
|
II
|
III
|
IV
|
V
|
||
1
|
Persiapan kelompok dan Proses
Administrasi
|
|
|
|
|
|
2
|
Observasi lokasi
|
|
|
|
|
|
3
|
Pengumpulan data dan informasi
|
|
|
|
|
|
4
|
Pengolahan data
|
|
|
|
|
|
5
|
Penyusunan data hasil temuan
dilapangan
|
|
|
|
|
|
6
|
Pelaporan hasil penelitian
|
|
|
|
|
|
Taman
Pustaka
Buku
Malthus.
Thomas, (1798), An Essay On The Principle
of Population, London, 1998 Electronic Scholarly Publishing Project
Soekartawi. (1991). Agribisnis: Teori dan Aplikasinya. Jakarta: CV. Rajawali
Sugeng, Bambang. (2003). How AFTA Are You? A Question to
entrepreneurs Who Act Locally but Think Globally. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. Hal. 19
Syams, Firdaus. (2007). Pemikiran Politik Barat:Sejarah, Filsafat,
Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia ke-3. Jakarta: PT. Bumi Aksara
[1] Malthus. Thomas, (1798), An Essay On The Principle of Population, London, 1998
Electronic Scholarly Publishing Project. Chapter 2, pg. 6
[2] Sugeng, Bambang.
(2003). How AFTA Are You? A Question to
entrepreneurs Who Act Locally but Think Globally. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama. Hal. 19
[3] Ibid.
[4] Ibid. hal. 22
[5] Soekartawi. (1991). Agribisnis: Teori dan Aplikasinya.
Jakarta: CV. Rajawali
[6] Sugeng, Bambang.
(2003). How AFTA Are You? A Question to
entrepreneurs Who Act Locally but Think Globally. Jakarta: PT. Gramedia
Pustaka Utama
[7] Syams, Firdaus.
(2007). Pemikiran Politik Barat:Sejarah,
Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia ke-3. Jakarta: PT. Bumi
Aksara
[8] Bungin, M. Burhan.
(2008). Penelitian Kualitatif:
Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial Lainya. Jakarta:
Kencana Prenada Media Group. Hal. 116-117
[9] Ibid. hal. 110
Tidak ada komentar:
Posting Komentar