Reformasi politik yang sedang terjadi di
Mesir saat ini dilatarbelakangi oleh revolusi yang terjadi pada 25 Januari
lalu. Revolusi yang menurut banyak pendapat karena dipengaruhi oleh revolusi di
Tunisia, salah satu negara di Timur tengah yang juga baru saja berhasil
menggulingkan rezim dictator Ben Ali yang sudah berkuasa selama 23 tahun.
Masyarakat Mesir merasa perlu untuk menggulingkan Hosni Mubarak yang sudah
berkuasa selama 30 tahun.
Ide keberhasilan reformasi politik di
Tunisia, ternyata menjalar sampai ke Mesir, Yaman dan Yordania. Januari lalu
ribuan rakyat Tunisia turun ke jalan menuntut turunnya menguasa politik negara
itu. Tuntutan ini berhasil dengan tumbangnya Presiden Zine al-Abidine Ben Ali.
Dari ketiga negara terpengaruh itu, gejolak masyarakat yang paling kuat terjadi
di Mesir. Ribuan rakyat turun ke jalan menuntut turunnya Presiden Mesir Hosni
Mubarak yang telah berkuasa hampir 30 tahun.
Sampai saat ini, diberitakan sekurang-kurangnya telah 100 orang meninggal dunia dalam unjuk rasa. Belum ada dilaporkan korban meninggal di dua negara yang lain. Dalam tinjauan sosiologi politik, peristiwa yang terjadi di wilayah Arab itu cukup mencengangkan dunia. Fenomena tersebut memperlihatkan bangkitnya kesadaran rakyat terhadap keadaan politik di dalam negeri. Sebelumnya, gejolak sosial yang memperlihatkan protes rakyat kepada penguasa secara langsung, jarang ditemui di dunia Arab. Rakyatlah yang menjadi aktor utama dalam pergantian pemerintahan di Tunisia. Rakyat pula yang menjadi aktor utama dalam unjuk rasa di Mesir, Yaman, dan Yordania. Gejolak politik rakyat harus menjadi titik tolak perhatian dari pemerintahan, terutama di negara-negara berkembang. Saat ini percepatan pengaruh politik sangat ditentukan oleh instrumen teknologi komunikasi. Pesan yang mengalir melalui teknologi ini bersifat multidimensi karena bisa ditafsirkan secara jamak. Pada tingkat masyarakat, sifat multidimensi itulah yang akan bergerak membuat pengaruh. Di Tunisia, orang bisa berduyun-duyun datang ke ibu kota dari jarak ratusan kilometer dalam waktu singkat, untuk ikut menyuarakan ketidakpuasan. Pesan ini disampaikan melalui pesan singkat (SMS) telepon seluler dan berbagai perangkat teknologi komunikasi. Jika kemudian fenomena itu sampai berpengaruh ke Mesir, tidak lain disebabkan oleh efek dari teknologi komunikasi tersebut. Akibat dari itu, pemerintah Mesir cepat-cepat memblokir situs internet dan jaringan telepon seluler.
Tetapi harus dilihat, pengaruh paling
besar dari revolusi terletak pada keberhasilannya. Revolusi yang terjadi di
Tunisia berhasil menggulingkan pemerintahan yang berkuasa sebelumnya.
Keberhasilan revolusi inilah yang memberi inspirasi kepada rakyat Mesir untuk
bergerak. Jika revolusi di Tunisia tidak mampu menjatuhkan pemerintahan, belum
tentu hal itu mampu memberikan inspirasi bagi rakyat Mesir untuk bertindak.
Memang ada persamaan kondisi politik antara Mesir dan Tunisia, berupa kekuasaan
berlangsung lama (30 tahun di Mesir dan 23 tahun di Tunisia) dan cenderung
absolut. Akan tetapi faktor utama yang menggerakkan turunnya masyarakat Mesir
ke jalanan adalah keberhasilan revolusi di Tunisia.
Di era kedahsyatan teknologi komunikasi
ini, negara berkembang mempunyai risiko yang amat besar dari guncangan politik
sebagai akibat dari inspirasi revolusi tersebut. Kesenjangan yang lebar di
negara berkembang, tidak saja berupa kepemilikan faktor produksi antara rakyat
kecil dengan elite, tetapi juga diikuti kesenjangan pemahaman akan pengetahuan
politik. Kesenjangan ekonomi akan membuat kecemburuan sosial. Sedangkan
kesenjangan pengetahuan politik ini mempunyai sifat mendua. Di tingkat elite
(ekonomi dan politik), kesenjangan pengetahuan politik akan dipakai penguasa
untuk menguasai rakyat selama-lamanya. Pemerintahan yang berlanagsung sampai
puluhan tahun merupakan salah satu bentuk dari penguasaan politik atas rakyat
dan merupakan bentuk dari pemanfaatan keunggulan pengetahuan politis ini. Pada
tingkat rakyat, kesenjangan politik itu bisa muncul dalam bentuk gerakan
politik.
Unjuk rasa jalanan pada hakikatnya adalah
bentuk kesenjangan metodis dari penyampaian protes politik. Sebab, apabila
dilakukan secara formal, bentuk protes politik kepada penguasa bisa dilakukan
melalui mekanisme formal seperti parlemen dan partai politik. Unjuk rasa sering
mendatangkan kerugian sosial yang sangat tinggi. Korban tewas, bangunan rusak,
sarana jalan hancur adalah bentuk dari kerugian tersebut.
Negara berkembang mengandung potensi yang
besar untuk hal-hal seperti ini. Mungkin aktor negara-negara besar lain juga
memengaruhi tumbangnya kekuasaan politik dari satu rezim. Tetapi pengaruh
paling besar adalah rakyat di dalam negeri itu sendiri.Ketidaksabaran
Satu hal yang mesti diperhatikan dalam
fenomena politik sebagai akibat dari kemajuan teknologi komunikasi, terletak
pada proses ketidaksabaran politik. Ketidaksabaran ini bisa mengakibatkan
gerakan politik. Kemajuan komunikasi membuat berbagai macam informasi dari luar
perbatasan negara, secara mudah masuk langsung ke masyarakat. Kemajuan ekonomi,
politik dan budaya yang ada di luar negeri akan memicu ketidakpuasan kepada
pemerintah tanpa melihat faktor-faktor yang lain. Rakyat yang belum mempunyai
pemahaman politik yang mencukupi, akan secara mudah digerakkan untuk melakukan
protes, termasuk pula protes jalanan.
Apakah fenomena demikian akan berpengaruh
ke Indonesia? Indonesia jelas merupakan negara berkembang dan telah
terpengaruhi reformasi politik tahun 1998. Keberhasilan reformasi politik ini
juga telah menginspirasi negara tetangga Malaysia yang saat itu sedang menahan
Anwar Ibrahim. Kondisi sosial politik yang ada di Indonesia sebelum reformasi
tahun 1998, mempunyai kesamaan dengan di Tunisia. Kekuasaan Presiden Soeharto
berlangsung lebih dari 30 tahun. Hal yang sama juga terjadi di Malaysia, di
mana Perdana Menteri Mahathir Muhamad yang menjadi sasaran protes waktu itu,
telah berkuasa lebih dari 20 tahun.
Akan tetapi kondisi sosial politik di
Indonesia sekarang tidaklah sama. Pemerintahan yang berkuasa sekarang tidak
memegang kekuasaan dalam rentang waktu puluhan tahun. Namun yang harus
diperhatikan bahwa gejolak politik yang terjadi di Tunisia dan Mesir itu harus
menjadi pelajaran besar bagi negara-negara berkembang. Fenomena politik
internasional telah memperlihatkan bahwa saat ini sudah tidak zamannya lagi
model pemerintahan dengan durasi waktu yang sangat lama. Rakyat lebih menyukai
pembaruan politik, lebih menyukai pemerintahan yang mampu memberikan adaptasi
terhadap perkembangan model internasional, sebab pemerintahan yang terlalu lama
memegang kekuasaan, cenderung lambat dan tidak beradaptasi.
Harus juga dipikirkan bahwa upaya-upaya
melanggengkan kekuasaan, baik dalam bentuk merekayasa peraturan (misalnya
amandemen konstitusi) agar bisa melipatgandakaan kekuasaan atau memelihara
kekuasaan melalui dinasti politik keluarga, tanda-tandanya telah mulai tidak
disukai masyarakat. Maka, yang paling menjadi pelajaran bagi Indonesia dari
kasus ini adalah upaya mempersiapkan diri untuk berdemokrasi secara adil dan
jujur. Hanya pemimpin yang jujur dan adil akan mendapatkan kepercayaan dari
rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar