1.
Latar Belakang
Rwanda adalah sebuah negara yang berada di Afrika bagian
tengah dengan penduduk pribumi terdiri dari tiga suku, yakni suku Twa (sebanyak
1%) sebagai suku tertua, suku Hutu
(etnis mayoritas sebanyak 88%), dan suku Tutsi (11%, etnis minoritas) sebagai
orang suku yang tinggal di dusun-dusun yang menduduki wilayah Rwanda sejak abd
ke-15. Pembunuhan massal (genosida) yang terjadi di Rwanda pada 1994 merupakan
konflik yang terjadi dari akumulasi kebencian antar etnis, yakni antara etnis
Hutu dan Tutsi. Pembagian strata yang dilakukan oleh kolonial Belgia yang
menempatkan etnis Tutsi untuk menempati strata tertinggi yang secara fisik
dihubung-hubungkan memiliki kedekatan hubungan dengan bangsa Eropa. Suku Tutsi
memiliki warna lebih cerah dan hidung mancung. Sebagai bangsa pendatang
(minoritas), belgia berusaha mendekatkan diri dengan etnis minoritas juga (suku
Tutsi). Pemerintah Belgia mulai melakukan diskriminasi dengan lebih memberikan
perhatian pada suku Tutsi dan memberi porsi pemerintahan kepada suku Tutsi. Konflik
pun dimulai setelah Rwanda memperoleh kemerdekaannya, Belgia justru memberikan
kontrol kekuasaan dan pemerintahan pada etnis Hutu. Hal tersebut merupakan
kesempatan pada etnis Hutu untuk melakukan balas dendam dan diskriminasi yang
selama ini telah didapatkannya selain karena perbedaan pandangan dan
kepentingan.
Kesenjangan yang terjadi selama bertahun-tahun menjadi
konflik skala besar pasca terbunuhnya presiden Juvenal Habyarimana pada 6
Januari 1994 saat sedang melakukan perjalanan pesawat dari Tanzania. Presiden
Habyarimana sedang dalam misi besar dalam politik pemerintahannya saat itu
sejak tahun 1990-an, yakni merintis pemerintahan yang melibatkan tiga etnis
pribumi Rwanda dan pembagian kekuasaan pada etnis-etnis sesuai dengan piagam Arusha Accord yang ditandatanganinya
pada 1993. Habyarimana sebagai orang Hutu mengawali upaya penyatuan dengan
mengangkat Agathe Uwilingiyama dari suku Tutsi. Pengangkatan tersebut tentunya
menimbulkan pertentangan dan penolakan dari kelompok militan yang tidak ingin terjadi
penyatuan atau ingin mempertahankan pemerintahan satu suku.
Aksi yang juga disebabkan oleh provokasi publik melalui
radio oleh etnis Hutu yang tidak menginginkan keberadaan etnis Tutsi yang
dikawal oleh provokasi Rugunda dan semakin diperparah dengan dugaan akan adanya
pemberontakan oleh kelompok pemberontak Tutsi yang akan mengambil alih kontrol
kekuasaan menimbulkan ketegangan antara kedua pihak dengan Interhamwe (militer
dari etnis Hutu) tetap berusaha memegang kontrol melalui bantuan dari Perancis
dan keberadaan pasukan perdamaian PBB melalui operasi peace keeping United Nations Assistance Missions for Rwanda
(UNAMIR) yang berusaha menjaga perdamaian pasca perundingan di tahun 1992 dan
pemeliharaan wilayah Rwanda menyusul akan dipulangkannya satu juta pengungsi
suku Tutsi ke Rwanda pada tahun 1994.
Namun demikian, rasa kebencian dan konflik yang membara
sejak lama semakin besar dan menempatkan Interhamwe melakukan pembunuhan massal
atas etnis Tutsi dengan segala kecurigaan-kecurigaan yang ada. Meskipun telah
terjadi intervensi kemanusiaan, namun tidak dapat menghentikan pembunuhan
massal antar etnis dengan korban lebih besar antara 800.000 sampai satu juta
jiwa di pihak etnis Tutsi.
Masa pemerintahan Paul Kagame sebagai pemimpin dari Rwandan Patriotic Front (RPF)
menggantikan Habyarimana mengawali pemindahan kekuasaan di Kigali terhadap
kelompok oposisi. Pembantaian massal di Rwanda pada awalnya tidak mendapat
perhatian dunia internasional, khususnya Belgia, Inggris, Perancis, dan Amerika
Serikat (AS). Penyebab paling dominan adalah tidak adanya kepentingan nasional
dari negara-negara bersangkutan dan dirasa tidak memiliki keuntungan atas
Rwanda. Saat terjadi konferensi tentang pembantaian etnis di Kigali pada 2004,
forum secara jelas menunjuk Belgia, Inggris, Perancis, dan AS tidak melakukan
tindakan apapun dan berada di balik tragedi Rwanda tersebut. Sekretaris
Jenderal PBB Kofi Anan yang saat itu menjadi wakil komandan pasukan penjaga
perdamaian di Rwanda juga tak luput dari sorotan terutama ketika ia mendapat
nobel perdamaian. Desakan masyarakat internasional mampu membuat PBB
mengirimkan pasukan perdamaian untuk menyelesaikan konflik antara suku Hutu dan
Tutsi melalui human intervention.
2.
Rumusan Masalah
Sehubungan dengan permasalahan yang penulis utarakan
dalam latar belakang tersebut diatas maka rumusan penelitian dalam paper ini
ada beberapa poin, yakni bagaimana upaya penyelesaian dalam konflik Rwanda melalui
UNAMIR sebagai intervensi kemanusiaan PBB ?
3.
Konsep dan Landasan Teori
3.1
Konflik Internal
Menurut Wese Becker, konflik merupakan proses sosial
dimana individu maupun kelompok berusaha memenuhi tujuannya dengan menentang
pihak lain yang disertai dengan ancaman atau kekerasan. Konflik internal yang
terjadi dalam bebrapak dekade merupakan konflik horizontal antar ras, etnis,
dan agama di dalam suatu wilayah atau negara dimana saat perang dingin
merupakan konflik eksternal yang berkaitan dengan hubungan antar negara, namun
pasca perang dingin lebih ke konflik internal dalam bentuk gerakan separatis
dan kerusuhan massal yang menelan banyak korban jiwa.
Menurut Michel E. Brown berkaitan dengan konflik
internal, antara lain pertama, konflik
internal telah merebak ke banyak negara dan menimbulkan aksi-aksi kekerasan. Kedua, konflik internal telah
menyengsarakan masyarakat yang menjadi korban yang tidak berdaya akibat
konflik, seperti pembunuhan, penyiksaan, pemerkosaan, dan pengusiran. Ketiga, konflik internal penting karena
sering melibatkan negara-negara tetangga sehingga bisa menimbulkan konflik
perbatasan. Pengungsi yang menyeberang ke negara tetangga atau pemberontakan
yang mencari perlindungan ke negara tetangga dapat menimbulkan permasalahan
baru yang dapat memicu konflik bersenjata antar negara yang bertetangga. Keempat, konflik internal penting karena
sering mengundang perhatian dan campur tangan dari negara-negara besar yang
terancam kepentingannya dan organisasi internasional.
3.2
Genosida
Kata genosida
berasal dari “genocide” dengan
menggabungkan geno-dari kata Yunani
yang berarti rasa tau suku, dengan –cide,
dari kata Latin yang berarti pembunuhan. Yang memunculkan istilah “genocide” adalah Raphael Lemkin
(1900-19059) pada tahun 1944, seorang pengacara Yahudi Polandia, dalam bukunya Axis Rule in Occupied Europe yang
diterbitkan di AS yang berupaya mendeskripsikan kebijakan Hitler dalam
pemerintahan Nazi yang melakukan pembantaian besar-besaran. Istilah genosida
mengacu pada kejahatan kekerasan yang dilakukan terhadap suatu kelompok dengan
tujuan menghancurkan kelompok itu.[1]
Menurut Lempkin, genosida meliputi :
a.
Pemusnahan kelompok etnis
b.
Tidak harus berarti pemusnahan segera suatu bangsa
c.
Ada unsur “niat” yang direncanakan
d.
Ditujukan untuk menghancurkan fondasi utama bangsa
e.
Cara : memecah belah institusi politik, social, budaya, bahasa, perasaan
kebangsaan, dll.
f.
Pemusnahan terhadap keamanan pribadi, kemerdekaan, kesehatan, martabat,
bahkan kehidupan individu suatu kelompok.
Pengadilan Militer
Internasional yang diadakan di Nuremberg, Jerman, mendakwa para petinggi Nazi
atas tuduhan “kejahatan terhadap kemanusiaan” dengan “genocide” sebagai istilah deskriptif dalam tuntutan. Istilah
tersebut diadopsi oleh para jaksa penuntut di Nuremberg (walau bukan oleh
hakim).
Majelis Umum PBB
memutuskan untuk memprosesnya dengan menyusun draft perjanjian tentang genosida
pada tahun 1946 karena dirasa penting untuk membedakan genosida dengan
kejahatan terhadap kemanusiaan. PBB menyetujui Konvensi tentang Pencegahan dan
Penghukuman atas Kejahatan Genosida pada
tanggal 9 Desember 1948. Hal tersebut terjadi karena usaha keras Raphael Lemkin
yang mengusahakan agar genosida ditetapkan sebagai kejahatan internasional
serta karena kasus Holocaust oleh
Nazi masih mendapat perhatian dunia. Konvensi tersebut menetapkan genosida
sebagai kejahatan internasional yang akan dicegah dan dihukum oleh
negara-negara penandatangannya. Ada 20 negara yang ikut meratifikasi dan
berlaku dua tahun kemudian, serta konvensi ini menjadi esensi dari perjanjian
tentang HAM. Istilah genosida mulai diaktifkan dengan ditandai digelarnya
pengadilan penjahat internasional untuk menuntut kejahatan genosida
(1991-1998).[2] Genosida
merupakan satu dari empat pelanggaran HAM berat yang berada dalam yurisdiksi International Criminal Court. Pelanggaran
HAM berat lainnya, yakni kejahatan terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan
kejahatan agresi.
Menurut
Statuta Roma dan Undang-Undang no.26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM,
genosida adalah Perbuatan yang dilakukan dengan maksud untuk menghancurkan
atau memusnahkan seluruh atau sebagian kelompok bangsa, ras, kelompok etnis, kelompok agama dengan cara membunuh anggota kelompok;
mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap anggota kelompok;
menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang menciptakan kemusnahan secara fisik
sebagian atau seluruhnya; melakukan tindakan mencegah kelahiran dalam kelompok;
memindahkan secara paksa anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.
Ada pula istilah
genosida budaya yang
berarti pembunuhan peradaban dengan
melarang penggunaan bahasa dari suatu kelompok atau suku, mengubah atau menghancurkan sejarahnya atau
menghancurkan simbol-simbol peradabannya.[3]
Ada perbedaan antara
genosida dengan kejahatan kemanusiaan. Kejahatan kemanusiaan hanya dapat
dilakukan secara bersama-sama dengan adanya konflik bersenjata internasional.[4]
Kejahatan terhadap kemanusiaan bisa dilakukan pada masa perang maupun pada masa
damai berupa kekerasan terhadap manusia. Genosida merupakan kejahatan terhadap
manusia yang paling buruk dimana ICTR menyebutnya sebagai kejahatan dari semua
kejahatan sehingga Statuta Roma menyebutnya sebagai kejahatan pertama yang
harus diatur dan satu-satunya yang diadopsi oleh drafter tanpa adanya
kontroversi.[5]
Pembeda genosida
dari kejahatan lainnya adalah tujuan khususnya (dolust specialist). Jadi, perbuatan tersebut, baik pembunuhan
maupun empat perbuatan lain dalam Pasal 6 harus dilakukan dengan tujuan khusus untuk
menghancurkan sebagian maupun seluruh kelompok dari etnis, agama, atau ras
tertentu.
3.3
Intervensi Kemanusiaan
Intervensi kemanusiaan mendapat legitimasi berdasarkan
penafsiran atas Pasal 2 (4) Piagam PBB yang isinya bukanlah sebuah larangan
yang absolut melainkan sebuah batasan agar sebuah intervensi tidak melanggar
kesatuan wilayah, kebebasan politik, dan tidak bertentangan dengan tujuan PBB.
Dalam kaitannya dengan mencegah atau menghentikan pelanggaran HAM, doktrin
tentang intervensi kemanusiaan yang dikemukakan oleh Grotius pada abad XVII
menyatakan bahwa intervensi yang dilakukan oleh suatu negara atau lebih ke
negara lain dianggap sah jika intervensi tersebut dilakukan untuk menghentikan
terjadinya pelanggaran hak-hak dasar manusia yang sangat brutal dan otoritas
negara yang bersangkutan tidak mampu dan tidak mau mencegah atau menghentikan
terjadinya pelanggaran tersebut.[6]
4.
Pembahasan
4.1
Konflik Hutu-Tutsi sebagai Konflik Internal Rwanda
Konflik internal yang terjadi atas dasar konflik etnis di
Rwanda antara suku Hutu sebagai mayoritas dan suku Tutsi sebagai minoritas
telah memunculkan konflik berkepanjangan. Menurut Michel E. Brown berkaitan
dengan konflik internal, antara lain pertama,
konflik internal telah merebak ke banyak negara dan menimbulkan aksi-aksi
kekerasan. Konflik Rwanda membawa pengaruh bangsa lain seperti Uganda,
Perancis, dan Belgia. Uganda sebagai daerah perbatasan memiankan peran penting
bagi keberlengsungan FPR yang bermuara dari aliansi antara FPR dengan National Resistence Army di Uganda yang membawa Museveni ke tampuk kepresidenan.
Uganda menyediakan persenjataan, bahan makanan, bakah bakar dan secara sengaja
membuka perbatasan sebelah selatan negara sebagai pangkalan serangan militer
dan tempat pengungsian. Sebaliknya, Rwanda bekerjasama dengan Perancis dan
Belgia dalam menghadapi anacaman FPR dengan mengirimkan tentara, melakukan
pelatihan militer, dan menyediakan pasokan senjata[7].
Kedua, konflik internal telah menyengsarakan masyarakat yang
menjadi korban yang tidak berdaya akibat konflik, seperti pembunuhan,
penyiksaan, pemerkosaan, dan pengusiran. Konflik jelas akan membawa masyarakat
pada kesengsaraan karena terjadi ketidakadilan, apalagi jika yang terjadi
adalah konflik etnis yang menempatkan etnis tertentu sebagai penguasa dari
etnis yang lain dengan taruhannya adalah nyawa. Pelanggaran-pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) yang dilakukan tidak bisa ditawar lagi karena satu tujuan
adalah penghancuran etnis lain yakni Tutsi[8].
Ketiga, konflik internal penting karena sering melibatkan
negara-negara tetangga sehingga bisa menimbulkan konflik perbatasan. Pengungsi
yang menyeberang ke negara tetangga atau pemberontakan yang mencari
perlindungan ke negara tetangga dapat menimbulkan permasalahan baru yang dapat
memicu konflik bersenjata antar negara yang bertetangga. Hal ini terjadi di
Rwanda saat suku Tutsi yang terdiskriminasi mengungsi ke Uganda secara
besar-besaran. Namun, Uganda yang saat itu sedang dalam pemerintahan diktator
dibawah Idi Armin maupun Milton Obote justru mendapat tekanan sehingga
penderitaan dan kesulitan yang terjadi membuat mereka sangat ingin kembali ke
Rwanda. Dibentuklah the Rwandan Patriotic
Front (RPF) yang merupakan sebuah kelompok politik dan militer yang
bertujuan untuk mengembalikan warga Rwanda dari pengungsian dan membentuk
pemerintahan nasional bersama-sama dengan etnis Hutu.
Keempat, konflik internal penting karena sering mengundang
perhatian dan campur tangan dari negara-negara besar yang terancam kepentingannya
dan organisasi internasional. Campur tangan atas konflik Rwanda tidak serta
merta menurunkan bantuan dari negara besar seperti AS, Inggris, Perancis, dan
Belgia yang tidak memiliki kepentingan nasional atas Rwanda. Justru karena
tidak adanya dukungan dan partisipasi dari negara-negara besar membuka jalan
bagi PBB yang sudah mengiringi langkah perdamaian sejak digulirnya perjanjian
Arusha melalui UNAMIR.
4.2
Konflik Rwanda sebagai sebuah Genosida
Berdasarkan Statuta Roma dan Undang-Undang
no.26 tahun 2000, ada beberapa unsur yang dikategorikan sebagai kejahatan
genosida :
a.
Membunuh anggota kelompok
b.
Mengakibatkan penderitaan fisik/mental berat
c.
Sengaja menimbulkan kehancuran fisik secara keseluruhan maupun sebagian
d.
Memaksa tindakan yang dimaksud untuk mencegah kelahiran dalam kelompok
e.
Memindahkan anak-anak dari kelompok ke kelompok lain secara paksa
Konflik Rwanda
memenuhi statuta Roma tentang pembunuhan massal/genosida yang dilakukan oleh
etnis mayoritas Hutu terhadap etnis minoritas Tutsi tanpa ampun, brutal, dan
membabi buta. Bahkan, suku Tutsi tidak dianggap sebagai manusia, melainkan
disamakan dengan kecoa yang harus dibersihkan dari Rwanda. Penyerbuan militan
Hutu dengan membunuh langsung maupun melakukan pemerkosaan terhadap
wanita-wanita Tutsi serta membantai anak-anak Tutsi agar kelak tidak ada
generasi penerus dari suku Tutsi merupakan pelanggaran HAM berat karena
dilakukan dengan sadar dan sengaja untuk melenyapkan keseluruhan etnis.
Sudah tidak dapat dipungkiri bahwa yang dilakukan oleh
militan dan militer dari masing-masing pihak telah menetapkan tujuan pemusnahan
etnis dari suku lawan terutama Tutsi yang dikhawatirkan akan merebut kembali
kontrol kekuasaan dan mengulangi diskriminasi seperti yang terjadi di masa
lalu.
4.3
Intervensi Kemanusiaan melalui UNAMIR
Dibutuhkannya intervensi kemanusiaan melalui organisasi
internasional seperti PBB jelas-jelas diperlukan dimana negara-negara besar
seperti AS, Inggris, perancis, dan Belgia tidak memberi dukungan dan
partisipasi dalam penciptaan kemanan dan perlindungan HAM di Rwanda.
Ketidakmauan penyelesaian konflik atau pembunuhan massal yang terjadi atas
dorongan dari pemerintah Rwanda dan keinginan masyarakatnya yang sebagian besar
merupakan etnis Hutu memenuhi ketentuan diijinkannya intervensi kemanusiaan
seperti yang diungkapkan oleh Grotius. Pemerintah Rwanda seakan tutup mata atas
legitimasi keberadaan peran pasukan perdamaian UNAMIR PBB di Rwanda atas
jalinan kerjasama pemerintah Rwanda dengan Perancis dan Belgia. Perancis
memberi pelatihan militer terhadap militer Rwanda dan memasok senjata-senjata
pada militer, seperti halnya yang dilakukan oleh Belgia. Sebaliknya, RPF
mendapat bantuan dari Uganda atas bantuan RPF menggulingkan pemerintahan Uganda
sebelumnya.
United
Nations Assistance Missions for Rwanda
(UNAMIR) dibentuk atas resolusi nomor 872 melalui sidang pada 5 Oktober 1993
sebagai pasukan khusus yang membawa misi perdamaian PBB untuk menjaga
perdamaian di Rwanda selama enam bulan. Kelemahan dan kekurangan dari
keberadaan UNAMIR adalah tidak adanya izin dari para misonaris PBB untuk
menggunakan senjata ketika terjadi kerusuhan atau keadaan perang oleh kaum
militan Hutu maupun pemberontak Tutsi. Resolusi Dewan Keamanan (DK) PBB hanya
menetapkan kontribusi UNAMIR terhadap keamanan kota Kigali dalam area terbatas
dengan penetapan weapons secure area
yang telah disepakati oleh kedua belah pihak yang bertikai di dalam dan di
sekitar kota Kigali. Pembatasan kinerja pasukan dalam melakukan pengamanan
Mandat PBB yang diberikan pada UNAMIR antara lain :
a.
Memonitor pengawasan
gencatan senjata
b.
Memonitor situasi
keamanan selama periode akhir mandat pemerintahan transisi sampai diadakannya
pemilu
c.
Membantu
pembersihan ranjau
d.
Melakukan
investigasi
e.
Mencari
kejadian-kejadian sejenis dan melaporkan ke Sekretaris Jenderal PBB.
f.
Memonitor proses
pemulangan kembali pengungi Rwanda.
g.
Membantu koordinasi
bantuan kemanusiaan.
Otoritas pasukan UNAMIR terbatasi oleh rules of engagement yang diberlakukan
termasuk diantaranya larangan penggunaan senjata dan UNAMIR harus bekerjasama
dengan militer Rwanda dalam operasi-operasi militernya sehingga membuat
Jenderal Dallaire mengirimkan sebuah rancangan yang diantaranya secara khusus
meminta persetujuan kantor pusat PBB pada 23 November 1993 untuk mengizinkan
misi tersebut agar dapat mengambil tindakan sebagai respon atas
kejahatan-kejahatan kemanusiaan yang terjadi. Namun, permintaan tersebut tidak
mendapat respon dari markas besar PBB.
Keterbatasan otoritas tersebut ditarik tanpa daya dari
Rwanda dan membuat DK PBB mengesahkan terbentuknya UNAMIR II pada 17 Mei 1994
dengan mandat diperluas atas beberapa pertimbangan dengan tambahan pasukan
untuk menghentikan genosida dan menjamin keamanan organisasi-organisasi
kemanusiaan yang sedang melakukan perannya di Rwanda. Dan yang terpenting
adalah menciptakan rasa aman bagi penduduk sipil Rwanda. Upaya DK PBB tidak
emndapat dukungan dari negara-negara besar dimana hanya negara-negara Afrika
yang menyatakan pemberian pasukan dalam misi UNAMIR II. Ketersediaan
negara-negara Afrika itupun dengan syarat bahwa seluruh biaya akan ditanggung
oleh PBB. Persyaratan tersebut membuat badan dunia tersebut memikirkan kembali
dikarenakan kondisi keuangan PBB juga sedang defisit akibat operasi perdamaian
sebelumnya dimana UNAMIR mengalami ketidaksediaan suplai makanan pasukan
dikarenakan kekurangan dana. UNAMIR II mengalami kevakuman gerak dikarenakan
kurangnya dukungan dan partisipasi yang disaat bersamaan genosida tetap
berjalan di Rwanda. PBB kemudian memberikan otorisasi pada pasukan Perancis
untuk melakukan operasi Torquise
melalui resolusi PBB nomor 929 pada 22 Juni 1994. Hal tersebut sebagai respon
atas penawaran Perancis agar dapat menerjunkan pasukan untuk menghadapi krisis
kemanusiaan di Rwanda sampai UNAMIR II siap mengambil alih tugasnya kembali.
Resolusi tersebut memberi Perancis legitimasi untuk melakukan intervensi
bersenjata atas dasar alasan kemanusiaan.
Intervensi kemanusiaan PBB seakan tidak memiliki taring
dikala tidak ada negara-negara besar seperti AS, Inggris, dll yang mendukung
dan berpartisipasi dalam UNAMIR, keengganan dari pemerintah dan masyarakat
Rwanda yang berasal dari suku Hutu yang melakukan pengusiran dan memberi
perlawanan pada pasukan DK PBB membuat PBB tidak bisa melakukan apa-apa jika
Rwanda menolak mandat yang diberikan.
Konflik Rwanda mulai menemukan titik terang atas
ditandatanganinya persetujuan damai dari seluruh kelompok politik di Burundi
yang secara jelas menginginkan adanya perdamaian pada tahun 2000. Tahun 2003,
terjadi gencatan senjata yang disetujui oleh pemerintah Buyoya dan kelompok
pemberontak Hutu terbesar, yakni CNDD-FDD.
PBB juga membetuk International
Criminal Tribunal for Rwanda (ICTR) yang bertujuan mengadili orang-orang
yang bertanggungjawab atas kasus genosida dan kejahatan kemanusiaan lain yang
terjadi di Rwanda pada 1994.[9]
5.
Kesimpulan
Konflik etnis di Rwanda merupakan hasil adu domba atau
hasil diversifikasi sejak kolonialisasi Belgia dengan tujuan
memporak-porandakan hubungan antar etnis. Konflik internal yang di dalamnya ada
konflik antar etnis tidak hanya melibatkan etnis-etnis di Rwanda itu sendiri
melainkan melibatkan campur tangan bangsa lain yang memiliki tujuan khusus dan
negara-negara yang menjadi tempat pengungsian kaum minoritas Rwanda. Disparitas
politik, ekonomi, dan sosial yang terjadi antara etnis Hutu dengan etnis Tutsi
mengobarkan semangat merebut kembali kontrol kekuasaan yang dipegang oleh etnis
Hutu yang pasca kemerdekaannya mendapat porsi pemerintahan lebih besar dari
Belgia atas pengkhianatan Belgia terhadap etnis Tutsi. Pembunuhan presiden
Juvenal Habyarimana merupakan pemicu dari puncak konflik dimana terjadi
pembunuhan massal/genosida dengan tujuan pembersihan etnis Tutsi oleh etnis
Hutu. Meskipun kedua belah pihak saling jatuh korban karena adanya upaya-upaya penyerangan
dari masing-masing pihak, korban terbanyak tetaplah dari sisi etnis Tutsi. Hal
tersebut terjadi karena tidak menginginkan adanya penyatuan etnis dalam
pemerintahan dan adanya kehendak untuk dimonopoli oleh satu etnis saja.
Negara-negara besar seperti AS, Perancis, Inggris, dan
Belgia yang tidak memiliki kepentingan nasional di Rwanda tidak mendukung upaya
perdamaian yang dilakukan oleh PBB melalui UNAMIR sehingga mengalami hambatan
yang besar dimana terjadi penolakan dan pengusiran pasukan UNAMIR oleh militer
Hutu dan Interhamwe yang tidak menginginkan mandat PBB melakukan intervensi
kemanusiaan di Rwanda. Meskipun begitu, melalui ICTR, para pelaku kejahatan
kemanusiaan dan genosida tetap menerima hukuman setimpal.
Daftar Pustaka
Rudi
M. Rizki, S.H.,LL.M ,Unsur-unsur Kejahatan Genosida, http://pusham.uii.ac.id/upl/article/id_UNSUR-UNSUR%20GENOSIDA.pdf,
diakses pada 31 Mei 2011
PELANGGARAN
HAK ASASI MANUSIA : Genosida, http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/28/pelanggaran-hak-asasi-manusia-genosida/,
diakses pada 31 Mei 2011
Konflik, Identitas dan Perubahan
Damai-Subhi
http://www.wahidinstitute.org/files/_docs/Konflik,%20Identitas%20dan%20Perubahan%20Damai-Subhi.pdf, diakses pada 19 Mei
2012
Memahami Seluk Beluk Konflik antar
Etnis Bersama Michael E. Brown « Rumah Filsafat (The House of Philosophy)
http://rumahfilsafat.com/memahami-seluk-beluk-konflik-antar-etnis-bersama-michael-e-brown/, diakses pada 19 Mei
2012
Konflik Rwanda
http://politik.kompasiana.com/2010/12/23/konflik-rwanda/, diakses pada 19 Mei
2012
Agenda VHR Corner Pembantaian Massal di Rwanda
http://www.vhrmedia.com/vhr-corner/agenda,Pembantaian-Massal-di-Rwanda-878.html, diakses pada 19 Mei
2012
25296149159
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/25296149159.pdf, diakses pada 19 Mei
2012
1296532497_ICTR
http://www.elsam.or.id/downloads/1296532497_ICTR.pdf, diakses pada 19 Mei
2012
Konflik Rwanda, Hutu-Tutsis
http://edukasi.kompasiana.com/2010/12/03/konflik-rwanda-hutu-tutsis/, diakses pada 19 Mei
2012
RWANDA
http://www.donika.com/RWANDA.PDF, diakses pada 19 Mei
2012
Pengadilan ham dalam konteks
nasional dan internasional - muladi
http://www.lfip.org/english/pdf/bali-seminar/Pengadilan%20ham%20dalam%20konteks%20nasional%20dan%20internasional%20-%20muladi.pdf, diakses pada 19 Mei
2012
Putri, Widya, keterlibatan UNAMIR Dalam Genoside Rwanda,
skripsi, Universitas Veteran
[3] PELANGGARAN HAK ASASI
MANUSIA : Genosida, http://korandemokrasiindonesia.wordpress.com/2009/11/28/pelanggaran-hak-asasi-manusia-genosida/, diakses pada 31 Mei
2011.
[6] Riyanto, Intervensi
Kemanusiaan Melalui Organisasi Internasional, http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/19207233252.pdf, halaman 239, diakses pada 20 Mei 2012
hutus 85%, tutsi 14%
BalasHapus