I. Antara Peace Keeping dan Peace Enforcement,
Pelajaran dari Bosnia
Bagian pertama tulisan ini mengkaji kronologis upaya
penjagaan perdamaian di Bosnia beserta tantangan dan faktor yang mempengaruhi
karakteristik uniknya. Theo Farrell menjelaskan bahwa dalam sekian banyak
operasi perdamaian (peace operations)
selalu timbul dilemma antara berupaya mempertahankan netralitas dan menjaga
keberlangsungan persetujuan (consent)
dalam sebuah operasi ataukah mempersiapkan diri untuk menggunakan kekuatan
untuk menetralisasi keberadaan pihak-pihak yang mengancam upaya perdamaian.
Selanjutnya dikenal dengan istilah intervention
optimist dan intervention pessimist.
Farrell juga menunjukkan perbedaan yang cukup kentara antara upaya menjaga
perdamaian tradisional (traditional
peacekeeping) dengan operasi pencipataan perdamaian (peace enforcing). Konsep yang pertama mewarnai karakteristik
operasi di masa perang dingin bersumber dari justifikasi bab VI dari piagam PBB
(Pacific Settlement of Dispute) dan
bab VII mengenai penggunaan kekerasan oleh PBB untuk perdamaian dan keamanan
internasional dimana elemen ketidakberpihakan (impartiality) dari pelaksana operasi dan goodwill dari pihak yang terlibat konflik sangat ditekankan.
Sebagai konsekuensinya 13 misi yang dilaksanakan antara tahun 1948 – 1978
menggelar pasukan dalam jumlah yang relative kecil dan dipersenjatai secara
ringan dengan mandate terbatas seperti mengawasi gencatan senjata dan memonitor
upaya perdamaian.
Sementara peace
enforcing adalah konsep yang merepresentasi operasi yang terjadi paska
perang dingin yang ditandai dengan tugas dan mandat yang lebih luas (oleh
tentara Inggris disebut wider
peacekeeping) dan kompleks mulai dari menjaga perbatasan, mengawal konvoi
bantuan, melindungi rakyat sipil, memonitor pemilu, sampai melatih dan
mempersiapkan polisi dan tentara pemerintahan yang baru terbentuk. Perbedaan
radikal karakteristik operasi tipe ini dibandingkan pendahulunya berada pada
penekanan elemen impasialitas, persetujuan (consent)
dan kekerasan (force). Pada operasi peace enforcing pasukan dapat
menggunakan kekerasan (untunk mereka yang menganggu jalannya upaya damai, spoilers) dan melanggar aspek
imparsialitas dan mengancam consent
dengan mengambil peranan yang lebih inisiatif yang lebih aktif dalam sebuah konflik.
Dicontohkan dalam kasus ini dalam dua scenario: kasus Somalia dan Rwanda.
Pada kasus operasi perdamaian di Somalia (1992 –
1995), UNOSOM II (United Nation Operation in Somalia) dianggap gagal karena
berbuat ‘terlalu jauh’ (merubah mandate awal UNOSOM I yang berperan hanya
mengawasi jalannya perdamaian, sehingga dikenal muncul istilah Mogadishu line) dengan berupaya melucuti
salah seorang warlords, jendral
Aideed dimana upaya itu berujung pada meruncingnya perseteruan antar pasukan
PBB dan penduduk lokal, menghasilkan tragedi dimana 24 tentara Pakistan yang
sedang berpatroli disergap dan dibunuh dan kejadian malapetaka black hawk down di Mogadishu. Namun
melihat kasus di operasi PKO di Rwanda
(United Nation Assistance Mission for Rwanda, UNAMIR) dimana 2500
personil kekurangan staf, sumberdaya, persenjataan yang memadai dan mandate
menggunakan kekerasan menyebabkan ketidakmampuan mereka menghentikan atau
setidaknya megurangi intensitas genosida yang terjadi di Rwanda dimana lebih
dari 800.000 orang terbunuh. UNAMIR dan PBB dianggap gagal pada titik ini,
untuk berbuat lebih dalam upaya pencegahan dan penanggulangan pelanggaran HAM
yang terjadi.
Studi kasus Bosnia dalam hal ini menjadi sangat unik
karena menunjukkan transformasi karakter operasi yang semula pasif menjadi
lebih aktif dalam menjaga perdamaian. Pada tahun 1992 -1995 satuan tugas
penjaga perdamaian untuk Bosnia (United
Nations Operations in Former Yugoslavia, UNPROFOR) untuk membantu
meminimalisir penderitaan para penduduk sipil yang terjebak dalam perang antara
Serbia dan Kroasia (beserta sekutu mereka di Bosnia) melawan negara multi-etnis
demokratis yang pada saat itu baru terbentuk, Bosnia. Awalnya satuan tugas ini
hanya dibekali 7000 personil yang kerapkali tidak berdaya menghadapi blockade
dan rintangan para serdadu Serbia dalam upaya mengantarkan bahan makanan maupun
obat-obatan bagi masyarakat sipil di Palestina dikarenakan arahan kebijakan UN
yang sangat mempertahankan persetujuan dan kemauan Serbia – Kroasia sebagai
bagian dari pihak yang secara langsung terlibat dalam konflik (endless appeasement) baik dalam izin
melewati blockade dan jalan, melindungi masyarakat muslim yang tidak berdaya,
sampai upaya positif membangun perdamaian. UNSC kemudian diberi mandate lebih
untuk melindungi enam bagian daerah yang diperuntukkan bagi zona aman (safe zones) bagi para penduduk sipil
Bosnia. UNPROFOR sayangnya sangat lembek terhadap orang-orang Bosnia pro Serbia
yang militant dan ekstrimis yang seringkali melanggar kesepakatan dan terus
membunuh dan menyebarkan terror bagi masyarakat muslim Bosnia. Puncaknya,
menurut Farrell, ketika ada dua zona aman yang ditembus, Srebrenica dan Zepa
dan diiringi pembantaian besar-besaran terhadadap penduduk sipil laki-laki
secara besar-besaran. Pada titik inilah Jenderal Rupert Smith mengadopsi
kebijakan ‘eskalasi untuk keberhasilan’ (escalation
to success) dengan memanggil serbuan udara dari NATO dan turut mendorong
pihak Serbia untuk mengusulkan perdamaian dengan terpaksa.
Selain karakter operasi, Farrell juga membahas
hal-hal yang mempengaruhi intervensi humaniter (humanitarian intervention), ada tiga hal: (a)opini publik, terkait
dengan Bosnia, NATO dan UN justru berupaya mati-matian menggambarkan Serbia dan
Kroasia bertanggungjawab atas pelanggaran HAM yang ada sehingga memperkuat
legitimasi dan dukungan public terhadap operasi yang dilangsungkan; (b)bodybags effect dimana UNPROFOR dan NATO
lebih mengandalkan serangan udara ‘air
strike’ dengan harapan minimalisasi korban jiwa yang jatuh seperti di
Somalia (18 orang prajurit AS yang tewas memaksa Bill Clinton menarik misi
perdamaian AS) dan Rwanda (kematian 10 orang tentara Belgia memaksa pemerintah
setempat menarik keterlibatan pasukannya dalam UNAMIR); (c)politik dewan
keamanan dimana Farrell mengemukakan sulitnya mencapai kesepahaman dan juga
dalam pengimplementasian di tataran praktis,
lamanya proses deliberasi untuk menentukan keterlibatan di dalam konflik
Bosnia adalah contoh yang cukup relevan, apalagi mengingat pembentukkan 6 zona
aman itu sendiri menuai kritik keras (karena kegagalan perlindungan yang cukup
dari PBB).
Beberapa ahli seperti Ed Vulliamy lebih keras
daripada Farrel dalam melihat konteks kegagalan UNPROFOR melindungi Srebrenica
dan Zepa. Dia menganggap pasukan perdamaian dan dunia melakukan ‘the crime of appeasement’ dimana dengan
tidak mengambil tindakan keras terhadap Milisi Serbia radikal maka dunia
internasional berkontribusi terhadap semakin intensifnya kekerasan yang
terjadi, baik dengan memberikan sense of
normalcy dalam pelanggaran HAM maupun dengan membiarkan indikasi praktis
tanpa ada upaya kongkret pencegahan[1]. Selain
itu pada dasarnya Kaoru Okuizumi menegaskan bahwa elemen perlindungan hak asasi
manusia (HAM) dalam sebuah daerah konflik membutuhkan kelengkapan institusi dan
instrumentalisasi pedamaian itu sendiri[2].
Okuizumi menyesalkan pembentukan badan khusus PBB (United Nation Mission in Boesnia Herzegovina, UNIMBIH) yang secara
spesifik memiliki human right office
maupun pemberian sanksi yang terkesan diulur-ulur dan kurang tegas sampai pada
narasi pemboman NATO, ia menganggap kelengkapan persiapan yang lebih baik
seharusnya dapat dimiliki oleh pasukan perdamaian yang sudah tentu menurutnya
menghindari kerugian sepertin yang telah diderita dunia, terutama warga sipil
Bosnia.
Selain itu Mark Duffield dan Joe Stock juga
berpendapat sama dengan kedua ahli diatas, ia menyalahkan dunia internasional
dan UNPROFOR atas peristiwa naas yang terjadi di dua safe zone, namun ia melihat faktor kegagalan politiklah penyebab
utamanya. Ia melihat kegagalan di Bosnia (untuk bertindak dengan sigap dan
responsif merupakan sebuah tamparan keras bagi pasukan perdamaian karena
berbeda dengan Afrika, perang Bosnia adalah salah satu perang yang mendapatkan
peliputan paling ekstensif dan pencatatan peristiwa yang sangat komprehensif,
singkat kata tidak mungkin bagi pasukan perdamaian di konflik Bosnia untuk
mengatakan kelalaiannya karena disebabkan kurangnya akses informasi maupun
kesiapan pasukan bersenjata. Hal ini menyebabkan kedua ahli menyimpulkan bahwa tidak
adanya political will yang kuat
menghalangi dan membuka jalan bagi eskalasi konflik yang semakin besar dan
mematikan, suatu kesalahan yang berakibat kerugian fatal yang menimbulkan rasa
hutang moral penduduk Eropa dan negara barat[3].
Rasa bersalah yang dicoba ditebus dengan humanitarian
aid yang dikucurkan dalam jumlah besar namun tetap tidak dapat menghapus
peristiwa kelam Bosnia dari lembara sejarah.
Namun saya merasa dalam konteks pemahaman konflik
Bosnia yang adil kita perlu juga memperhitungkan kemampuan UN dan pasukan
perdamaian disana untuk setidaknya memitigasi kerusakan dan ancaman yang
ditimbulkan oleh para pihak yang berniat mengganggu jalannya perdamaian (spoilers in conflict). Beberapa ahli
seperti Stephen John Stedman memperhitungkan faktor peace spoilers sebagai ancaman terbesar jalannya perdamaian dengan konsekuensi negatif paling
ekstrim berupa kegagalan total jalannya perdamaian yang ditandai dengan
kemunculan kembali konflik dan peperangan seperti semula (bahkan mungkin lebih
parah) dimana kondisi ini tidak terjadi di Bosnia[4].
Memang Srebrenica dan Zepa merupakan tragedi besar bagi kemanusiaan, namun kita
tidak boleh melupakan keempat wilayah aman lainnya yang berhasil disekamatkan.
II.
III. Negosiasi dan Resolusi Konflik dalam Perang
Bosnia
Resolusi konflik dalam sebuah perang merupakan jalan untuk menghentikan
kekerasan dalam perang. Resolusi konflik ia katakan sebagai sebuah program
radikal yang mentransormasi konflik yang menandung kejahatan menjadi tidak
mengadung kejahatan. Dengan demikian, resolusi konflik lebih luas dari
penghentian konflik tetapi resolusi konflik tidak selalu memiliki hubungan
langsung dengan berakhirnya kekerasan dalam konflik. Ini dikarenakan meski
sudah ada resolusi konflik, akar permasalahan juga belum tentu hilang. Perang
biasanya menciptakan konflik tambahan, sementara itu konflik akan merumitkan
akar permasalahan yang sebenarnya, atau menambah isu yang sudah ada.
Usaha-usaha untuk menyelesaikan konflik tidak lantas dapat mengakhiri perang,
dan usaha untuk mengakhiri perang tidak lantas bisa menyelesaikan konflik yang
tengah berlangsung. Terutama, sejak berakhirnya Perang Dingin, konflik-konflik
yang bermunculan memiliki karakter yang unik dan semakin susah untuk
diselesaikan.
Wallensteen dan Sollenberg telah melakukan kalkulasi yang hasilnya
menunjukkan bahwa dari 101 konflik yang terjadi pada 1986 sampai 1996, 68-nya
berakhir. Namun, hanya 19-nya yang berakhir pada persetujuan perdamaian, 23
berakhir karena kemenangan salah satu pihak. Temuan lain juga menyebutkan bahwa
hanya sepertiga dari seluruh perang sipil, yang kedua belah pihaknya mau
melakukan negosiasi, dan lebih dari sebagiannya adalah konflik yang terjadi
antar negara, bukan konflik di dalam negara yang banyak terjadi setelah Perang
Dingin.[5]
“Berakhirnya perang” sendiri merupakan sebuah istilah yang definisinya
amat dapat menimbulkan pertanyaan. Wallensteen dan Sollenberg mengartikannya
sebagai “tidak adanya konflik bersenjata pada tahun-tahun berikutnya tetapi,
persetujuan damai sering kali dilanggar, di masa berikutnya kejahatan dalam
konflik dapat terjadi”. Dengan demikian, berakhirnya perang bukanlah sesuatu
yang terjadi ada satu waktu, melainkan ia adalah proses yang berakhir dengan
kemenangan dispensasi politis yang baru, atau berkonsiliasinya partai-partai,
atau konflik seperti memudar pada awalnya. Bagaimanapun juga, konflik pasti
berakhir, meskipun dalam waktu yang sangat lama. Inilah yang terjadi dalam
Perang Bosnia di mana telah terjadi gencatan senjata yang diikuti dengan
pejanjian damai tetapi kemudian perjanjian itu dilanggar sehingga tetap timbul
kejahatan dikemudian hari.[6]
Dispensasi politik yang baru juga tadinya telah dicapai dengan terbentuknya Serbian
Republic of Bosnia and Herzegovina oleh parlemen dan Croatian Community of Herzeg-Bosnia
dibawah pimpinan Mate Boban sebagai perlambangan nasionalis Kroasia.[7]
Wallensteen dan Sollenberg juga
menambahkan bahwa banyak perang yang berakhir tanpa ada kemenangan salah satu
pihak atau perjanjian, melainkan hanya karena kedua belah pihak yang bertikai
tidak lagi menginginkan atau tidak lagi memiliki kemampuan untuk meneruskan
perkelahian. Hal ini diperkuat dengan pendapat Licklider bahwa perang sipil
yang berakhir dengan negosiasi perjanjian justru cenderung mengarah pada
kemungkinan munculnya konflik bersenjata yang lebih akut di kemudian hari.
Sementara itu, perang sipil yang berkahir dengan kemenangan militer salah satu
pihak, cenderung mengarah pada genosida.[8]
Dalam Perang Bosnia, Lisbon Agreement jelas
mementahkan kembali apa yang sebenarnya ingin dicapai oleh Alija Izetbegovic.
Dikemudian hari ia baru menyadari bahwa dengan menandatangani perjanjian itu ia
berarti mengakui adanya perpecahan di dalam negerinya dan hal tersebut justru
akan memperlemah power dari Bosnia Herzegovina sendiri.[9]
Akan tetapi, Wallensteen dan Sollenberg menyatakan bahwa yang harus
tetap diakui adalah, dalam sebuah konflik pasti ada kelompok yang menderita
kerugian karena ia harus membayar mahal atas apa yang terjadi. Dengan begini,
akan ada sejumlah orang (tentunya sebagian besar) yang akan mendapat keuntungan
jika perang berhenti. Inilah yang menjadi aspek penting dari peacemaker, bahwa mereka harus mempunyai
pendukung potensial yang tidak terbatas. Pendukung potensial yang tidak
terbatas bisa diciptakan dengan cara mentransformasi konflik. Lalu, bagaimana
mentransformasi sesuatu yang tadinya memicu konflik menjadi seuatu yang tidak
memunculkan konflik? Setidaknya, ada lima hal yang harus ditransformasi untuk
mewujudkan tranformasi konflik yang maksimal.
Pertama, transformasi konteks. Konflik melekat pada konteks sosial,
regional, atau internasional yang mana sangat berpengauh pada kontinuitas
konflik tersebut. Perubahan yang terjadi dalam konteks kadang lebih dramatis
dari perubahan yang terjadi dalam pihak-pihak yang bertikai itu sendiri.
Berakhirnya Perang Dingin, merupakan salah satu perubahan konteks penting yang
telah membuka konflik-konflik di berbagai belahan dunia.
Kedua, transformasi struktural. Struktur konflik adalah kumpulan aktor,
isu, dan tujuan-tujuan yang bertentangan atau hubungan-hubungan yang ada dalam
sebuah konflik. Jika akar permasalahan sebuah konflik terletak pada struktur
hubungan antara pihak-pihak maka transformasi dari struktur tersebut adalah hal
yang mutlak diperlukan dalam menyelesaikan konflik.
Ketiga, transformasi aktor. Berbagai pihak yang trlibat dalam konflik
harus meredefinisi arah, meninggalkan atau memodifikasi tujuan, dan secara
radikal harus mengadopsi perspektif yang baru. Hal itu dapat terjadi jika
aktornya berubah, kepemimpinannya berubah, konsituensi pemimpinnya berubah,
atau pemimpinnya mau mengadopsi tujuan, nilai, atau kepercayaan baru. Hal itu
yang harus terjadi pada intra-party
conflict, yang mana sangat berpengaruh pada resolusi inter-party conflict. Pemecehan atau integrasi pihak-pihak yang
bertikai sangat penting bagi terwujudnya perubahan.
Keempat, transformasi isu. Konflik dipahami sebagai posisi yang saling
bertentangan antara pihak-pihak yang terlibat dalam berbagai isu. Ketika mereka
mengubah posisi mereka, atau ketika isu-isu tertentu hilang dan yang lainnya
muncul, konflik akan mengalami transformasi. Ini dikarenakan perubahan posisi
sangat erat kaitannya dengan perubahan kepentingan dan tujuan, yang mana
mengarah pada transformasi aktor, konteks, dan struktur. Transformasi isu
sangat membutuhkan kehadiran pihak ketiga yang akan membuat pihak-pihak
bertikai melakukan saling melakukan kontak. Mediasi yang dilakukan piha ketiga
juga penting dalam rangka menyadarkan pihak yang bertikai bahwa konflik tidak
akan membawa mereka pada tujuan yang diharapkan, sebelum mereka mencapai tahap
negosiasi formal.
Kelima, transformasi personal dan kelompok. Inilah ini dari transformasi
konflik. Dalam ajaran Buddhist,
disebutkan bahwa konflik itu ada dalam hati dan pikiran orang, maka
perubahan akan datang dari pikiran dan hati orang-orang itu. Dalam ajaran
tersebut konflik dianggap muncul dari loba
(mengidamkan sebuah tujuan dan berusaha memperoleh kekuasaan), dosa (kebencian,
atau prasangka), dan moha (persepsi-persepsi
menyimpang). Maka, itu dapat ditransformasi menjadi aloba (rekonsiliasi), adosa (saling
menerima satu sama lain), dan amoha (melihat
lebih luas dengan pikiran jernih).[10]
Dalam Perang Bosnia, PKO PBB tidak banyak berperan karena peace belum terjadi sehingga tidak ada
yang bisa dikeep. Harunya, perdamaian
itu diadakan terlebih dabulu sebelum PKO turun tangan. Namun, perdamiaan tidak
dapat diwujudkan karena pihak-pihak yang bertikai lebih memilih mengeksploitasi
keadaan ketimbang mentransformasi keadaan. Peace
harusnya dapat diwujudkan ketika peacemaker
mendapat dukungan tidak terbatas dari pihak-pihak yang merasa dirugikan
dalam konflik. Namun, dalam Perang Bosnia di mana pihak yang paling banyak
dirugikan adalah wanita dan anak-anak juga tidak dapat melakukan peranan yang
signifikan.
Dari paparan di atas, peran pihak ketiga menjadi hal yang menarik karena
keharusannya untuk membawa kedua belah pihak dalam negosiasi. Sementara itu,
negosiasi untuk menciptakan resolusi konflik jarang sekali ada yang berhasil.
Lagipula, negosiasi akan terjadi pada situasi konflik “yang memuncak” (“hurting
stalemate”) tetapi, karena hal itu sangat bergantung pada kekuatan jenis
hubungan yang terjadi antara aktor yang bertikai, maka ia gagal mepertimbangkan
perubahan yang mungkin terjadi di dalam masing-masing pihak atau perubahan
dalam konteks yang juga bisa mendorong terjadinya negosiasi. Sulit mengukur
apakah konflik yang ada sudah cukup “hurt” bagi pihak yang bertikai. Dalam
Perang Bosnia, kadar hurt itu sendiri
juga sangat sulit diukur. Namu, setidaknya, ada pihak yang berhasil membawa
pihak-pihak bertikai ke dalam negosiasi, yaitu AS.
Dalam negosiasi yang dilakukan, pihak ketiga (AS dengan NATO) dan pihak-pihak yang bertikai harusnya perlu
memikirkan formula negosiasi yang dapat diterima, berkomitment untuk
menjalankan segala seuatunya dengan cara damai, dan mengatur spoiler yang berusaha menghentikan
transformasi konflik. Lalu, pertanyaan besar yang kemudian muncul adalah,
bagaimana jika pihak ketiga adalah spoiler?
Inilah yang terjadi pada konflik Bosnia. Pihak ketiga tidak qualified dan menurut penulis, ia adalah
spoiler dalam konflik itu. AS menjadi
spoiler seiring dengan keterlibatan
NATO dalam mendukung Kroasia ketimbang pihak lain. Keterlibatan AS dimulai
dengan klaimnya atas hak untuk melakukan penembakkan terhadap 4 jet Serbia yang
dianggap melanggar zona terbang PBB. Dalam hal ini, kepentingan AS dapat
terlihat jelas, ia berusaha menggambar Serbia sebagai musuh internasional
karena dikhawatirkan apabila Serbian Forces
dengan dukungan dari Slobodan Milosevic dapat memperluas wilayahnya akan
membangkitkan pengaruh komunis di Eropa Timur, sehingga lebih menguntungkan
bagi Amerika Serikat untuk mensponsori perdamaian Kroasia-Bosnia
Herzegovina.PBB sebagai pihak ketiga juga sama sekali tidak signifikan karena
embargo yang ia lakukan justru semakin menambah jumlah pihak yang menderita
kerugian.[11]
[1] Ed Vulliamy, Bosnia: The Crime of Appeasement , International Affairs (Royal
Institute of International Affairs 1944-), Vol. 74, No. 1 (Jan., 1998), pp.
73-91 diakses dari http://www.jstor.org/stable/2624667 pada 27/04/2010 p.k. 18:51
[2] Kaoru Okuizumi, Peacebuilding Mission: The Lesson From
Bosnia Herzegovina, Human Rights Quarterly, Vol. 24, No. 3 (Aug., 2002),
pp. 721-735, diambil dari http://www.jstor.org/stable/20069625 pada 27/04/2010
p.k. 18:56
[3] Mark Duffield dan Joe Stork, Bosnia is the Classic Case of Using
Humanitarian Aid as a Smokescreen to Hide Political Failure, Middle East
Report, No. 187/188, Intervention and North-South Politics in the 90's (Mar. -
Jun., 1994), pp. 18-23
[4] Stephen John Stedman, Spoiler Problems in Peace Process,
International Security, Vol. 22, No. 2 (Autumn, 1997), pp. 5-53, diambil dari http://www.jstor.org/stable/2539366 pada 27/04/2010 p.k. 19:01
[5] Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham
and Tom Woodhouse. Contemporary Conflict
Resolution: the
Prevention, Management and
Transformation of Deadly Conflicts (second edition) Cambridge: Polity Press, 2005. Hal. 153
[6] Bosnia-Herzegovina merupakan negara dengan
kompleksitas etnis yaitu 44 % Bosniaks (beragama Muslim), 31% Bosnian Serb (beragama Kristen Ortodoks), dan
17% Bosnian Croat (beragama Katholik Roma). Bosnia Herzegovina merdeka melalui
referendum pada 5 Maret 1992 tentunya dengan kondisi perpecahan internal. Untuk
menghindarkan perang antar etnis di dalam Bosnia Herzegovina, diadakanlah
Lisbon Agreement yang ditandatangani pada 18 Maret 1992 oleh Alija Izetbegovic
mewakili Bosniaks, Radovan Karadzic mewakili etnis Serbia, dan Mate Boban
mewakili etnis Kroasia. Tetapi pada tanggal 28 Maret 1992, setelah bertemu
dengan duta besar US untuk Yugoslavia, Warren Zimmermann di Sarajevo, Alija
Izetbegovic menarik kembali tanda tangannya dan mendeklarasikan oposisinya pada
bentuk apapun dari pembagian etnis di Bosnia.
[7] Farrell, Theo (2002)
“Humanitarian Intervention & Peace Operations” in Baylis, John, et.al. Strategy in the Contemporary World:
An Introduction to Strategic Studies. Oxford: OUP, 2002. Chapter 12.
[8] Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham
and Tom Woodhouse. Contemporary Conflict
Resolution: the
Prevention, Management and
Transformation of Deadly Conflicts (second edition) Cambridge: Polity Press, 2005. Hal. 154
[9] Farrell, Theo (2002)
“Humanitarian Intervention & Peace Operations” in Baylis, John, et.al. Strategy in the Contemporary World:
An Introduction to Strategic Studies. Oxford: OUP, 2002. Chapter 12.
[10] Miall, Hugh, Oliver Ramsbotham and
Tom Woodhouse. Contemporary Conflict
Resolution: the
Prevention, Management and
Transformation of Deadly Conflicts (second edition) Cambridge: Polity Press, 2005.157
[11] Farrell, Theo (2002)
“Humanitarian Intervention & Peace Operations” in Baylis, John, et.al. Strategy in the Contemporary World:
An Introduction to Strategic Studies. Oxford: OUP, 2002. Chapter 12.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar