Di
Amerika Yahudi menanamkan Pengaruhnya begitu dalam. Seluruh kegiatan politik
baik itu yang berkaitan dengan dalam mauoun luar negeri sepenuhnya dalam
pantauan AIPAC
YAHUDI MASA OBAMA
Keyakinan bahwa pemikiran Obama tidak
akan jauh berbeza dengan Bush dalam urusan Negara Palestin, beberapa minggu
setelah kemenangan Obama dalam pemilihan, sedikit demi sedikit terlihat bahawa
Obama memilih tokoh-tokoh Yahudi AS sebagai kumpulannya. Beberapa diantaranya
adalah David Exelrod sebagai kepala strategi dan Dennis Ross sebagai badan
penasihat isu-isu Timur Tengah.
Yang cukup mengejutkan, Obama menunjuk
Rahm Emanuel, seorang mantan tentera Israel pada masa Perang Teluk sebagai
badan staff Gedung Putih. Emanuel dikenali sebagai seorang Yahudi dikenali
"Rahmbo" oleh lawan-lawan politiknya. Emanuel pula yang menemani
Obama saat memberikan pidato pro Israelnya di hadapan AIPAC sekaligus mengatur
pertemuan antara Obama dan jajaran eksekutif AIPAC (American Israel Public
Affairs Committee) kelompok Yahudi yang sering mempengaruhipemikiran luar
negera AS, terutama yang berkaitan dengan kawasan Timur Tengah.
Ada beberapa tokoh Israel yang
berpendapat Obama harus mampu melawan tekanan-tekanan Yahudi seperti AIPAC,
jika ia ingin lebih adil pada Palestin. Akiva Eldar, penulis editorial dan
ketua penulis politik di surat khabar Israel Haaretz mengatakan, Obama
seharusnya tidak perlu takut menghadapi kelompok Yahudi sayap kanan.
"Obama memiliki semua yang untuk
terbebas dari tekanan Yahudi di AS," kata Eldar. Apatah lagi saat ini di
AS, tegasnya, muncul generasi baru politik yang memprovokasi penglibatan AS
dalam proses perdamaian di Timur Tengah, dipelopori oleh J. Street dan sikap
mereka berbeza dengan AIPAC.
Pendapat serupa dilontarkan wartawan
senior Haaretz lainnya, Gideon Levy. Levy yang pernah menjadi juru bicara
Shimon Peres dalam tulisannya berharap Obama tidak seperti presiden sebelumya
selama ini menunjukkan sokongan kepada Israel.
Ketika Obama mengatakan "sahabat
Israel" tambah Levy, seharusnya ia mampu mengakhiri blockcade di Gaza dan
boikot terhadap Hamas, mampu mendorong perdamaian antara Suriah dan Israel,
bisa mendorong kesepakatan damai antara Israel dan Palestin.[1]
Rujukan :
Michael Massing di The New York Review of Book edisi 8 Juni
2006 menulis, kebijakan AIPAC sangat bergantung pada para direkturnya yang
dipilih berdasarkan kekayaan. Yang paling berpengaruh adalah Robert Asher,
Edward Levy, Mayer Mitchell, dan Larry Weinberg. Celakanya, empat pengusaha
kaya-raya yang dikenal sebagai “Gang of Four” ini, menurut editor di Columbia
Journalism Review itu, tak peduli terhadap mayoritas Yahudi di AS yang cinta
damai.[2]
Freeman
Meski sangat populer
di AS dan dunia internasional, termasuk Indonesia, Presiden Barrack Obama pekan
lalu ternyata berhasil dipukul Knock Out (KO) oleh loby Yahudi-American Israeli
Public Affairs Committee (AIPAC) yang terkenal sangat digdaya dan mampu
mendiktekan kepentingan Israel di US Congress. Kekalahan telak Obama terjadi
ketika dia mengajukan mantan Duta Besar AS untuk Arab Saudi, Charles Freeman
untuk menjabat sebagai Direktur National Intelligence Community- Ketua Dewan
Intelijen Nasional (NIC) yang sangat strategis dan penting.
Ini adalah ujian yang
pertama kalinya bagi kepemimpinan Obama. Orang nomor satu di Paman Sam ini
harus berhadapan dengan tekanan Yahudi di Gedung Putuh. Freeman sangat fasih
berbahasa Arab karena selain pernah menjabat sebagai duta besar, ia akrab
dengan pejabat di Arab Saudi. Koneksinya dengan para pemimpin Arab juga dikenal
sangat luas, sehingga dikuatirkan lebih pro-Arab.
Sejumlah media massa
seperti New York Times menilai Freeman merupakan contoh pejabat karier diplomat
yang disebut sebagai ‘Arabist’ karena suka mengkritik Israel. Padahal, seperti
diungkap Prof Stephen J Walt, penulis buku “The Israel Lobby”, kritik yang
diungkap Freeman biasa saja, bahkan kalau di Israel Freeman bisa menjadi
kolumnis koran Haaretz, koran kritis yang oplahnya paling besar di sana. Memang,
Freeman sebagaimana mayoritas rakyat AS, sangat kritis dengan kebrutalan Israel
di Palestina. Bahkan menurut Freeman, kekejaman Israel ini akan menghancurkan
negeri Yahudi itu sendiri dan tidak memungkinkan terjadinya perdamaian di Timur
Tengah. Dengan demikian, apa yang dilakukan Israel itu sesuatu yang
bertentangan dengan kepentingan nasional. Henry Waxman, anggota Kongres dari
Partai Demokrat asal Negara bagian California mengatakan bahwa Freeman memang
akan menempati posisi yang sensitif.
Tetapi bahwa Freeman
sampai bisa dinominasikan dalam posisi strategis menunjukkan ada tekad kuat pemerintahan
Obama untuk melakukan perubahan, khususnya dalam politik di Timur Tengah. Obama
memilih Freeman bukannya tanpa pertimbangan yang matang. Selain berpengalaman
di Timur Tengah, suatu kawasan yang dianggap sensitif dan banyak persoalan
untuk AS, Freeman juga punya koneksi luas di Cina dan kawasan timur jauh
lainnya. Pengalaman dan pengetahuan Freeman yang sangat luas di Timur Tengah
dan Cina itulah yang dipandang merupakan aset penting. Sebagai Direktur Dewan
Intelijen Nasional, dia akan mampu memverivikasi dengan baik laporan intel AS
di dunia Arab.
Sudah menjadi rahasia
umum, invasi AS terhadap Iraq didasarkan pada laporan intelijen ngawur dan
bahkan ada yang dipalsukan. Kabarnya, agen-agen Israel ikut memalsukan,
khususnya mengenai cerita bahwa Saddam Husein membeli “Yellow Cake” alias
uranium dari Nigeria yang ternyata merupakan laporan palsu. Kasus ini di
Washington DC terkenal dengan skandal Valerie Palme. Belakangan diketahui, ada
unsur-unsur intelijen Israel yang ikut memalsukannya dengan tujuan agar AS
menyerang Iraq.
Invasi AS yang sudah menelan korban jiwa yang sangat besar ini merupakan blunder politik dan kebobrokan CIA yang luar biasa. Namun demikian, masih banyak pihak-pihak di AS yang mencoba menyembunyikan dari publik. Sebuah buku berjudul “Curveball” yang terbit beberapa waktu lalu menyebutkan bagaimana seorang defector Iraq yang kemudian terbukti berbohong, ternyata menjadi sumber utama laporan CIA bahwa Iraq mempunyai program senjata nuklir. Meski IAEA atau badan pengawas tenaga atom nasional sudah menegaskan tidak ada bukti Saddam membuat bom nuklir, CIA tetap ngotot dengan laporan palsunya.
Invasi AS yang sudah menelan korban jiwa yang sangat besar ini merupakan blunder politik dan kebobrokan CIA yang luar biasa. Namun demikian, masih banyak pihak-pihak di AS yang mencoba menyembunyikan dari publik. Sebuah buku berjudul “Curveball” yang terbit beberapa waktu lalu menyebutkan bagaimana seorang defector Iraq yang kemudian terbukti berbohong, ternyata menjadi sumber utama laporan CIA bahwa Iraq mempunyai program senjata nuklir. Meski IAEA atau badan pengawas tenaga atom nasional sudah menegaskan tidak ada bukti Saddam membuat bom nuklir, CIA tetap ngotot dengan laporan palsunya.
Laporan CIA yang
berdasar sumber palsu itu langsung menjadi santapan kaum konservatif yang
berkuasa di zaman George Bush. Laporan itu menjadi dasar pembenaran serangan AS
ke Iraq. Akibatnya, ribuan tentara AS tewas dan puluhan ribu lainnya luka-luka.
Di pihak Iraq, ratusan ribu tewas atau hilang dan jutaan lainnya terpaksa
mengungsi ke luar negeri. Sampai sekarang AS terpaksa menempatkan ratusan ribu
tentara lainnya untuk menjaga keamanan Iraq.
Menurut pemenang nobel
ekonomi Joseph Stiglitz, biaya perang di Iraq ini sangat membebani bangsa AS.
Sampai hari ini, ditaksir sudah habis sekitar 3 triliun dollar. Jumlah ini akan
semakin membengkak manakala pemerintah Obama tidak bisa menemukan jalan
keluarnya atau yang disebut exit strategy. Akibat pengeluaran militer yang
sangat besar, maka ketika Bush mulai berkuasa pada tahun 2002, AS mempunyai
surplus APBN sekitar 46 miliar dollar tetapi kini sudah defisit ratusan miliar
dollar.
Jelas, pemerintah
Obama menyadari tidak akan mungkin mampu terus melanjutkan pendudukan di Iraq
dan juga di Afghanistan. Oleh karenanya, Gedung Putih berketetapan untuk segera
menyelesaikan persoalan Iraq dan Afghanistan dengan baik. Untuk itu, mereka
memerlukan tokoh seperti Freeman yang dianggap mampu menganalisa situasi di
Timur Tengah dengan baik. Freeman jelas akan bisa mengecek laporan intel yang
ABS dan yang tidak. Selain koneksinya yang luas dengan pejabat di dunia Arab,
dengan mudah dia juga bisa membaca Al-Ahram, Akhbar al-Yaum atau Al-Hayat yang
merupakan media terkemuka di Timur Tengah. Jelas dia merupakan pilihan yang
tepat dan terbaik meski sangat tidak disukai AIPAC yang merupakan lembaga loby
ternama Israel di AS.
Stephen J Rosen salah
satu tokoh AIPAC kabarnya sangat gusar dengan penunjukan Freeman ini. Dengan
dukungan tokoh-tokoh konservatif di Senat, dia akhirnya sukses menghadang
Freeman yang terpaksa mundur dari pencalonan.[3]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar